BAB
I
PENDAHULUAN
Hampir
semua sejarawan membagi Dinasti Bani Umayah menjadi dua, yaitu pertama, Dinasti
Bani Umayah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan yang
berpusat di Damaskus (Siria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah
sistem pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat (kerajaan atau
monarki) dan kedua, Dinasti Bani Umayah di Andalusia (Siberia) yang pada
awalnya merupakan wilayah taklukan Umayah di bawah pimpinan seorang gubernur
pada zaman Walid bin Abdul Al-Malik, kemudian diubah menjadi kerajaan terpisah
dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah berhasil menaklukkan Dinasti Bani
Umayah di Damaskus.[1]
Di
dalam makalah ini akan membahas lebih rinci mengenai Dinasti Bani Umayah mulai
dari latar belakang berdirinya Dinasti Bani Umayah, perkembangan dan kemajuan,
sistem pemerintahan, hingga faktor-faktor kemunduran Dinasti Bani Umayah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Berdirinya Dinasti Bani Umayah
Nama
Dinasti Bani Umayah diambil dari Umayah bin Abd Al-Syam, kakek Abu Sufyan.
Umayah segenerasi dengan Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad Saw dan Ali bin
Abi Thalib. Dengan demikian, Ali bin Abi Thalib segenerasi pula dengan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ali bin Abi Thalib berasal dari keturunan Bani Hasyim
sedangkan Mu’awiyah berasal dari keturunan Bani Umayah. Kedua keturunan ini
merupakan orang-orang yang berpengaruh dalam suku Quraisy.[2]
Setting
cikal bakal dinasti ini bermula ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai
khalifah menggantikan kedudukan khalifah Usman bin Affan, salah satu kebijakan
awal dan Ali adalah pengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan negara yang telah
dibagi-bagikan oleh Usman kepada keluarganya dan memecat gubemur-gubemur dan
pejabat pemerintahan yang diangkat Usman untuk meletakkan jabatannya, namun
Muawiyyah Gubernur Syiria menolak pemecatan itu sekaligus tidak mau membaiat
Ali sebagai khalifah dan bahkan membentuk kelompok yang kuat dan menolak untuk
memenuhi perintah-perintah Ali. Dia berusaha membalas kematian khalifah Usman,
atau kalau tidak dia akan menyerang kedudukan khalifah bersama-sama dengan
tentara Syiria. Desakan Muawiyyah akhirnya tertumpah dalam perang Shiffin.[3]
Dalam
pertempuran itu hampir-hampir pasukan Muawiyyah dikalahkan pasukan Ali, tapi
berkat siasat penasehat Muawiyyah yaitu Amr bin 'Ash, agar pasukannya
mengangkat mushaf-mushaf Al Qur'an di ujung lembing mereka, pertanda seruan
untuk damai dan melakukan perdamaian (tahkim) dengan pihak Ali dengan strategi
politik yang sangat menguntungkan Mu’awiyah.[4]
Bukan
saja perang itu berakhir dengan Tahkim Shiffin yang tidak menguntungkan Ali,
tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah dua yaitu yang tetap
setia kepada Ali disebut Syiah dan yang keluar disebut Khawarij. Sejak
peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk menundukkan
Muawiyyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij, yang terakhir terjadi
peristiwa Nahrawan pada 09 Shafar 38 H, dimana dari 1800 orang Khawarij hanya 8
orang yang selamat jiwanya sehingga dari delapan orang itu menyebar ke Amman,
Kannan, Yaman, Sajisman dan ke Jazirah Arab.[5]
Jatuhnya
Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok
yang membangkang/ keluar dari kelompok Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun
kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan
yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya
bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan
kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan
sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada
tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini
mempersatukan ummat Islam menjadi satu kepemimpinan politik.[6]
Setelah
terjadi kesepakatan antara Hasan bin Ali dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan
pada tahun 41 H/ 661 M, maka secara resmi Mu’awiyah diangkat menjadi khalifah
oleh umat Islam secara umum. Pusat pemerintahan Islam dipindahkan Mu’awiyah
dari Madinah ke Damaskus. Pemerintahan Mu’awiyah berubah bentuk dari
theo-demokrasi menjadi monarchi (kerajaan/dinasti) yang berbasiskan Islam, ini
terjadi sejak dia mengangkat anaknya Yazid sebagai putra mahkota. Sejak itulah
sistem pemerintahan mamakai sistem monarchi hingga pada khalifah terakhir
Marwan bin Muhammad, yang tewas dalam pertempuran melawan pasukan Abul Abbas
As-Safah dari Bani Abbas pada tahun 750 M. Dengan tewasnya Marwan bin Muhammad
berakhir Dinasti Bani Umayah dan digantikan oleh Dinasti Bani Abbas.[7]
Pola
pemerintahan menjadi kerajaan ini terjadi karena pada masa itu umat Islam telah
bersentuhan dengan peradaban Persia dan Bizantium. Oleh karena itu, Mu’awiyah
juga bermaksud meniru cara suksesnya kepemimpinan yang ada di Persia dan
Bizantium yaitu Kerajaan tetapi gelar pemimpin tetap menggunakan Khalifah
dengan makna konotatif yang diperbaharui.[8]
B.
