Proses Pembuktian
(Hukum Acara Peradilan Agama)

A.      Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian
Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting dalam hukum acara karena pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum pembuktian termasuk dari bagian hukum acara sedangkan Peradilan Agama mempergunakakan hukum acara yang berlaku bagi Peradilan Umum.[1]
Pembuktian merupakan salah satu rangkaian tindakan hakim dalam melaksanakan tugas pokok pemeriksaan perkara yaitu mengonstatir perkara. Adapun tugas pokok hakim dalam pemeriksaan perkara yang dilakukan secara berurut dan sistematis, yaitu: pertama mengonstatir perkara yaitu melihat benar tidaknya peristiwa dan fakta-fakta yang diajukan pihak-pihak yang berperkara, sebagaimana halnya pembuktian. Kedua, mengualifisir peristiwa yang telah dikonstatir hukumnya atau mengadili menurut hukum dan yang ketiga, menetapkan dan menerapkan hukumnya untuk keadilan.[2]
Adapun arti membuktikan yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[3]
Asas hukum pembuktian ini diatur dalam Pasal 163 HIR atau Pasal 283 RBg yang berbunyi: “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.[4]
Praktik substansi asas pembuktian ini diterapkan secara selektif dalam proses peradilan. Dalam artian, tidak semua fakta-fakta hukum harus dibuktikan di persidangan.

B.       Macam-macam Alat Bukti
Setiap alat bukti yang diajukan di persidangan sah bernilai sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian harus mencapai batas minimal. Jika tidak, alat bukti tersebut dikesampingkan dalam penilaian pembuktian. Batas minimal secara teknis dan populer dapat diartikan sebagai suatu jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan atau dikemukakan. Apabila alat bukti yang diajukan dipersidangan tidak mencapai batas minimal, alat bukti tersebut tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan.[5]
Adapun patokan menentukan batas minimal pembuktian adalah patokan yang didasarkan kualitas tidak kuantitas. Menurut hukum, alat bukti yang berkualitas dan sah sebagai alat bukti adalah alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil. Untuk mengetahui syarat formil dan syarat materiil apa yang melekat pada suatu alat bukti harus merujuk kepada ketentuan UU yang berkenaan dengan alat bukti yang bersangkutan karena syarat formil dan materiil yang melekat pada setiap alat bukti tidak sama, misalnya tidak sama syarat formil dan materil alat bukti saksi dengan akta.[6]
Alat bukti dalam hukum acara perdata tertuang dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, dan Pasal 1866 KUH Perdata yaitu alat bukti surat (tertulis), alat bukti saksi, persangkaan (dugaan), pengakuan dan sumpah.[7]

1.    Alat Bukti Surat (Tertulis)
a)    Pengertian alat bukti surat (tertulis)
Alat bukti surat (tertulis) adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.[8]
b)   Macam-macam alat bukti surat (tertulis)
1)        Akta, yaitu suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan demikian maka unsur-unsur yang penting untuk suatu akta adalah kesengajaan untuk menciptakan suatu alat bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu.[9] Akta tersebut terbagi dua, yaitu:
(a)                Akta otentik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 165HIR, Pasal 258 RBg, Pasal 1868 KUH Perdata yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan. Akta otentik dibuat “oleh” pejabat yang berwenang tersebut, misalnya Juru sita Pengadilan membuat berita acara pemanggilan pihak-pihak yang berperkara. Sedangkan dibuat “di hadapan” apabila pejabat yang berwenang tersebut menerangkan apa yang akan dilakukan oleh seseorang dan sekaligus meletakkannya dalam suatu akta, misalnya A dan B melakukan jual beli, mereka minta untuk dibuatkan akta jual belinya kepada notaris dan notaris membuatkan akta tersebut di hadapan mereka.[10]
(b)                Akta bawah tangan, yaitu segala tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Misalnya surat jual-beli tanah yang dibuat oleh ke dua belah pihak.[11]
2) Bukan akta, yaitu tulisan yang tidak sengaja dijadikan alat bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya.[12]
c)    Batas minimal pembuktian alat bukti tulisan
1)   Akta otentik.
Nilai kekuatan pembuktian akta otentik diatur dalam Pasal 1870 KUH Perdata, Pasal 165 HIR dan Pasal 285 RBg yaitu sempurna dan mengikat. Sempurna berarti tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Sedangkan mengikat berarti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim yaitu harus dianggap benar.[13]
2)   Akta bawah tangan
Menurut Pasal 288 Rbg bahwa sejak tanda tangan diakui, akta di bawah tangan itu memberikan pembuktian yang sama seperti akta otentik yaitu sempurna dan mengikat bagi para pihak yang bersangkutan dan para ahli waris mereka. Akan tetapi, terhadap pihak ketiga akta bawah tangan tersebut tidak mengikat karena kekuatan pembuktian ke luar tidak dapat dicapai atau dimiliki oleh suatu akta bawah tangan.[14]
3)   Tulisan-tulisan bukan akta
HIR dan RBG maupun KUH Perdata tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan yang bukan akta. Dengan demikian, tulisan-tulisan yang bukan akta adalah sebagai alat bukti bebas, artinya hakim mempunyai kebebasan untuk mempercayai atau tidak mempercayai tulisan-tulisan yang bukan akta tersebut.[15]



