ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
A.
Pengertian Asas Hukum
Asas
hukum adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari
peraturan hukum yang pasti (Hukum Positif). Prof. Dr.Satjipto Rahardjo, SH.
mengatakan asas hukum adalah jiwanya peraturann hukum, karena merupakan dasar
lahirnya peraturan hukum, ialah rasio legisnya peraturan hukum. Asas hukum ini
dapat ditemukan disimpulkan langsung ataupun tidak langsung dalam
peraturan-peraturan hukum yang pada hakikatnya mengandung unsur-unsur asas-asas
hukum yang bersangkutan.[1]
B.
Asas-Asas Dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Di
dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama diatur beberapa asas umum
Peradilan Agama. Yang dimaksud asas umum peradilan agama adalah asas hukum
tertentu dalam bidang hukum acara yang
secara khusus dimiliki oleh peradilan agama[2].
a.
Asas-asas
umum peradilan agama
1.
Asas
Bebas Merdeka
Dalam penjelasan pasal 1 UU No. 4
tahun 2004 ini menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung
pengertian bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas campur tangan pihak kekuasaan
negara lainnya dan kebebasan dari paksaan.[3]
2.
Asas
Sebagai Pelaksana Kekuasaan kehakiman
Pasal 10 UU No. 4 tahun 2004,
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara.[4]
3.
Asas
Ketuhanan
Peradilan Agama dalam menerapkan
hukumnya selalu berpedoman pada sumber Hukum Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun
penetapan harus dimulai dengan kalimat “basmalah” yang diikuti dengan irah-irah
“demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”
4.
Asas
Fleksibilitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan
Peradilan Agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Yang
berdasarkan pasal 2 ayat 4 UU No. 48 tahun 2009.[5]
5.
Asas
Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam
hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI tahun 1945.
6.
Asas
Legalitas
Asas ini diatur dalam pasal 4 ayat 1
UU No. 48 tahun 2009, Pengadilan Agama mengadili menurut Hukum Islam dengan
tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan
hak derajat setiap orang dimuka persidangan pengadilan Agama tidak terabaikan.[6]
7.
Asas
Audi et Alteram Partem
Hakim wajib menyamakan kedudukan
para pihak yang berperkara dimuka persidangan. Dalam arti pengadilan dalam mengadili
para pihak harus ada unsur-unsur kesamaan derajat, kesamaan hak di persidangan,
dan para pihak mempunyai kedudukan yang sama dimuka persidangan. Hal ini
berdasarkan pada pasal 1 32a dan pasal 121 ayat 2 HIR.
8.
Asas
Unus Testis Nulus Testis
Bahwa seorang saksi tanpa ada alat
bukti lain dianggap belum mencapai batas minimal pembuktian. Agar pembuktian
mencapai nilai batas minimal, pembuktian harus ada alat bukti lain. Hal ini
berdasarkan pada pasal 169 HIR.
9.
Asas
Actor Squitur Forum Rei
Pengadilan berwenang memeriksa
gugatan hak tergugat bertempat tinggal, sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat
3 HIR., kecuali Undang-Undang menentukan lain sebagaimana terhadap perkara
perceraian yang berlaku di muka Pengadilan Agama.
10.
Asas
Actor Squiter Forum Rei Sitai
Gugatan diajukan di Pengadilan dimana
benda tidak bergerak itu berada atau terletak. Hal ini sesuai dengan pasal 118
ayat 3 HIR.[7]
b.
Asas
Khusus Peradilan Agama
1.
Asas
Personalitas Keislaman
Diatur dalam UU No 50 Tahun 2009
tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal
2 alenia ketiga dan pasal 49, dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan
pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkaraperkara antara orang-orang beragama Islam. Ketentuan yang melekat pada
UU No. 50 Tahun 2009 tentang asas personalitas keislaman adalah sebagai
berikut:
1)
Para
pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
2)
Perkara
perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah.
3)
Hubungan
hukum yang melandasi berdasarkan pada Hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya
berdasarkan Hukum Islam.[8]
2.
Asas
Ishlah (Upaya Perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam pasal
39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. pasal 65 dan pasal 82 ayat 1 dan
2 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. pasal 115 KHI dan SEMA No. 01
Tahun 2008 tentang Mediasi. Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap
perselisihan dengan melalui pendekatan ishlah. Karena itu, tepat bagi para
Hakim Peradilan Agama untuk menjalankan fungsi mendamaikan, sebab bagaimanapun adilnya
suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa
perdamaian.[9]
3.
Asas
Persidangan Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam
pasal 59 ayat 1, 2, dan 3 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan pasal
19 ayat 1, 2 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang menghendaki
agar jalannya sidang tidak hanya diketahui oleh para pihak yang berperkara,
tetapi juga oleh publik (umum). Asas ini bertujuan agar persidangan berjalan
secara fair, menghindari adanya pemeriksaan yang sewenang-wenang atau
menyimpang dan agar proses persidangan menjadi media edukasi prepensi,
informasi bagi masyarakat umum.[10]
Asas hukum ini bermakna bahwa sidang
pemeriksaan Pengadilan Agama terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang
menentukan lain atau Hakim dengan Pengadilan Agama mempunyai alasan-alasan penting
yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara
keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.[11]
Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang dilakukan dalam sidang
tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan cerai
gugat.[12]
4.
