Rekonvensi
(gugatan balik) dalam Acara Pengadilan Agama
(Hukum
Acara Peradilan Agama)
Gugatan rekonvensi diatur dalam Pasal 132 a dan Pasal 132 b HIR
yang disisipkan dalam HIR dengan Stb. 1927-300 yang diambil alih dari Pasal
244-247 B.Rv. Sedangkan dalam R.Bg, rekonvensi diatur dalam Pasal 157 dan Pasal
158. Dalam Hukum Acara Perdata, gugatan rekonvensi dikenal dengan “gugat balik”
berhubung tergugat juga melakukan wanprestasi pada penggugat. Tergugat baru
dapat melakukan gugatan rekonvensi, apabila secara kebetulan berkaitan dengan
hukum kebendaan yang sedang diperiksa dalam sidang pengadilan, gugat rekonvensi
tidak boleh dilaksanakan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum
perorangan atau yang menyangkut dengan status orang. Jadi tidak semua gugatan penggugat
dibalas dengan gugatan rekonvensi.[1]
Uraian tentang rekonvensi meliputi berbagai aspek, seperti yang
dibicarakan di bawah ini.
A.
Pengertian Gugatan Rekonvensi
Dalam ketentuan Pasal 132 a ayat (1) HIR, hanya memberikan
pengertian singkat yaitu menurut Pasal tersebut maknanya adalah:
Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan
balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya, dan gugatan
rekonvensi diajukan tergugat kepada pengadilan pada saat berlangsung proses pemeriksaan
gugatan yang diajukan penggugat;
Makna gugatan rekonvensi yang terkandung dalam Pasal 244 B.Rv
hampir sama dengan yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 132 a ayat (1) HIR,
yang mengatakan bahwa gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan
tergugat terhadap tenggugat dalam suatu proses perkara yang sedang berjalan.[2]
Contoh: kasus perceraian, suami mengajukan gugatan cerai terhadap
istri ke Pengadilan Agama. Atas gugatan tersebut istri mengajukan gugatan
rekonvensi mengenai pembagian harta bersama. Apabila gugatan cerai tidak dapat
diterima, maka otomatis gugatan rekonvensi mengenai harta bersama harus
dinyatakan tidak dapat diterima, karena antara kedua gugatan tersebut terdapat
koneksitas yang erat, sebagaimana digariskan dalam putusan MA No.50 K/Pdt/1983.[3]
Menurut putusan tersebut demi asas peradilan sederhana, cepat dan
biaya ringan, dapat dikomulasikan gugatan cerai dengan pembagian harta bersama,
hadhanah, dll.
Memang hukum membolehkan proses pemeriksaan dilakukan secara
terpisah, sehingga masing-masing dituangkan dalam putusan yang berbeda. Namun
pada prinsipnya yang harus ditegakkan adalah sedapat mungkin perkara diperiksa
dan diputus secara bersamaan dalam satu putusan.
Istilah untuk rekonvensi banyak ragamnya dari ahli hukum seperti
Soepomo, menggunakan istilah tuntutan kembali, Abdul kadir Muhammad menggunakan
istilah gugatan balasan sama dengan Soebekti dan Wiryono memakai istilah
gugat-ginugat. Untuk membuat keseragaman dalam istilah, berdasarkan kenyataan
praktek peradilan dan praktisi hukum telah menerima istilah rekonvensi sebagai
hal yang baku, untuk mempergunakan istilah tersebut dalam pembahasan
selanjutnya dalam tulisan ini, sudah cukup alasan.
B.
Tujuan Gugatan Rekonvensi
Tujuan gugatan rekonvensi adalah untuk mengimbangi gugatan penggugat,
agar sama-sama dapat diperiksa sekaligus, menggabungkan dua tuntutan yang
berhubungan untuk diperiksa dalam persidangan sekaligus, mempermudah prosedur
pemeriksaan, menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain,
menetralisir tuntutan konvensi, memudahkan acara pembuktian dan menghemat biaya,[4]
dan berbagai tujuan positif yang terkandung dalam sistem rekonvensi tersebut.
