BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dalam Islam diajarkan untuk pemeluknya bahwa sebelum beribadah kita diharuskan untuk bersuci. Oleh karena itu disyariatkan adanya bersuci (thaharah). Cara bersuci yang dikenal dalam Islam meliputi mandi, wudhu dan tayamum.
Tayammum tentu bukanlah amalan yang asing lagi bagi masyarakat kita meski barangkali kita jarang melakukannya karena kita hidup di lingkungan yang memiliki persediaan air yang melimpah. Namun akan lebih baik jika kita mengetahui tata cara tayammum yang dituntunkan Rasulullah, karena suatu saat mungkin kita harus melakukannya.
Penjelasan tentang wudhu dan perkara-perkara yang bersangkutan dengannya telah kita ketahui dan telah lewat pembahasannya dalam makalah sebelumnya. Permasalahan berikutnya adalah masalah tayammum dan beberapa perkara yang berhubungan dengannya. Adapun syariat tayammum ini Allah yang Maha Sempurna kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[1] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[2] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”[3]
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era informasi dan globalisasi dewasa ini telah memungkinkan manusia menempuh perjalanan di udara dengan pesawat terbang selama berpuluh-puluh jam tanpa berhenti di daratan. Umat Islam yang menempuh perjalanan selama berpuluh-puluh jam seperti ketika menempuh perjalanan dari Indonesia ke Arab Saudi untuk melaksankan ibadah haji, dapat dipastikan akan melewati beberapa waktu shalat sehingga tidak mungkin dilaksanakan secara jama’ sesudah mendarat di daratan.
Maka dari itu penulis sedikit menerangkan bagaimana tatacara melakukan wudhu didalam pesawat yaitu dengan berwudhu tanpa air atau disebut dengan bertayamum.
Dalam hal ini penulis menemukan hukum tayamum di dalam pesawat tersebut masih diragukan ke absahannya atau kurang afdhol. Dan terjadi pro kontra pada sah tidaknya tayammum di pesawat.

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa definisi dari tayammum?
2.         Bagaimana hukumnya?
3.         Apa saja sebab-sebab yang membolehkan tayammum?
4.         Bagaimana cara tayamum itu?
5.         Apa yang dapat membatalkan tayammum?
6.         Bagaimana pro kontra tentang tayammum di pesawat?

C.      Tujuan Penulisan
1.         Mengetahui pengertian tayammum.
2.         Memahami hukum tayammum.
3.         Mengetahui sebab-sebab tayammum.
4.         Memahami cara tayammum.
5.         Mengetahui yang membatalkan tayammum.
6.         Memahami pro kontra ulama tentang tayammum di pesawat.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hadits Tentang Tayammum
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّيْ أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ فَقاَلَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فَيْ سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ وَأَمَّا أَناَ فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ  فَقَالَ النَّبِيُّ  إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ هَكَذَا فَضَرَبَ النَّبِيُّ  بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ.
Dari Abdurrohman bin Abza berkata: Telah datang seorang laki-laki kepada Umar bin Khottob seraya berkata: “Saya junub sedangkan aku tidak mendapati air”, Amar (bin Yasir) berkata kepada Umar bin Khottob: “Ingatkah engkau ketika kita dahulu pernah dalam suatu safar, engkau tidak sholat sedangkan aku mengguling-guling badanku dengan tanah lalu aku sholat. Setelah itu kuceritakan kepada Nabi kemudian beliau bersabda: “Cukuplah bagimu seperti ini.” Nabi menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah lalu meniupnya dan mengusapkan ke wajah dan telapak tangannya”.(HR. Bukhori dan Muslim).[4] Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadz:
التَّيَمُّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ.
Tayammum itu satu tepukan untuk wajah dan kedua telapak tangan. (HR. Abu Daud).
Dalam hadits tersebut penulis menyimpulkan beberapa hal yang terkandung di dalamnya, di antaranya di bolehkannya tayammum bagi orang yang sedang junub apabila tidak menemukan air. Demikian juga untuk wanita yang haid dan nifas apabila telah suci (yang sebenarnya harus mandi) tetapi tidak menjumpai air, hendaknya bertayammum. Anggota tayammum adalah wajah dan tangan, dan menggunakan satu kali tepukan.

B.       Pengertian Tayammum
Tayamum secara etimologi (bahasa) bermakna القصد (menuju). Adapun secara terminologi (tinjauan syariat) tayamum adalah menyengaja menggunakan permukaan tanah untuk bersuci agar menjadi boleh segala yang dibolehkan dengan wudhu dan mandi.[5]