2.    Alat Bukti dengan Saksi
a.    Pengertian kesaksian
Kesaksian yaitu alat bukti yang diberitahukan secara lisan dan pribadi oleh saksi yang bukan pihak terkait dalam perkara tersebut, untuk memberikan kepastian kepada hakim di muka persidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan. Dengan demikian, unsur yang harus ada pada alat bukti kesaksian adalah:
1)         Keterangan kesaksian itu diucapkan sendiri oleh saksi secara lisan di muka persidangan.
2)         Tujuan kesaksian untuk memberi kepastian kepada hakim tentang peristiwa yang dipersengketakan.
3)         Saksi tidak merupakan salah satu pihak yang berperkara.[16]
b.    Kekuatan pembuktian dengan alat bukti saksi
Mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi, berdasarkan Pasal 1908 KUH Perdata dan Pasal 172 HIR bersifat bebas. Menurut pasal tersebut, hakim bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi berdasar kesamaan atau saling berhubugannya antara saksi yang satu dengan yang lain. Maksud pengertian nilai kekuatan pembuktian bebas yang melekat pada alat bukti saksi adalah kebenaran yang terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi di persidangan dianggap tidak sempurna dan tidak mengikat dan Hakim tidak terikat untuk menerima atau menolak kebenarannya.[17]
Bertitik tolak dari nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, maka batas minimal pembuktian dengan alat bukti saksi yaitu saksi paling sedikit 2 (dua) orang yang telah memenuhi syarat formil dan materiil. Dengan demikian, satu orang saksi saja belum mencapai batas minimal pembuktian karena seorang saksi tidak merupakan kesaksian (unus testis nullus testis). Akan tetapi, apabila alat bukti seorang saksi dikuatkan dengan satu alat bukti lain serta keterangan saksi sesuai dengan alat bukti lain, maka hakim dapat memberikan putusan berdasarkan kedua alat bukti tersebut.[18]
3.    Persangkaan
a.    Pengertian persangkaan
Persangkaan adalah uraian hakim, dengan mana hakim dari fakta yang terbukti menyimpulkan fakta yang tidak terbukti.[19]
b.    Kekuatan pembuktian alat bukti persangkaan
1)         Persangkaan menurut hakim mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Oleh karena itu, hakim bebas untuk menerima atau menolak kebenaran yang terdapat di dalam persangkaan tersebut. Dengan demikian, karena nilai kekuatan pembuktiannya bebas maka persangkaan menurut hakim tidak dapat berdiri sendiri, minimal harus ada dua persangkaan atau satu persangkaan dikuatkan dengan satu alat bukti lain.[20]
2)         Persangkaan menurut UU yang tidak memungkinkan pembuktian lawan, maka nilai kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna, mengikat dan memaksa. Dengan demikian, kebenaran yang melekat pada alat bukti ini bersifat imperatif bagi hakim untuk dijadikan sebagai dasar penilaian dalam mengambil putusan. Oleh karena pada alat bukti ini melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan, maka alat bukti tersebut dapat berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain dan telah memenuhi batas minimal pembuktian.[21]
3)         Adapun persangkaan menurut UU yang memungkinkan pembuktian lawan, maka nilai pembuktiannya tidak absolut karena dapat dibantah dengan bukti lawan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian alat bukti ini menjadi alat bukti permulaan dan tidak dapat berdiri sendiri tetapi harus mendapat dukungan alat bukti lain agar dapat mencapai batas minimal pembuktian.[22]
4.    Pengakuan
a.    Pengertian pengakuan
Pengertian pengakuan yaitu suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau lisan dari salah satu pihak beperkara yang isinya membenarkan dalil lawan baik sebagian maupun seluruhnya.[23]
b.    Macam-macam pengakuan
1)                       Pengakuan murni yaitu pengakuan yang membenarkan secara keseluruhan gugatan penggugat.
2)                       Pengakuan dengan kualifikasi yaitu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan sangkalan dari pihak lawan.
3)                       Pengakuan dengan klausul yaitu yang disertai dengan keterangan tambahan yang sifatnya dapat membebaskan diri dari gugatan.[24]
c.    Kekuatan pembuktian alat bukti pengakuan
1)                       Pengakuan murni yang telah memenuhi syarat formil dan meteriil, nilai kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna, mengikat dan menentukan. Dengan demikian, kebenaran yang terkandung dalam pengakuan murni merupakan kekuatan yang bersifat mutlak sehingga para pihak dan hakim terikat untuk menerima kebenaran tersebut dan hakim harus mempergunakannya sebagai dasar penyelesaian.[25]
Syarat formil pengakuan yaitu disampaikan dalam proses persidangan dan pengakuan diberikan oleh pihak materil/kuasanya dalam bentuk lisan atau tertulis dalam replik-duplik atau kesimpulan. Sedangkan syarat materil pengakuan yaitu pengakuan berhubungan langsung dengan pokok perkara, tidak bertentangan dengan hukum, susila, agama dan ketertiban umum serta tidak merupakan kebohongan.[26]
2)   Pengakuan dengan klausula dan kualifikasi
Adapun pengakuan dengan klausula dan pengakuan dengan klasifikasi dalam praktik tidak begitu mudah membedakan antara keduanya sehingga yang sering diterapkan adalah pengakuan dengan klausula meskipun yang sebenarnya terjadi secara teoritis adalah pengakuan dengan kualifikasi.[27]
Pengakuan dengan klausul harus ditegakkan prinsip tidak boleh dipecah. Hakim tidak boleh menerima sebagian yang menguntungkan pihak lain dan menolak pengakuan yang merugikan pihak yang mengaku, tetapi pengakuan tersebut harus diterima secara keseluruhan dipertimbangkan oleh hakim dengan seksama. Dengan demikian, nilai pembuktiannya bersifat bebas bahkan sifat kekuatan pembuktiannya hanya sebagai alat bukti permulaan. Oleh karena sifat kekuatan pembuktiannya sebagai alat bukti permulaan, maka batas minimal pembuktiannya harus dikuatkan dengan satu alat bukti lain.[28]
5.    Sumpah
a.    Pengertian sumpah
Sumpah adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi pada hakikatnyan sumpah merupakan tindakan bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.[29]