Manfaat yang diperoleh dalam menggabungkan dua gugatan sekaligus, bukan hanya
sekedar memenuhi kepentingan pihak tergugat saja, melainkan meliputi
kepentingan penggugat maupun penegakan kepastian hukum dalam arti luas. Yang
terpenting diantara tujuan itu adalah:[5]
1.
Menegakkan
Asas Peradilan Sederhana.
Sesuai dengan
ketentuan Pasal 132 b ayat (3) HIR, gugatan konvensi dan rekonvensi diperiksa
dan diputus secara serentak dan bersamaan dalam satu proses, dan dituangkan
dalam satu putusan. Sistem yang menggabungkan /menyatukan dua tuntutan gugatan
pemeriksaan dan putusan dalam satu proses, sangat menyederhanakan penyelesaian
perkara. Penyelesaian perkara yang semestinya harus dilakukan dalam dua proses
yang terpisah dan berdiri sendiri, dibenarkan hukum untuk menyelesaikan secara
bersama. Dengan demikian penggabungan konvensi dan rekonvensi, sesuai dengan
asas peradilan sederhana yang digariskan Pasal 4 ayat (2) UU No.14 Tahun 1970,
sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 1999, dan sekarang berdasarkan Pasal 4
ayat (2) UU No.4 Tahun 2004. Seperti yang dikatakan Supomo, salah satu tujuan rekonvensi
adalah “Untuk Mempermudah Prosedur”,[6]
dengan arti kata bertujuan untuk menyederhanakan proses penyelesaian perkara.
2.
Menghemat
Biaya Dan Waktu
a)
Menghemat
Biaya:
Apabila
pemeriksaan gugatan rekonvensi dilakukan secara terpisah dengan konvensi, biaya
yang mesti dikeluarkan untuk memanggil para pihak maupun biaya lain yang mesti
dikeluarkan menjadi dua kali lipat. Sebaliknya, apabila pemeriksaan dilakukan
melalui sistem rekonvensi, biaya dapat dihemat lebih kurang 50%, karena
biaya rekonvensi menjadi nol (Zero cost), diabsorbsi oleh biaya konvensi.
b)
Menghemat
Waktu
Apabila proses
pemeriksaan berdiri sendiri, sudah harus memerlukan waktu yang berbeda dan
terpisah untuk masing-masing gugatan. Konvensi memerlukan jatah waktu
tersendiri dan begitu pula sebaliknya dengan gugatan rekonvensi, akan tetapi
sesuai dengan ketentuan Pasal 132 b ayat (2) HIR, yang memerintahkan
pemeriksaan antara keduanya dalam satu proses dan dalam satu putusan,
penyelesaian kedua perkara menjadi lebih singkat, jangka waktu yang
dipergunakan dapat dihemat setengah dari semestinya. Memperhatikan efektifitas
dan efisiensi biaya dan waktu yang dihasilkannya, Pelembagaan Sistem Rekonvensi
sangat menopang asas yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (2) UU No.4 Tahun 2004
yaitu asas Peradilan ”SEDERHANA, CEPAT dan BIAYA RINGAN”.
3.
Menghindari
Putusan Yang Saling Bertentangan
Hal lain yang
dapat diperoleh dari sistem rekonvensi adalah untuk menghindari terjadinya putusan
yang saling bertentangan[7],
terutama akan muncul dalam kasus gugatan rekonvensi yang benar-benar saling
berkaitan atau berhubungan (innerlijke samen hangen) dengan konvensi. Jika
pemeriksaan antara keduanya terpisah dan berdiri sendiri, besar kemungkinan
putusan yang dijatuhkan saling bertentangan antara putusan gugatan konvensi
dengan putusan rekonvensi terjadi kontroversi innerlijke, apalagi perkara
tersebut diperiksa oleh Majelis yang berbeda.
C.