C.      Dalil Pensyariatan Tayammum
Mengenai tayamum, ada beberapa dalil yang membenarkan. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub[6], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.[7]
Sedangkan dasar As-Sunnah kita dapati hadits yang diriwayatkan oleh imam bukhari dan muslim dari imran bin hushani. Ia berkata:
كناَّ مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفرٍ فصلىَّ باالناسِ فإذَا هو برجلٍ معتزلٍ فقال: ما منعكَ أنْ تصلي قال: اصابني جنابةٌ ولا ماء, قال عليك بالصّعيدِ فإنهُ يكفيك. رواه الشيخان.
Artinya: kami beserta rasulullah dalam suatu kepergian, maka nabi bersembahyang beserta orang banyak, maka tiba-tiba ada orang seseorang yang menyendiri. Maka nabi bersabda: “apa yang menghalangimu untuk bersembahyang?” berkata orang tersebut: “kami mengalami jenabat dan tidak mendapat air.” Sabda nabi:”pakailah debu (untuk bertayammum), karena tayammum itu cukup untukmu.” (HR.Asy Syaikhani).[8]

D.      Sebab-Sebab Dibolehkannya Tayamum
Dalam kitab safinatunnajah disebutkan, perkara yang menyebabkan di perbolehkannya tayammum ada 3, yaitu:[9]
1)   Tidak ada air. baik pada waktu bepergian maupun bermukim.
2)   Jika orang sakit khawatir bila menggunakan air sakitnya semakin parah atau memperlambat kesembuhannya, atau anggota badannya terluka, atau dalam keadaan dingin yang berlebihan sehinngga hawatir menambah parah situasi yang dialaminya apabila menggunakan air. Hal ini diperbolehkan berdasarkan firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[10] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[11]perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”[12]
·      Sedangkan dasar yang membolehkan bertayammum karena takut kedinginan.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam bukhari dan muslim dari abdurrahman bin jubair yang artinya: ”sewaktu ‘Amr bin ‘Ash diutus berperang Dzatus salasil, berkata: “saya bermimpi bersetubuh pada suatu malam yang sangat dingin, saya takut tertimpa madharat kalau saya mandi. Karenanya bertayammumlah saya beserta kawan-kawan untuk sembahyang shubuh. Setelah kami datang kembali kepada Rasulullah pun bersabda:”hai ‘Amr, engkau telah sembahyang dengan teman-temanmu sedang engkau junub”? aku berkata:aku ingat firman Allah Azza wajalla,”dan jangan engkau membunuh dirimu, sesungguhnya Allah sangat menyayangi akan kamu”, karenanya saya bertayammum dan sembahyang. Maka tertawalah rasulullah dan tidak mengatakan apa-apa lagi. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
·      Sedangkan dasar yang membolehkan bertayammum karena luka-luka diriwayatkan oleh imam Daruquthni dan Ibnu Abbas yang artinya:”Bersabda Nabi SAW:”apabila seseorang mendapat luka dalam peperangan dijalan Allah atau mendapat luka-luka bisul kemudian junub, maka ia takut mati bila mandi hendaknya ia bertayammum”. (HR. Ad Daruquthni).[13]
3)   Orang yang memiliki air, tetapi ia menghawatirkan dirinya, teman seperjalanannya atau hewan[14] tunggangannya kehausan jika ia menggunakannya.