b.    Kekuatan pembuktian alat bukti sumpah
1)                       Sumpah decisoir (pemutus) mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan dan secara mutlak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain sehingga tidak memungkinkan adanya pembuktian lawan.[30] Hal ini disebabkan karena UU telah menentukan apabila seseorang telah mengucapkan sumpah dalam persidangan dalamkedudukan dan kapasitasnya sebagai pihak  dalam perkara yang sedang disidangkan, maka secara formil keterangan yang diikrarkan itu wajib dianggap benar. Pasal 1936 KUH Perdata melarang untuk membuktikan kepalsuan sumpah tersebut. Sedangkan Pasal 177 HIR menegaskan bahwa hakim tidak boleh meminta alat bukti lain untuk membuktikan hal yang telah diikrarkan dalam sumpah.[31]
2)                       Sumpah supleoir (pelengkap) mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sama dengan sumpah pemutus, yakni bersifat sempurna, mengikat dan memaksa sehingga hakim secara mutlak terikat menerima kebenarannya dan putusan yang dijatuhkan bertitik tolak dari alat bukti tersebut. Akan tetapi, ada yang berpendapat bahwa sumpah pelengkap ini hanya mempunyai nilai kekuatan penyempurna dan pengikat sehingga terhadapnya dapat diajukan bukti lawan apabila pihak lawan dapat membuktikan bahwa sumpah tersebut palsu.[32]
3)                       Sumpah aestimatoir (penaksir), nilai kekuatan pembuktian sumpah penaksir oleh M. Yahya Harahap disebut sempurna, mengikat dan menentukan. Kekuatan pembuktian sumpah penaksir ini disebutkan dalam Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR/ 1936 KUH Perdata sebagai pembuktian yang tidak boleh dimintakan bukti lain untuk menguatkan apa yang telah diucapkannya. Namun demikian, menurut Sudikno Mertokusumo kekuatan pembuktian sumpah penaksir sama dengan sumpah tambahan, yaitu bersifat sempurna dan memungkinkan pembuktian lawan. [33]