Syarat Formil Gugatan Rekonvensi
Gugatan rekonvensi harus jelas keberadaannya, mesti diformulasi
atau diterangkan oleh tergugat dalam jawaban, dengan demikian penegasan putusan
MA No.330 K/Pdt/1986, tanggal 14 Mei 1987. Meskipun HIR tidak secara tegas
menentukan dan mengatur syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan itu
dianggap ada dan sah, gugatan itu harus dirumuskan secara jelas dalam jawaban.
Tujuannya agar pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan
rekonvensi yang diajukan tergugat kepadanya.
Bentuk pengajuan, gugatan rekonvensi boleh secara lisan, sebagai
mana ketentuan Pasal 132 a ayat (1) HIR, akan tetapi lebih baik dengan cara
tertulis. Bentuk-bentuk yang mana saja boleh dipilih Tergugat ? Apapun
bentuknya, yang penting diperhatikan, gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat
formil gugatan ada 3 yaitu:
1)
Menyebut
dengan tegas subjektif yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi.
2)
Merumuskan
dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum
(rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijtelijkegrond) yang melandasi gugatan
tersebut.
3)
Menyebut
dengan rinci petitum gugatan rekonvensi tersebut.
Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, gugatan rekonvensi
dianggap tidak memenuhi syarat, dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Menurut putusan MA No.1154 K/Sip/1973, tanggal 1 April 1975, gugatan rekonvensi
yang tidak memenuhi unsur syarat formil gugatan, maka dianggap bukan merupakan
gugatan rekonvensi yang konstruksi ini seolah-olah ada gugatan rekonvensi pada
hal tersebut tidak tegas dinyatakan dalam jawaban tergugat atau apabila unsur
yang disyaratkan tidak terpenuhi tidak dapat dibenarkan. Misal Tergugat
menegaskan dalam jawaban mengajukan gugatan rekonvensi, tetapi tidak dibarengi
dengan petitum gugatan. Dalam kasus ini, meskipun gugatan itu merumuskan dalil,
gugatan rekonvensi dianggap tidak sah, apabila dalil itu tidak dibarengi dengan
petitum gugatan.
Dalam ketentuan Pasal 132 a ayat (1) HIR selain syarat formil yang
berbunyi: “Tergugat wajib mengajukan gugatan melawan, bersama-sama dengan
jawabannya baik dengan cara tertulis maupun dengan cara lisan”. Jadi dengan
arti kata, bahwa gugatan rekonvensi tidak bisa diajukan secara tersendiri dari
gugatan konvensi. Makna “jawaban” dalam kalimat wajib diajukan bersama-sama
dengan jawaban adalah: jawaban pertama berdasarkan alasan berikut:
a)
Membolehkan
atau memberi kebebasan bagi tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi diluar
jawaban pertama (dapat diajukan dalam jawaban pertama, apabila tidak diajukan
pada waktu tersebut, maka rekonvensi tidak memenuhi syarat formil, sehingga
gugatan rekonvensi tidak dapat diterima), dapat menimbulkan kerugian bagi
Penggugat dalam membela hak dan kepentingannya.
b)
Atau
membolehkan tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi melampaui jawaban
pertama, dapat menimbulkan ketidaklancaran pemeriksaan dan penyelesaian
perkara.
c)
Rasio
yang terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti pada jawaban pertama, yaitu
agar tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan haknya untuk mengajukan
gugatan rekonvensi.
Alasan-alasan yang tersebut di atas makna jawaban dalam Pasal 132 a
ayat (1) HIR, mendasari pendapat Prof. Soebekti, bahwa gugatan rekonvensi dapat
diajukan sewaktu-waktu sampai tahap pemeriksaan saksi dimulai, hal ini hanya
dapat dibenarkan dalam proses secara lisan, dan tidak dalam proses secara
tertulis. Dalam praktek, terdapat juga putusan MA yang mendukung pendapat yang
sempit ini. Tanpa mengurangi kemungkinan putusan ini sebagai sempalan, dapat
dikemukakan salah satu diantaranya, yaitu Putusan MA No.346K/Sip/1975, tanggal
26 April 1979,[8] yang
dikatakan gugatan rekonvensi baru diajukan tergugat pada jawaban kedua, oleh
karena itu gugatan rekonvensi tersebut adalah terlambat karena telah melampaui
batas pengajuan. Pendirian sempit seperti itu, sepertinya kurang bernuansa
mencapai penegakan hukum berdasarkan moral justice tetapi lebih mengedepankan
penegakan legal justice.