E.       Tata Cara Tayamum yang Benar
Dari hadits yang kami paparkan di atas dapat kita simpulkan bahwa tata cara tayammum itu adalah:
a.     Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/ debu dengan sekali pukulan. Dalam hal ini Ulama berbeda pendapat dalam masalah cukup tidaknya bertayammum dengan sekali pukulan ke permukaan bumi. Di antara mereka ada yang berpendapat cukup sekali, tidak lebih, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ammar di atas. Demikian pendapat Al-Imam Ahmad, ‘Atha`, Makhul, Al-Auza’i, Ishaq, Ibnul Mundzir dan mayoritas ahlul hadits. Demikian juga pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. Sedangkan pendapat yang mengatakan dua kali pukulan ke tanah seperti pendapat kebanyakan fuqaha dengan bersandar hadits Ibnu ‘Umar dari Rasulullah:“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.” (HR. Ad-Daraquthni). Namun para imam menghukumi hadits ini mauquf terhadap Ibnu ‘Umar. Demikian pernyataan Ibnul Qaththan, Husyaim, Ad-Daraquthni, dan yang lainnya.
b.    Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan tersebut.
c.     Mengusap wajah terlebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian dalam maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya mengusap wajah. Dalam ihya’ulumuddin disebutkan dalam mengusap wajah tidak diwajibkan menyampaikan debu itu pada tempat-tempat tumbuhnya rambut cukup meratakan debu itu pada kulit wajah yang dapat dicakup kedua telapak tangan.[15]
Ulama’berbeda pendapat mengenai batas tangan yang wajib di usap ketika tayammum. Hal tersebut di karenakan batasan-batasan mengusap tangan itu tidak di perintahkan secara eksplisit untuk mengusap tangan hingga dengan kedua sikunya. Pertama; ulama’hanafiyah berpendapat bahwa tangan yang wajib diusap dalam tayammum adalah hingga kedua sikunya. Alasannya adalah bahwa tayammum pengganti dari wudhu’, sehingga mengusap tangan dalam tayammum adalah hingga kedua sikunya.
Kaidah yang digunakan adalah البدل لا يخالف الاصل الا بد ليل Artinya:”pengganti tidak akan menyalahi pokok kecuali ada dalil lain.” Disamping itu, hadits riwayat dari jabir Ibn Abdullah dijadikan alasan yang menyatakan bahwa:
التيمم ضر بتان ضر بة للوجه وضربة للذراعين الى المرفقين
“Tayammum terbagi atas dua usapan: usapan pertama untuk wajah; dan usapan kedua untuk dua tangan hingga sikunya.”
Sedangkan ulama’ malikiyah dan hanabilah berpendapat bahwa tangan yang wajib di usap dalam tayammum hanyalah sampai pergelangan tangan (tidak perlu sampai kedua sikunya), karena kata al-yadd dimutlakan artinya untuk al-kaff (tangan hingga pergelangannya),[16] sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk memotong tangan pencuri.[17]
Pada dasarnya perbedaan tentang bagian tangan yang wajib di usap ketika tayamum disebabkan oleh interpretasi terhadap kata aydiyakun dalam al-qur’an dalam surat an-nisa’:43. Dalam qawl qadim, Imam syafi’i berpendapat bahwa bagian tangan yang wajib di usap ketika tayammum hanyalah dua telapak tangan dan punggungnya. Alasan yang digunakan adalah:
قال عمار لعمر رضي الله عنهما تمعكت فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم فقال ويكفيك الوجه والكفان
“Amr berkata kepada ‘Umar ra:”aku menunda (tayammum) dan aku dating kepada nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:kamu cukup mengusap wajah dan dua telapak tangan.”
Sedangkan dalam qawl jadidnya, imam syafi’I berpendapat seperti yang di paparkan oleh imam hambali di atas.alasan yang digunakan imam syafi’i adalah:
“Nabi Muhammad SAW, bersabda:”dalam tayammum(terdapat dua usapan), satu kali mengusap wajah dan satu kali mengusap tangan dengan dua sikunya.”
Alasan yang kedua adalah mengqiyaskan mengusap tangan dalam tayammum kepada membasuh tangan ketika berwudhuk.dalam kitab mukhtashar al-murzani, imam al-syafi’I berkata:”menurut logika, apabila tayammum merupakan pengganti wudhuk, (ukuran)mengusap wajah dan dua tangan adalah sama, baik dalam wudhu’maupun tayammum.”[18]
·      Cara tayammum untuk bagian yang luka
Apabila terdapat luka yang di balut, maka melakukan tayammum dan menyapu balut luka tersebut dengan sisa badan yang tidak terbalut dan mestinya terkena air, dikenai air. Cara ini didasarkan pada hadits riwayat abu daud dari jabir bin Abdullah, ia berkata:
Artinya:”bahwasanya seorang laki-laki pecah kepalanya, ia mandi, ia pun mati untuk itu nabi pun bersabda:”sesungguhnya cukup baginya bertayammum dan membalut lukanya, kemudian menyapu atas balutannya itu dan membasuh semua anggota yang lain.” (HR. Abu Daud).[19]
·      Cara mandi tayammum
Apabila junub dan tidak menemukan air untuk bersuci maka diperbolehkan tayammum. Caranya Dijelaskan oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin bahwa tata cara tayamum karena junub tidak berbeda dengan tayamum karena hadats kecil, yakni dengan cara menepuk kedua telapak tangan ke tanah sekali dan membasuh wajah, telapak tangan kanan dan kirinya.[20]

F.       Satu Tayammum Untuk Satu Sembahyang
Satu tayammum hanya untuk satu sembahyang, sehingga tiap-tiap melakukan sembahyang melakukan tayammum lebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh ad daruquthni dari ibnu abbas. Ibnu abbas berkata:
Artinya:”menurut sunnah, tidaklah boleh seseorang sembahyang dengan tayammum, selain dari satu sembahyang saja, kemudian ia bertayammum lagi untuk sembahyang yang lain,” (HR. Ad Daruquthni).[21]
Dalam kitab mutiara ihya’ulumuddin dijelaskan, tayammum hanya boleh untuk satu shalat fardhu dan boleh melakukan shalat sunnah berapapun yang di kehendaki.[22]

G.      Hal Yang Membatalkan Tayamum
Dalam kitab safinatun najah, Perkara yang membatalkan tayammum ada 3:[23]
1.    Semua perkara yang membatalkan wudu, (juga membatalkan tayammum)
2.    Murtad (keluar dari islam)
3.    Menduga ada air, jika tayammumnya karena tidak ada air.
Apabila orang yang bertayammum dan mendapatkan air sebelum ia mengerjakan sembahyang maka ia harus berwudhu baru sembahyang. Dalam hal ini timbul perbedaan pendapat fuqaha, bila didapati air selesai sembahyang. Perbedaan pendapat timbul dalam memahami hadits yang diriwayatkan oleh imam ahmad dan at-tirmidzi dari abu dzar berkata abu dzar:
Artinya:”nabi SAW bersabda:”bahwasanya tanah itu alat bersuci bagi orang islam, walaupun sepuluh tahun lamanya ia tidak mendapatkan air. Maka apabila ia mendapatkan air hendaknya ia kenakan badannya dengan air itu, karena yang demikian itu lebih baik”. (HR.Ahmad dan At-tirmidzi).
Menurut abu hanifah, al-auza’iy, al muzanni, al-hadly dan an-nashr, orang yang tayammum dan melaksanakan sembahyang, ditengah sembahyang mendapat air. Ia wajib keluar dari sembahyang dan mengulang sembahyangnya itu dengan sempurna sesudah wudhu. “pendapat imam malik dan abu daud, orang tersebut tidak wajib keluar, bahkan haram dan sembahyangnya sah.[24]
Hal ini berdasarkan pada firman Allah dalam Surat Muhammad ayat 33:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.”