Perkembangan Dinasti Bani Umayyah
Meskipun
ummat Islam telah bersatu dalam satu kepemimpinan, kekhalifahan Muawiyah yang
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, dan tidak dengan
pemilihan atau suara terbanyak telah melahirkan golongan-golongan oposisi yang
pada akhirnya nanti akan menjadi sebab kehancuran Dinasti tersebut.
Adik
laki-laki al-Hasan, Husein yang pada masa pemerintahan Muawiyah hidup tenang di
Madinah tidak mau mengakui pengganti Muawiyah yaitu Yazid. Ia pergi ke Kuffah
untuk memenuhi seruan penduduk Irak yang akan menobatkannya sebagai khalifah
pada tahun 680 M. Namun pada 10 Muharram 61 H (10 oktober 680) seorang jenderal
terkenal dengan nama Sa’ad bin Abi Waqqas membawa 4000 pasukan mengepung
al-Husein yang hanya didampingi 200 orang. Al-Hasan pun tidak selamat dalam
pembantaian tersebut.
Adapun
Khalifah-khalifah Bani Umayah adalah sebagai berikut:
1.
Muawiyah
I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
2.
Yazid
I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
3.
Muawiyah
II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
4.
Marwan
I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
5.
Abdul-Malik
bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
6.
Al-Walid
I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
7.
Sulaiman
bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
8.
Umar
II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
9.
Yazid
II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
10.
Hisyam
bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
11.
Al-Walid
II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
12.
Yazid
III bin al-Walid, 127 H / 744 M
13.
Ibrahim
bin al-Walid, 127 H / 744 M
14.
Marwan
II bin Muhammad, 127-133 H / 744-750 M
Adapun
khalifah-khalifah besar Bani Umayah adalah Muawiyah I bin Abu Sufyan,
Abdul-Malik bin Marwan, Al-Walid I bin Abdul-Malik, Umar II bin Abdul-Aziz,
Hisyam bin Abdul-Malik. Puncak kejayaan Dinasti Bani Umayah ini pada masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz, setelah itu merupakan masa kemundurannya.[9]
C.
Kebijakan dan Orientasi Politik
Selama
lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayah ini memerintah, banyak terjadi
kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini, seperti:
1)
Pemisahan
Kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama (spiritual power) di
tunjuklah qadhi/ hakim dan kekuasaan politik (temporal power). Dapatlah
dipahami bahwa Mu’awiyah bukanlah seorang yang ahli dalam keagamaan sehingga diserahkan
kepada para Ulama.[10]
2)
Pembagian
wilayah. Khalifah bin Khattab terdapat 8 Provinsi, maka pada masa Bani Umayah
menjadi 10 Provinsi Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu:[11]
(a)Syiria dan
Palestina; (b)Kuffah dan Irak; (c)Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman,
Najd dan Yamamah; (d)Armenia; (e)Hijaz; (f)Karman dan India; (g)Egypt (Mesir); (h)Ifriqiyah
(Afrika Utara); (i)Yaman dan Arab selatan, dan ( j)Andalusia.
3)
Bidang
Administrasi Pemerintahan. Dibidang pemerintahan, dinasti membentuk semacam
Dewan Sekretaris Negara (Diwan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang
sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy
Syurtah dan katib al Qadi.[12]
Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al
Umara (Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu
wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan,
oleh empat departemen pokok (diwan) yaitu :
a)
Diwan
Rasail (istilah sekarang disebut sekretaris jenderal). Diwan ini berfungsi
untuk mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau
menerima surat-surat dari mereka. Ada dua macam sekretariat. Pertama,
sekretariat negara (dipusat) yang menggunakan bahasa arab sebagai pengantar.