C.      Proses Pembuktian
Setelah melewati rangkaian persidangan maka acara selanjutnya adalah pembuktian di muka sidang. Hal ini untuk membutikan dan memperkuat hal-hal yang di kemukakan oleh penggugat dan tergugat.
Dalam makalah ini akan di contohkan pembuktian pada sidang perkara cerai gugat. Setelah penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, maka penggugat dan tergugat akan di panggil untuk menghadiri sidang  pertama.
·      Pertama, Upaya Perdamaian.
·      Kedua, Pembacaan Surat Permohonan/Gugatan.
·      Ketiga, Jawaban Termohon/Tergugat.
·      Keempat, Replik Pemohon/Penggugat.
·      Kelima, Duplik Termohon/Tergugat.
·       Keenam, Pembuktian, Penggugat/Pemohon mengajukan semua alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugatan. Demikian juga Tergugat/Termohon mengajukan alat bukti untuk mendukung jawaban (sanggahan) masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawan.
a.    Penyerahan bukti
Yaitu penggugat menyerahkan kepada Ketua Majelis bukti surat contohnya:
1.    Buku nikah asli dan photocopy-nya;
2.    Kartu keluarga asli dan photocopy-nya (bila sudah dibuat);
3.    Akta kelahiran anak asli dan photocopy-nya;
Bukti-bukti photocopy-an harus di nazegelen (di cap materai), caranya; bawalah bukti-bukti photocopy-an tersebut ke kantor pos besar. Lalu tiap-tiap bukti photocopy-an tersebut ditempel materai dan di cap oleh petugas kantor pos. Biaya setiap materai dan pengecapan biasanya Rp 6.000-an.
b.    Menghadirkan saksi
Yaitu  penggugat dan tergugat menghadirkan saksi yang menjadi penguat dari jawaban keduanya. Sidang pembuktian/saksi dimulai, di awal sidang, satu saksi dipersilahkan Hakim untuk berdiri untuk memperlihatkan KTP lalu Hakim membacakan sumpah saksi yang diikuti oleh saksi. Saksi dipersilahkan duduk dan Hakim akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan menyangkut masalah rumah tangga penggugat dan tergugat. Pada tahap ini Ketua Majelis akan menanyakan kepada para saksi perihal jawaban penggugat atau tergugat pada persidangan. Dengan jawaban para saksi ini lah Hakim akan menentukan keputusan.
·       Ketujuh, Kesimpulan, masing-masing pihak baik Penggugat/Pemohon maupun Tergugat/Termohon mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan.
·       Kedelapan Musyawarah Majelis dan Pembacaan Gugatan, Hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkan dalam amar putusan, sebagai akhir dari sengketa yang terjadi antara Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon.














DAFTAR PUSTAKA

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006)
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012)
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2013)
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005)
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cet. Ke-4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi, (Malang: UIN Malang Press, 2009)
Subekti, Hukum Acara Perdata, cet. ke-2, (Bandung: Bina Cipta, 1982)
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, cet. ke-5 Edisi Revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009)
Wahju Muljono, Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012)
Sarwono, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009)
 




[1] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006) hlm: 143
[2] Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), 53-54
[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2013), 144.
[4] M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 35
[5] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cet. Ke-4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 539-540.
29
[6] Harahap, Hukum Acara........... 542-543.
[7] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi, (Malang: UIN Malang Press,
2009), 262.
[8] Rasyid, Hukum Acara........ 153.
[9] Subekti, Hukum Acara Perdata, cet. ke-2, (Bandung: Bina Cipta, 1982), 89
[10] Rasyid, Hukum Acara ...... ...153
[11] Ibid., 154
[12] Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, cet. ke-5 Edisi Revisi,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), 97
[13] Subekti, Hukum Acara........... 91
[14] Subekti, Hukum Acara............. 94
[15] Syhrani, Buku Materi .........98
[16] Ali, Asas-Asas Hukum........... 92
[17] Harahap, Hukum Acara...... 548
[18] Harahap, Hukum Acara.......... 548-549
[19] Wahju Muljono, Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), 114
[20] Harahap, Hukum Acara....... 552
[21] Ibid., 551
[22] Ibid., 552
[23] Hutagalung, Praktik Peradilan......... 87
[24] Sarwono, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), 277-278
[25] Harahap, Hukum Acara....... 549
[26] Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), 113
[27] Harahap, Hukum Acara........ 738
[28] Ibid., 550-551
[29] Mertokusumo, Hukum Acara.........197
[30] Ibid., 96
[31] Harahap, Hukum Acara......... 746
[32] Ibid., 778
[33] Rasyid, Hukum Acara...... 116

Related Posts:

0 Comments:

Posting Komentar

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Posting Terbaru

Tayangan halaman minggu lalu

49

Cari Blog Ini

Cari


Pengikut

Translate

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's.

Ads

Ad Banner

Pages

About

recentposts

Popular Posts