BAB III
TAYAMMUM di PESAWAT

Pada masa modern jasa transportasi sangat beragam mulai dari yang berjalan di atas darat hingga di lautan bahkan di udara. Pengguna jasapun juga bermacam-macam ada yang hanya menggunakan jasa transportasi tersebut selama 1 jam saja ada pula yang sampai 5 jam bahkan ada yang sampai satu hari satu malam. Fasilitas yang disediakan dalam jasa transportasi juga berbeda dari satu transportasi ke transportasi yang lain. Misalnya, ada sebagian jasa transportasi yang menyediakan full fasilitas seperti kamar kecil dan musalla (tempat salat) dan sebagian lain transportasi hanya menyediakan kamar kecil tanpa tempat salat sebagian lain lagi tidak ditemukan fasilitas kamar kecil dan musalla.
Bagi pengguna jasa transportasi yang full fasilitas baginya perjalanan adalah menyenangkan tidak ada yang menghalangi untuk melakukan rutinitas setiap hari sebagaimana layaknya orang muslim lainnya yaitu melakukan perintah-perintah agama seperti salat dan anjuran agama seperti membaca al-Quran bi al-nazar (melihat). Namun bagi pengguna jasa lainnya yang non fasilitas seperti tidak adanya kamar kecil dan musalla baginya adalah suatu rintangan untuk bisa melakukan rutinitasnya selaku pemeluk Islam karena dia dihadapkan pada masalah yaitu sulitnya untuk bersuci baik dengan air maupun dengan pengganti air yaitu tayamum ditambah lagi tempat salat yang tidak tersediakan dalam tumpangannya.
Tayammum, sering menjadi kendala karena ketidak tahuan sebagian orang, dan akan timbul pertanyaan bagaimana cara melakukannya dan apa syarat boleh bertayammum. Wajar saja karena memang kita yang hidup dijaman modern saat ini, menemukan air yang musta'mal tidaklah terlalu sulit walaupun kita sedang safar. Dengan kondisi seperti itu hampir sebagian dari kita kurang mau membuka dan mengkaji tentang bagaimana bertayammum. Ditambah lagi bagi para jamaah calon haji yang akan berpergian / safar ke tanah suci akan muncul lagi pertanyaan apakah selama disana jemaah haji akan bertayammum, kapan dan dimana nanti akan tayammum, bagaimana pelaksanaan tayammum jika di pesawat udara.
A.      Pendapat  Ulama Tayammum  di Atas Pesawat
Ada beberapa pandangan 'ulama' fiqh berkenaan dengan penafsiran ayat tayamum di atas khususnya mengenai sarana tayamum.
Madhhab al-Shafiiyah mengatakan bahwa tayamum hanya bisa dilakukan dengan menggunakan debu. Senada dengan al-Shafiiyah, imam Ahmad, Ibn al-Mundhir dan Dawud. Berkata al-Azhar dan al-Qadi Abu al-Tib pendapat ini adalah pendapat mayoritas fuqaha' (ahli fiqh). Abu Hanifah dan Malik tayamum bisa (sah) dilakukan dengan menggunakan sesuatu yang menyambung dengan bumi seperti kayu.
Ini semua, menurut al-Tabari dalam tafsirnya Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an berakar dari penta'wilan kalimat al-sa'id dalam ayat di atas yang berbeda-beda, misalnya ada yang mengatakan bahwa al-sa'id adalah tanah yang tidak ditumbuhi pepohonan dan tanaman, tanah datar, tanah, dataran bumi dan dataran bumi yang berdebu.
Al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma'ani mengatakan bahwa al-sa'id menurut kesepakatan ahli bahasa adalah dataran bumi.
Bila kita memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam mazhab Syafi’i yakni bertayammum dengan menggunakan tanah, maka menurut mazhab ini tayammum yang dilakukan di pesawat terbang dengan menggunakan kursi sebagai alatnya dianggap tidak sah.
أما حكم المسألة فمذهبنا أنه لا يصح التيمم الا بتراب هذا هو المعروف في المذهب وبه قطع الاصحاب وتظاهرت عليه نصوص الشافعي وحكي الرافعى عن أبي عبد الله الحناطي بالحاء المهملة والنون أنه حكي في جواز التيمم بالذريره والنورة والزرنيخ والاحجار المدقوقة والقوارير المسحوقة وأشباهها قولين للشافعي وهذا نقل غريب ضعيف شاذ مردود انما أذكره للتنبيه عليه لئلا يغتر به والصحيح في المذهب أنه لا يجوز الا بتراب وبه قال أحمد وابن المنذر وداود قال الازهرى والقاضى أبو الطيب هو قول أكثر الفقهاء وقال أبو حنيفة ومالك يجوز بكل أجزاء الارض حتى بصخرة مغسولة وقال بعص أصحاب مالك يجوز بكل ما اتصل بالارض كالخشب والثلج وغيرهما وفى الملح ثلاثة أقوال لاصحاب: مالك أحدها: يجوز
Artinya: Sedang mengenai masalah hukum, menurut Madzhab Kami (Syafi’iyyah) tidak sah tayammum kecuali dengan memakai debu, ini yang dikenal dalam madzhab kami dan telah diputuskan oleh para penganut Syafi’iyyah yang telah selaras dengan pernyataan dari Imam Syafi’i.
Imam ar-Rofi’i menghikayahkan dari Abu Abdullah al-Khonaathy akan kebolehan bertayammum memakai dzarirah (tumbuhan berdaun hijau), kapur, warangan, kayu yang dilembutkan, botol kaca yang dihaluskan dan sejenisnya dan ini adalah pendapat yang aneh, dhoif, menyimpang dan tertolak, sengaja kami tuturkan agar tidak terperdaya dengan pendapat tersebut karena pendapat yang shahih menyatakan tidak bolehnya bertayammum kecuali dengan sarana debu seperti pendapat yang dipegang oleh Imam Ahmad, Ibn Mundzir dan Imam Daud.
Al-Azhari dan al-Qadhi Abu Thoyyib berkata yang demikian adalah pendapat mayoritas Ulama Fiqh, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berkata boleh tayammum menggunakan setiap benda-benda bumi hingga batu besar yang telah dicuci sedang pengikut Imam Malik membolehkan memakai setiap benda yang asal mulanya bertemu dengan tanah seperti kayu, es dan sebagainya sedang dalam kebolehan tayammum dengan garam terdapat tiga pendapat dikalangan pengikut Imam Malik yang salah satunya memperbolehkannya.[25]
Dengan demikian orang yang berada dipesawat menurut Mazhab Syafi’i dihukumi sebagai orang yang kehilangan dua alat untuk bersuci (faqid al-tahurain). Dalam hal ini ia tetap diwajibkan untuk mengerjakan shalat demi menghormati waktu. Imam Baijuri berkata:
على فاقد الطهورين وهما الماء و التراب أن يصلي الفرض لحرمة الوقت ويعيده إذا وجد أحدهما
Artinya: Bagi orang yang tidak mendapatkan air dan tanah, maka ia harus melaksanakan shalat fardhu, demi menghormati waktu dan kemudian mengulanginya kembali jika telah mendapatkan salah satu dari keduanya.
Pendapat di atas, juga merupakan hasil keputusan muktamar Nahdatul Ulama di Yogyakarta pada tanggal 25-28. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa tayammum di pesawat dengan menggunakan kursi sebagai alatnya tidak sah. Sedangkan shalatnya dilakukan semata-mata hanya untuk menghormati waktu yang ada.
Sementara bila mengikuti pendapat kalangan Hanabila yang membolehkan tayammum dengan menggunakan alat semacam pakaian, kain, rambut dan sebagainya yang mengandung debu maka dapat dikatakan bahwa tayammum dipesawat dibolehkan dan shalatnya dianggap sah. Pendapat kedua ini menjadi pilihan pendapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI Jakarta.