Kedua, sekretariat Provinsi yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi
sebagai bahasa pengantarnya kemudian menjadi bahasa arab sebagai pengantar ini
terjadi setelah bahasa arab menjadi bahasa resmi di seluruh negara Islam.[13]
b)
Diwan
al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib
al-Kharraj diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab langsung kepada
khalifah.[14]
c)
Diwan
al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai penyampai
berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan
Abdul Malik berkembang menjadi Departemen Pos khusus urusan pemerintah.[15]
d)
Diwan
al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh
khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus di
segel dan dikirim ke alamat yang dituju.[16]
4)
Politik
Arabisasi. Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi
penguasa dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,[17]
yaitu membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum muslimin.
Usaha-usaha ke arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran
masyarakat Arab bagi anak-anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan,
kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk daerah Islam dan bahkan adat istiadat
serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.[18]
Pada masa Bani Umayah (sejak Khalifah Abd Malik bin Marwan), berkembang istilah
Arabisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani Umayah di wilayah-wilayah
yang dikuasai Islam. Bidang ini dilakukan Bani Umayah antara lain dalam
pengangkatan kepala-kepala wilayah dari bangsa arab untuk ditempatkan pada
wilayah-wilayah yang dikuasai. Disamping itu ia mengajarkan bahasa arab
diseluruh wilayah Islam. Penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa
arab.[19]
5)
Kebijakan
politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan.
Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai Tunis yang kemudian
didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di
sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di
sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan
pulau-pulau lain di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan
laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan
dan kapal perang mereka.[20]
Zaman Walid I, dengan dibantu tiga
orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai penaduduk yaitu: Qutaybah bin Muslim,
Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan ke mencapai
keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin Nashir, berhasil
menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai
wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan dalam
kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota
Spanyol jatuh ke tangan pasukan muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira
dan Cordova yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al Andalus).[21]
Setelah
menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan melanjutkan
ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dari Calica di
sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan
Perancis, namun ada kekhawatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir
yang mungkin akan memproklamirkan seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid 1
memerintahkan untuk mangakhiri ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan
Tariq ke Damaskus.[22]
Di
masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur
Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H.Bersama pasukannya, Qutaybah dapat
menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha
ekspansinya ke Cina di urungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada
pemimpinnya dengan saling tukar menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan
mencetak materai dengan bantuan pemuda kerajaan kemudian menjelajahi
kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.[23]
Muhammad
bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India. Pada tahun 89 H, ia
menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian
tempat itu diberi nama Mihram. la memperluas penaklukannya hingga ke Maltan
sebelah selatan Punjab dan Brahmanabat.[24]
D.
Kedudukan Amir al-Mu’minin
Pada
masa ini Amir al-Mu’minin hanya bertugas sebagai khalifah dalam bidang temporal
sedangkan urusan keagamaan di urus oleh para ulama. Berbeda dengan Khulafa
al-Rasydun yang menguasai keduanya. Dan pada masa ini khalifah diangkat secara
turun temurun dari keluarga Umayah.[25]
E.
Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)
Ekspansi
Islam yang berlangsung dari pertengahan abad ke tujuh sampai permulaan abad ke
delapan, salah satu hasilnya ialah terintegrasinya daerah-daerah yang
ditaklukkan itu dalam suatu kesatuan sosial politik yang disebut Dunia Islam.
Selanjutnya dunia Islam itu merupakan suatu kawasan ekonomi yang terpadu dalam
suatu jaringan pasaran bersama. Wilayah inti meliputi daerah-dearah bekas
kerajaan Persia, Imperium Bizantium di Suria dan Mesir serta daerah-daerah
Barbar di Mediterinian (Afrika Utara dan Spanyol) itu, merupakan salah satu
jaringan penting dari rute utama perdagangan Internasional yang
terbentang antara China dan Spanyol, dan antara Afrika Hitam dengan Asia
Tengah.[26]
F.
Sistem Sosial (Arab dan Mawali)
Pada
masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum dalam
segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara
garis besar terdiri muslim dan non muslim, dan dalam memperlakukan orang
Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang
menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok,
dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya lebih
personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat
keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non Arab
setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan
demikian masyarakt muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok,
yaitu Arab dan Mawali.[27]
Dikalangan
kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama
Asy-Syu’ubiyyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum
Muslimin yang sebetulnya mereka bersaudara. Dan yang membedakan hanyalah
ketaqwaan mereka serta banyak kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani
Hasyim turunan Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.[28]
G.