Asas
Equality
Asas equality dilingkungan Peradilan
Agama diatur dalam pasal 58 ayat 1 UU No. 70 Tahun 1989 jo. pasal 4 ayat 1 UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Setiap orang yang berperkara dimuka
sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya dihadapan hukum, sehingga tidak
ada pembedaan yang bersifat diskriminatif, baik dalam bentuk diskriminasi
normatif maupun diskriminasi kategoris. Bentuk dari diskriminasi normatif
adalah membedakan aturan hukum yang berlaku terhadap pihak-pihak berperkara,
sedangkan yang dimaksud dengan diskriminasi kategoris adalah membedakan-bedakan
perlakuan pelayanan berdasarkan pada status sosial, ras, agama, suku, jenis
kelamin, dan budaya.[13]
5.
Asas
Aktif Memberi Bantuan
Asas aktif memberikan bantuan kepada
pencari keadilan dilingkungan Peradilan Agama adalah diatur dalam pasal 119
HIR/143 RBg. jo. pasal 58 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo.
pasal 4 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Terlepas dari
perkembangan praktik yamg cenderung mengarah kepada proses pemeriksaan dengan
“surat/tertulis”, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg. sebagai
hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum, dengan ketentuan
pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dinyatakan resmi berlaku
untuk Pengadilan Agama, menganut sistem pemeriksaan langsung dengan lisan serta
tidak wajib para pihak dibantu atau didampingi penasihat hukum.[14]
6.
Asas
Ratio Decidendi (Pertimbangan Hukum)
Segala putusan pengadilan, selain
harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dan
perturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili, dan setiap putusan harus memuat pertimbangan
hukum yang didasarkan pada alasan-alasan penilaian dan dasar hukum yang tepat
dan benar.[15]
Dalam buku Jimly Asshidiqie disebut
juga dengan Motiverings Plicht (putusan disertai alasan), yaitu diatur dalam
pasal 25 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 jo. pasal 50 ayat 1 Tahun 2009, menegaskan
bahwa segala putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.[16]
Dalil-dalil dan atau dasar hukum
positif yang ada dimakudkan untuk pertanggung jawaban dari sebuah keputusan
yang telah dikeluarkan oleh Hakim dalam persidangan di pengadilan, sehingga
pihak lawan tidak akan mudah atau akan kesulitan untuk mencari celah-celah atau
kelemahan dari putusan yang telah dikeluarkan.[17]
Dasar pertimbangan hukum dalam
sebuah putusan secara yuridis normatif mengacu pada pasal 184 ayat 1 HIR jo.
pasal 195 ayat 1 RBg. alasan alasan penilaian dalam putusan mencakup hal-hal
yang bersifat rasional, aktual, dan mengandung nilai-nilai kemanusiaan,
peradaban, dan kepatutan.
7.
Asas
Memberi Bantuan Antar Pengadilan
Untuk kepentingan peradilan, semua
pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta diatur dalam pasal 2 ayat
2 UU No. 48 Tahun 2009. Sebab apabila tidak ada saling memberi bantuan antar pengadilan,
maka proses penyelesaian perkara akan berlarut-larut, dan juga terhadap perkara
yang telah diputus dimana salah satu pihak berada dilingkungan Peradilan Agama
lain, maka putusan tidak memiliki arti apa-apa.[18]
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Aspek-Aspek
Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta: UUI Press, 2005).
Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah diIndonesia, (Jakarta: Kencana, 2005).
Harahap, Yahya, Kedudukan kewenangan
dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).
Mardani, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Sinar Grafika2010).
Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum
Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012)
Syaifuddin, Muhammad, Hukum
Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori
dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).
[1] Jimly
Asshiddiqie, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta:
UUI Press, 2005) , hlm: 66.
[2] Dr. Mardani, Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama&Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Sinar
Grafika2010), hlm: 37
[4] M. Fauzan, Pokok-Pokok
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah
diIndonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), hlm: 2-3.
[5] Mardani, Hukum
Acara Peradilan Agama...,hlm: 43
[6] Ahmad
Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama..., hlm: 33.
[7] Ibid., hlm:
34.
[8] Mardani, Hukum
Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah..., hlm: 37-38.
[9] Yahya Harahap,
Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), hlm: 65.
[10] Mardani, Hukum
Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah..., hlm: 37-38.
[11] Muhammad
syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm: 241.
[12] Ahmad
Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama..., hlm: 37.
[13] Ibid.,
hlm; 39
[14] Yahya Harahap,
Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama…, hlm: 65
[15] Ahmad
Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama…, hlm: 40-41.
[16] Jimly
Asshiddiqie, Aspek-Aspek Kekuasaan Kehakiman di Indonesia…, hlm: 70.
[17] Sarwono, Hukum
Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm: 24.
[18] Ahmad
Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama…, hlm: 41.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....