B.       Analisis Pendapat Para Ulama Tentang Tayammum di Pesawat
Para fuqaha secara sepakat membolehkan bertayammum dengan tanah galian dan berbeda pendapat tentang kebolehan bertayammum dengan selainnya, berikut penjelasan masing-masing madhhab:
1.         Syafi’iyah berpendapat bahwa tayammum hanya dibolehkan bila menggunakan tanah atau pasir yang mengandung debu. Apabila tanah dan pasir tersebut tidak mengandung debu maka tayamummnya dianggap tidak sah.
2.         Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan tayammum dengan segala sesuatu yang berada di atas permukaan bumi. Namun Madhhab Hanafi mengecualikan barang-barang tambang seperti kapur, garam, surfur dan lain-lain. Kesemuanya itu tidak dapat dijadikan bahan untuk bertayammum.
3.         Hanabilah membolehkan tayammum dengan menggunakan segala benda yang mengandung debu seperti batu, tembok, pelana, pakaian, bulu atau rambut yang mengandung debu dan sebagainya. Tetapi apabila benda-benda tersebut tidak mengandung debu maka tayammum dengan benda-benda tersebut tidak dibenarkan.
Yang menjadi perbedaan pendapat diantara mereka menurut Ibn Rusd mengacu kepada dua masalah berikut:
1.    Kata Sa’id yang tertera pada ayat di atas dalam bahasa Arab merupakan kata-kata yang mushtarak. Terkadang kata tersebut berarti debu murni dan terkadang berarti seluruh bagian yang berada di atas permukaan bumi. Tampaknya dari kedua makna sa’id di atas, Syafi’iyah mengartikannya sebagai tanah murni. Sementara Malikiyah mengartikannya segala sesuatu yang berada di atas permukaan bumi.
2.    Dalam salah satu riwayat disebutkan kata-kata bumi secara mutlaq untuk pelaksanaan tayammum dan dalam riwayat lain disebutkan secara muqayyad. Contoh dari hadis Nabi yang mutlaq:
جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا
Artinya: Dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan penyuci.
Dalam riwayat lain disebutkan:
جعلت لي الأرض مسجدا وتربتها طهورا
Artinya: Dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan dijadikan debunya untukku sebagai penyuci.
Kedua hadis di atas menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama kaitannya dengan hukum mutlaq dan muqayyad. Yakni apakah perkataan mutlaq di sini digunakan untuk menghukumi perkataan muqayyad, atau justru sebaliknya, perkataan muqayyad digunakan untuk menghukumi perkataan mutlaq.
Pendapat yang masyhur mengatakan bahwa perkataan muqayyad harus digunakan untuk menghukumi perkataan mutlaq. Sementara Ibn Hazm mengatakan bahwa yang mutlaqlah seharusnya yang menghukumi muqayyad.
Bagi fuqaha yang lebih cenderung memilih penggunaan muqayyad atas pengertian mutlaq dan mengartikan kata sa’id sebagai debu berkesimpulan tidak boleh melakukan tayammum kecuali hanya dengan menggunakan debu.
Kebalikannya fuqaha yang memilih penggunaan pengertian mutlaq atas muqayyad dan mengartikan kata sa’idan tayyiban sebagai apa saja yang berada di atas bumi, maka mereka ini membolehkan menggunakan pasir atau kerikil.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah ada debu di dalam pesawat. Seperti diketahui pesawat memakai air conditioner (ac). Air conditioner dapat menyerap kotoran di udara termasuk debu. Lagi pula jok-jok didalam pesawat selalu di dibersihkan dan kain yang dipakai melapisi jok-jok tersebut selalu diganti dengan yang baru ketika akan melakukan penerbangan. Hal ini dijawab Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan sebuah hadist yaitu:
Sahabat Abu Juhaim menceritakan, suatu ketika Rasulullah SAW dijumpai seorang laki-laki di suatu Kemudian laki-laki itu memberikan ucapan salam kepada beliau, tetapi beliau tidak segera menjawabnya hingga beliau menghadap ke dinding sumur lantas bertayammum dengan menyapu muka dan keduatangannya. Sesudah itu, barulah beliau menjawab salam laki-laki tersebut.[26]
Hal itu menunjukkan, bahwa tayammum boleh dilakukan di mana saja, termasuk di dinding sumur yang tidak jelas ada debu tanahnya. Dengan demikian, tayammum juga boleh dilakukan di dinding-dinding pesawat atau jok-joknya.
Kemudian bagaimana air yang ada didalam pesawat, sedangkan syarat sahnya tayammum adalah ketika tidak ada air di pesawat. Menurut  mazhab Syafi’i dan Hambali Kalau mendapatkan air tapi tidak cukup untuk berwudhu (menyucikan) secara sempurna, maka ia wajib mempergunakan air itu pada sebagian anggota wudhu yang mudah, dan sebagian yang lain boleh bertayammum. Kalau ada air hanya untuk wajah saja, maka cucilah wajahnya kemudian yang lain ditayammu minya.
Sedangkan menurut Mazhab-mazhab yang lain: Adanya air yang tidak cukup itu sama dengan tidak adanya air, maka bagi orang yang demikian tidak di wajibkannya selain bertayammum. Tapi pada masa sekarang, pembahasan tentang tidak adanya air bukan menjadi topik yang perlu diperdebatkan secara panjang lebar, karena pada saat sekarang air sudah mencukupi bagi setiap manusia, dimanapun saja, baik bagi orang yang musafir maupun yang mukim. Para ahli fiqih membahas tentang wajibnya mencari air dan kadar usaha untuk mencarinya. Kalau ia khawatir pada dirinya, hartanya, atau kehormatannya dari pencuri dan binatang buas, atau harus mengeluarkan uang yang lebih dari biasanya, dan seterusnya, maka semuanya itu dikarenakan mereka menemukan kesulitan yang berat untuk mendapatkan air.
Apabila mencermati unsur-unsur tayammum di pesawat maka kita akan menemukan adanya talfiq. Secara bahasa talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara syar’i adalah mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. Jelasnya, talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Dalam hal ini yaitu, memakai pendapat mazhab hambali pada bolehnya memakai alat tayammum semacam kain, tembok, batu dan sebagainya. Kemudian memakai pendapat mazhab maliki dan hanafi pada bolehnya memakai alat walaupun tidak ada debunya.
Talfiq menurut kesepakatan Ulama Tidak Dibenarkan. Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan :
س (الخامس) عدم التلفيق بأن لايلفق في قضية واحدة ابتداء  ولادواما بين قولين يتولد منهما حقيقة لا يقول بها صاحبهما . تنويرالقلوب ; 397
(Syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadliyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tak pernah dikatakan oleh orang yang berpendapat.” (Tanwirul-Qulub ; 397).
Sedangkan tujuan pelarangan itu adalah agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang mudah), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) di dalam hukum agama.
Atas dasar ini maka sebenarnya talfiq yang dimunculkan bukan untuk mengekang kebebasan umat Islam untuk memilih madzhab. Bukan pula untuk melestarikan sikap pembelaan dan fanatisme terhadap madzhab tertentu. Sebab talfiq ini dimunculkan dalam rangka menjaga kebebasan bermadzhab agar tidak disalahpahami oleh sebagian orang.
Untuk menghindari adanya talfiq yang dilarang ini, maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan memilih salah satu madzhab dari madzahib al-arba’ah yang relevan dengan kondisi dan situasi (Indonesia).[27]
Kemudian yang paling penting adanya darurat. Darurat inilah yang di jadikan MUI sebagai alasan di bolehkannya tayammum di pesawat. karena dimanapun seseorang, apabila masuk waktu sholat maka ia wajib mengerjakan sholat. Dan karena sulitnya memakai air. Maka diberi keringanan yaitu, diperbolehkannya tayammum. Kesulitan inilah yang di jadikan darurat.
SabdaRasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dari sahabat Abu Ummah RA:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ…وَجُعِلَتِ الْأَرْضُ كُلُّهَا لِيْ وَلِأُمَّتِي مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيْنَمَا أَدْرَكْتُ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي الصَّلاَةَ فَعِنْدَهُ مَسْجِدَهُ وَعِنْدَهُ طَهُورُهُ(رواه أحمد(
Bumi semuanya dijadikan bagiku dan umatku menjadi masjid dan alat bersuci (tayammum).Oleh karena itu, di mana saja seseorang dari umatku menjumpai waktu shalat, maka di tempat itulah ia mengerjakan shalat dan bersuci (bertayammum)”.[28]
Memahami hadist tersebut tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkan sholat, walaupun berada didalam pesawat. Oleh karena itu apabila tidak bisa memakai air, maka tayammum bisa dijadikan alternatif. Walaupun sholat di dalam pesawat juga memiliki permsalahan tersendiri. Yaitu tidak bisa mengahadap kiblat secara sempurna, dan tidak bisa mengerjakan rukun-rukun nya secara sempurna. Ke sah-an sholat seperti ini juga menjadi perdebatan para ulama Tetapi  penulis  tidak akan memperpanjang pembahasan masalah sholat di atas pesawat, karena buka pembahasan makalah kami.

BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Ø Dibolehkannya tayammum bagi orang yang sedang junub apabila tidak menemukan air. Demikian juga untuk wanita yang haid dan nifas apabila telah suci (yang sebenarnya harus mandi) tetapi tidak menjumpai air, hendaknya bertayammum. Anggota tayammum adalah wajah dan tangan, dan menggunakan satu kali tepukan.
Ø Tayamum secara etimologi (bahasa) bermakna القصد (menuju). Adapun secara terminologi (tinjauan syariat) tayamum adalah menyengaja menggunakan permukaan tanah untuk bersuci agar menjadi boleh segala yang dibolehkan dengan wudhu dan mandi.
Ø Mengenai tayamum, ada beberapa dalil yang membenarkan:
1.    Di dalam Al-Qur’an QS. Annisa’:43.
2.    Sedangkan dasar As-Sunnah kita dapati hadits yang diriwayatkan oleh imam bukhari dan muslim dari imran bin hushani.
Ø Dalam kitab safinatunnajah disebutkan, perkara yang menyebabkan di perbolehkannya tayammum ada 3, yaitu:
1.    Tidak ada air. baik pada waktu bepergian maupun bermukim.
2.    Jika orang sakit khawatir bila menggunakan air sakitnya semakin parah atau memperlambat kesembuhannya, atau anggota badannya terluka, atau dalam keadaan dingin yang berlebihan sehinngga hawatir menambah parah situasi yang dialaminya apabila menggunakan air.
3.    Orang yang memiliki air, tetapi ia menghawatirkan dirinya, teman seperjalanannya atau hewan  tunggangannya kehausan jika ia menggunakannya.
Ø tayammum hanya boleh untuk satu shalat fardhu dan boleh melakukan shalat sunnah berapapun yang di kehendaki.