Sistem Militer
Pada
masa Dinasti Bani Umayah orang masuk tentara kebanyakan dengan dipaksa atau
setengah dipaksa. Untuk menjalankan kewajiban ini dikeluarkan semacam
undang-undang wajib militer yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbary.
Politik
ketentaraan dari Bani Umayah, yaitu politik Arab, dimana anggota tentara
haruslah terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab. Maka dari itu mereka
terpaksa meminta bantuan kepada bangsa Barbari untuk menjadi tentara karena
wilayah mereka yang luas meliputi Afrika Utara, Andalusia, dan lain-lain.
a.
Perluasan
Ke Asia Kecil
Dengan armada laut yang terdiri dari
1700 kapal, lengkap dengan perbekalan dan persenjataannya. Lalu Mu’awiyah
menyerang pulau-pulau dilaut tengah sehingga berhasil menduduki pulau Rhodes
tahun 53 H dan pulau Kreta tahun 54 H. Kemudian di serang kota Konstatinopel.
Pulau-pulau ini dekat Cyprus yang telah ditaklukkan pada zaman Usman.
Penyerangan ini dipimpin oleh Janadah bin Abi Umayah. Kemudian mengepung kota
Konstatinopel di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyah dan didampingi oleh
pahlawan Islam yang berani seperti Abu Ayyub al-Anshar, Abdullah ibnu Zuber,
Abdullah ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Pengepungan ini selama 7 tahun (54-61 H).
Abu Ayyub al-Anshar gugur pada peperangan ini. Penyerangan pertama ini gagal
karena ada pengkhianatan Loen Mar’asy.[29]
b.
Perluasan
ke Timur
Ke arah Timur dapat menaklukkan
daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan dari Afghanistan sampai ke Kabul.
Kemudian diteruskan pada zaman Abdul Malik di bawah pimpinan Al- Hajjaj ibn
Yusuf. Kemudian dapat menundukkan daerah Balkh, Bukhara, Khawarizan, Farghana,
dan Samarkand. Selanjutnya pasukan muslim juga samapi ke India serta dapat
menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Multan (713 H).[30]
c.
Perluasan
ke Afrika Utara
Uqbah ibn Nafi’ al-Fahri telah
menetap di Barqah setelah wilayah itu dikuasai. Oleh karena kemahiran dan
keberaniannya, ia mengalahkan armada Bizantium di daerah pantai, barbar
dipedalaman, serta Tripoli dan Fazzan.[31]
Kekuatan Maritim Islam menjadi lebih
berkembang pada masa Umayah timur. Pada masa Khalifah al-Walid. Jenderal Thariq
bin Ziyad dapat menyeberangkan ajaran Islam ke Spanyol. Dan pada tahun 95 H/
713 M dapat membebaskan rakyat Spanyol dan Eropa dari penindasan bangsa
Visigoth (Gothik) Barat yang telah berkuasa selama 300 tahun.[32]
H.
Sistem Fiskal
Sumber
uang masuk pada Dinasti Bani Umayah, pada umumnya seperti di zaman permulaan
Islam. Walaupun demikian ada beberapa tambahan seperti al-Dharaaib yaitu
kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara dan terdapat pajak-pajak
istimewa. Adapun saluran uang keluarnya sama seperti permulaan Islam, seperti
gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha negara, pembangunan
pertanian termasuk irigasi dan penggalian terusan-terusan, ongkos bagi
orang-orang hukuman dan tawanan perang, perlengkapan perang, serta
hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para Ulama.
Pada
masa Umayah di cetak mata uang muslimin secara teratur dan pembayaran dengan
mata uang ini, walaupun pada masa Umar bin Khattab sudah dicetak mata uang kaum
muslimin namun belum begitu teratur seperti pada khalifah Abdul Malik bin
Marwan.[33]
I.
Interregnum (Masa Peralihan Pemerintahan) Umar bin Abdul Aziz
Interregnum
ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mana pada pemerintahan
yang dulunya kejam, menekan rakyat dan sebagainya, menjadi kepada masa yang
damai, lemah, lembut dan makmur. Dengan kebijaksanaannya ini banyak orang yang
masuk Islam. Dan mengadakan dialog dengan orang syi’ah dan khawarij sehingga
mereka puas dan tidak mengganggu lagi. Namun kedamaian dan kemakmuran ini
dimanfaatkan oleh Bani Hasyim untuk membentuk gerakan bawah tanah. Gerakan ini
terdiri dari orang-orang Syi’ah dan keluarga Abbas. Gerakan inilah yang
berhasil menumbangkan bani Umayah nantinya.[34]
J.