Menurut pendapat yang lebih toleran, atau pendapat yang menafsirkan
secara luas/elastis, memberi batasan pengajuan gugatan rekonvensi sampai tahap
proses pemeriksaan pembuktian. Pengajuan tidak mesti bersama-sama dengan “jawaban
pertama”, tetapi dibenarkan sampai proses pemeriksaan memasuki tahap
pembuktian. Dengan demikian gugatan rekonvensi tidak mutlak diajukan pada
jawaban pertama, tetapi dimungkinkan pada pengajuan duplik. Pendapat tersebut
merujuk kepada ketentuan Pasal 132 b ayat (1) HIR itu sendiri. Dalam Pasal
tersebut tidak dijumpai kata atau kalimat secara tegas, bahwa yang dimaksud dengan
jawaban adalah “ jawaban pertama”, kalimatnya hanya menyebut bersama-sama
dengan jawaban. Dengan demikian, ditinjau dari tata tertib beracara dan teknis
yudisial, gugatan rekonvensi tetap terbuka diajukan selama proses pemeriksaan
masih dalam tahap jawab menjawab. Yang menjadi syarat adalah gugatan rekonvensi
diajukan secara bersama-sama dengan jawaban, boleh pada jawaban pertama dan
boleh pada jawaban duplik terhadap replik penggugat dan kepada penggugat
diberikan kesempatan sekali lagi untuk mengajukan replik atas gugatan
rekonvensi yang diajukan tergugat pada tahap duplik. Pendapat tersebut merujuk
kepada Pasal 132 b ayat (1) HIR itu sendiri.[9]
Apabila tahap tersebut dilampaui oleh tergugat, maka pengajuan
gugatan rekonvensi tidak sah dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Pengajuan demikian dianggap sewenang-wenang, oleh karena itu dapat disetujui
pendapat MA No.642 K/Sip/1972, tanggal 18 September 1973,[10]
yang mengatakan bahwa gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat pada sidang ke-8
dan proses pemeriksaan telah sampai pada tahap pendengaran keterangan
saksi-saksi, maka harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena telah melampaui
batas pengajuan gugatan rekonvensi. Putusan Pengadilan lebih cenderung
menerapkan pendapat yang luas atau penafsiran secara elastis sesuai dengan
putusan MA No.239K/Sip/1968.[11]
DAFTAR
PUSTAKA
Manan,
Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama,
Jakarta: Kencana, 2008
Harahap,
M.Yahya, Perlawanan terhadap Grose Akta serta Putusan Pengadilan
dan Arbitrase dan hukum eksekusi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Harahap,
M.Yahya, Hukum Acara Perdata,
Sinar Grafika, jakarta, 2008
Soepomo,
Hukum Acara Perdata, Pradya Paramita, Jakarta, 1993
[1] Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2008,
hlm. 54.
[2] M.Yahya
Harahap, Perlawanan terhadap Grose Akta serta Putusan Pengadilan dan
Arbitrase dan hukum eksekusi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm 198.
[3] Tanggal 7 Juli
1984, jo PT.Jakarta No.790, 21 Agustus 1982, jo PN Jakarta Barat No.276/1980,
21 Agustus 1980.
[4] Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2008,
hlm. 54.
[5] M.Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, jakarta, 2008, hlm.
472-474.
[6] Soepomo, Hukum
Acara Perdata, Pradya Paramita, Jakarta, 1993, hlm.37.
[7] Ibid
hlm:40.
[8] Rangkuman
Yurisprodensi, hlm.302
[9] M.Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, hlm.483.
[10] Rangkuman
Yurisprudensi, hlm. 203
[11] Ibid
0 Comments:
Posting Komentar