Ø Perkara yang membatalkan tayammum ada 3:
1.    Semua perkara yang membatalkan wudu, (juga membatalkan tayammum).
2.    Murtad (keluar dari islam).
3.    Menduga ada air, jika tayammumnya karena tidak ada air.
Ø Ada beberapa pandangan 'ulama' fiqh berkenaan dengan penafsiran ayat tayamum di atas khususnya mengenai sarana tayamum:
Madhhab al-Shafiiyah mengatakan bahwa tayamum hanya bisa dilakukan dengan menggunakan debu. Senada dengan al-Shafiiyah, imam Ahmad, Ibn al-Mundhir dan Dawud. Berkata al-Azhar dan al-Qadi Abu al-Tib pendapat ini adalah pendapat mayoritas fuqaha' (ahli fiqh). Abu Hanifah dan Malik tayamum bisa (sah) dilakukan dengan menggunakan sesuatu yang menyambung dengan bumi seperti kayu.
Ø Para fuqaha secara sepakat membolehkan bertayammum dengan tanah galian dan berbeda pendapat tentang kebolehan bertayammum dengan selainnya, berikut penjelasan masing-masing madhhab:
1.    Syafi’iyah berpendapat bahwa tayammum hanya dibolehkan bila menggunakan tanah atau pasir yang mengandung debu. Apabila tanah dan pasir tersebut tidak mengandung debu maka tayamummnya dianggap tidak sah.
2.    Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan tayammum dengan segala sesuatu yang berada di atas permukaan bumi. Namun Madhhab Hanafi mengecualikan barang-barang tambang seperti kapur, garam, surfur dan lain-lain. Kesemuanya itu tidak dapat dijadikan bahan untuk bertayammum.
3.    Hanabilah membolehkan tayammum dengan menggunakan segala benda yang mengandung debu seperti batu, tembok, pelana, pakaian, bulu atau rambut yang mengandung debu dan sebagainya. Tetapi apabila benda-benda tersebut tidak mengandung debu maka tayammum dengan benda-benda tersebut tidak dibenarkan.