Perkembangan Peradaban, Intelektual, bahasa dan sastera Arab
Masa
Bani Umayah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti
pada masa Bani Abbas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa ini ilmu
Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang aling menonjol adalah ilmu tafsir
dan ilmu hadits. Dan terjadi pengumpulan hadits pada masa Khalifah Umar bin
Abdul Aziz yang dikumpulkan oleh ‘Ashim al-Anshari. Muncul juga ilmu Nahwu
(tata bahasa Arab) sehingga Sibawaihi menyusun al-kitab untuk memperlajari tata
bahasa arab.
Khalifah
Mu’awiyah memerinthkan karya-karya bangsa Yunani yang mengandung berbagai macam
Ilmu. Dengan demikian umat Islam pada masa ini mulai mengenal ilmu kedokteran,
ilmu Kalam, seni bangunan (architecture) dan sebagainya. Diantara peninggalan
seni bangunan yang terkenal sampai sekarang adalah Qubbah al-Sakhr (Dome of the
Rock) yang didirikan di Yerussalem pada 91 H pada masa pemerintahan Khalifah
Abdul Malik.[35]
K.
Sistem Peradilan
Kehakiman
pada masa ini mempunyai dua ciri khas, yaitu pertama, qadhi memutuskan perkara
dengan ijtihadnya berdasarkan Nas. Kedua, kehakiman belum terpengaruh dengan
politik.[36]
L.
Sistem Penggantian kepala Negara bersifat Monarchi[37]
Pemindahan
sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran
demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat. dari kekhalifahan
yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun menurun
(monarch/ heridetis).[38]
M.
Pemberontakan: al-Mukhtar ibn Ubaid dan Abdullah ibn Zubair
Ketika
Yazid ibn Mu’awiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka Madinah tidak mau
menyatkan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada Gubernur
Madinah meminta untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan
cara ini semua orang terpaksa tunduk kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn
Zubair. Pada tahun 680 M, Husein pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan
golongan Syiah di Irak. Umat Islam di daerah ini mengakui khalifahnya adalah
Husein. Sehingga terjadi pertempuran dan tentra Husein kalah sedangkan Husein
mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya
dikubur di Karbela.
Gerakan
Syiah semakin keras, gigih dan tersebar luas. Pemberontakan yang paling
terkenal diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687
M. Walaupun dibantu oleh kalangan kaum mawali di Persia, Armenia dan
lain-lain, Mukhtar terbunuh oleh pasukan oposisi lainnya yaitu gerakan
Abdullah ibn Zubair.
Abdullah
ibn Zubair baru secara terbuka menyatakan khalifah setelah Husein bin Ali
terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Mekah dan akhirnya terjadi
pertempuran, pada pertempuran ini Abdullah bin Zubair dikabarkan wafat, maka
tentara Yazid kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ini baru dapat dihancurkan
pada masa khalifah Abdul Malik pada tahun 693 M.[39]
N.
Prestasi Dinasti Umayyah
a.
Bidang
Fisik
Dalam pembangunan fisik, pada
Diansti Umayyah telah didirikan pos-pos yang pada pemerintahan sebelumnya tidak
ditemukan. Lebih lengkapnya, dapat dikatakan bahwa beberapa prestasi Dinasti
Umayyah dalam pembangunan fisik adalah sebagai berikut:
1.
Membangun
pos-pos serta menyediakan kelengkapan peralatannya.
2.
Membangun
jalan raya.
3.
Mencetak
mata uang.
4.
Membangun
panti asuhan.
5.
Membangun
gedung pemerintahan.
6.
Membangun
mesjid.
7.
Membangun
rumah sakit.
8.
Membangun
sekolah studi kedokteran.[40]
b.
Perluasan
Wilayah Kekuasaan.
Dalam hal perluasan wilayah, Dinasti
Umayyah menjalankan ekspansi sebagai berikut:
1.
Menguasai
Tunis pada tahun 760 M di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi'.
2.
Menguasai
Khurasan hingga Lahore di sebelah Timur.
3.