A.      Kritik dan Saran
Penulis menyadari lemahnya pemahaman akan materi yang diberikan oleh dosen pembimbing. Tetapi hal itu tidak menyurutkan keinginan kami untuk lebih maksimal dalam mengolah dan memperkaya isi makalah kami ini. Oleh sebab itu kami meminta dengan setulus hati kepada para pembaca yang budiman agar memberikan kirtik saran yang membangun supaya dengan kritik tersebut dapat membuat kami menyadari kesalahan dan dapat memperbaiki kesalahan itu di makalah-makalah selanjutnya.
Saran penulis agar lebih memahami isi makalah kami. Kami minta pembaca yang budiman membaca dengan seksama isi makalah kami ini. Salam dan  Hormat  dari penulis.




















DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim
Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978).
Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari SyarhShahihBukhari, (Beirut: Dar al-Makrifat, 1379).
Al-Majmu’ ‘Alaa Sarh al-Muhadzdzab.

Salim Bahreisy, Terjemah Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, (surabaya: balai pustaka, Tt)
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, (yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995).
Salim Bin Smeer Al-Hadhrami, Terjemah Safinatun Najah, (T.kt, T.pn, T.t).
Irwan kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, (Bandung: Mizan Media Utama (MMU), 2003).
Muhammad Alial-Sawbuni, Rawa’I al-Bayan: Tafsir Ayat al-ahkam jilid II, (Makkah:T.pn,T.t).
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2002).
H.E. Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
Muhyiddin Abdusshomad, Fiqih Tradisionalis, Malang:Pustaka Bayan, 2004.
Muhammad Amin al-Kurdi Tanwirul-Qulub
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
 






[1] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[2] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.
[3] Qs. Almaidah:6.
[4] Salim Bahreisy, Terjemah Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, (surabaya: balai pustaka, Tt), 59.
[5] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, (yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), 63.
[6] Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
[7] QS. Annisa’:43
[8] Ibid, Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, 64.
[9] Salim Bin Smeer Al-Hadhrami, Terjemah Safinatun Najah, (T.kt, T.pn, T.t), 12.
[10] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[11] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.
[12] QS. Al-maidah:6.
[13] Ibid, Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, 65.
[14] Adapun binatang yang tidak di muliakan menurut syara’ ada 6. Yaitu: orang yang meninggalkan salat, orang zina muhshon, orang murtad, orang kafir yang memerangi, anjing galak, dan babi.
[15] Irwan kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, (Bandung: Mizan Media Utama (MMU), 2003), 56.
[16] Lihat QS.al-Maidah:38.
[17] Muhammad Alial-Sawbuni, Rawa’I al-Bayan: Tafsir Ayat al-ahkam jilid II, (Makkah:T.pn,T.t), 542.
[18] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2002), 81.
[19] Ibid, Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, 68.
[20] H.E. Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 51.
[21] Ibid, H.E. Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, 50.
[22] Ibid, Irwan kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, 57.
[23] Ibid, Salim Bin Smeer Al-Hadhrami, Terjemah Safinatun Najah, 14.
[24] Ibid, Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, 66.
[25] Al-Majmu’ ‘Alaa Sarh al-Muhadzdzab II/212
[26] Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari SyarhShahihBukhari, (Beirut: Dar al-Makrifat, 1379), juz ke-1, hal. 442.
[27] Muhyiddin Abdusshomad, Fiqih Tradisionalis, Malang:Pustaka Bayan, 2004
[28] Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978), juz ke-5, hal.248, no. 22190.

Related Posts:

0 Comments:

Posting Komentar

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Posting Terbaru

Tayangan halaman minggu lalu

72

Cari Blog Ini

Cari


Pengikut

Translate

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's.

Ads

Ad Banner

Pages

About

recentposts

Popular Posts