Menguasai
Bizantium.
4.
Menguasai
Rhodes dan pulau-pulau kecil lainnya di Yunani.
5.
Di
sebelah Barat, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Aljazair dan Maroko.
6.
Selanjutnya,
Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Andalusia yakni Toledo, Sevilla, Malaga,
Elvira dan Cordova.
7.
Penaklukkan
yang sama berlanjut hingga ke Cadiz dan Calica.
8.
Menaklukkan
Baikh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Samarqand.
9.
Menaklukkan
India, hingga ke Brahmanabat.[41]
O.
Keruntuhan Umayah Timur
Dinasti
yang didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan ini, dari beberapa khalifah yang
memegang kekuasaan, hanya beberapa orang saja yang dianggap berhasil dalam
menjalankan roda pemerintahannya antara lain : Muawiyyah bin Abu Sofyan, Abdul
Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin
Abdul Maiik, selain mereka itu merupakan khalifah yang lemah. Dinasti ini
mencapai puncaknya pada masa al Walid I bin Abdul Malik dan kemudian akhirnya
menurun dan kekuasaan mereka direbut oleh Bani Abbasiyah pada tahun 750 M.[42]
Diantara
faktor penyebab keruntuhan Dinasti Umayyah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan
adalah :
1.
Pengkatan
Dua Putera Mahkota
Perubahan sistem kekuasaan, dari
sistem demokrasi kepada monarchi yang dirintis Muawiyyah bin Abu Sofyan,
berakibat pada tumbuhnya bibit permusuhan dan persaingan diantara sesama
anogota keluarga dinasti dan ditambah dengan langkah pengangkatan dua putera
mahkota yang diberi mandat, agar putera mahkota yang kedua sebagai pelanjut
sesudah yang pertama, hal itu dilakukan khalifah Marwan bin al Hakim dengan
mengangkat Abdul Malik bin Marwan dan Abdul Aziz, berikutnya adalah Abdul Malik
mengikuti jejak mendiang ayahnya dengan mengangkat puteranya, yatu al Walid dan
Sulaiman. Langkah ini tidak hanya menjadi permusuhan dan persaingan diantara
sesama anggota keluarga tetapi juga merembet masuk di lingkungan para panglima
dan pejabat.[43]
2.
Munculnya
Fanatisme Suku
Setelah Yazid bin Muawiyyah
meninggal, fanatisme suku menyebar di tengah-tengah kabilah Arab namun belum
sampai membahayakan kekuatan Bani Umayyah dari rongrongan kakuatan lain yang
menginginkan kehancurannya sebagai pemegang supremasi politik umat Islam.
Kondisi tersebut masih dapat
dikendalikan terlebih dengan tampilnya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah, ia
seorang yang saleh dan adil. Dalam masa pemerintahannya diisi dengan
memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah
sebelumnya, sehingga legalitas kepemimpinannya diakui dan diterima oleh semua
pihak yang tidak mengakui pemerintahan Bani Umayyah. la terbebas dari fanatisme
suku, karena ia tidak mengangkat seorang menjadi gubernur melainkan berdasarkan
kecakapan dan keadilan yang dimiliki oleh yang bersangkutan.[44]
Namun ketika Umar bin Abdul Aziz
wafat, dan kekhalifahan dipegang Yazid bin Abdul Malik, saat itu fitnah dan
perselisihan diantara bangsa Arab utara (Arab Mudhar) /suku Qais dengan Arab
selatan (Arab Yaman) /bani Kalb memanas, yang kemudian terjadi perang
Murj Rahith,[45]
yang mengkibatkan terbunuhnya al Mulahhab bin Abu Shufrah dari Arab Yaman, ia
seorang yang telah mengabdi seluruh hidup dan potensinya pada Bani Umayyah,
yaitu pembelaannya dalam perang al Azariqah menghadapi kaum khawarij, berjuang
memerangi penduduk Khurasan dan al Khazar serta orang-orang Turki. Sepeninggal
al Mulahhab, tampillah puteranya yang menjadi perhatian dan tumpuhan pihak Arab
Yamani untuk merongrong kedaulatan Dinasti Umayyah. Namun demikian Bani Umayyah
sekali waktu berpihak kepada Arab Qais dan dilain waktu kepada Arab Yaman.
Fanatisme suku dapat dilihat ketika
Yazid bin Abdul Malik mengangkat saudaranya yaitu Maslamah sebagai gubernur
wilayah setelah mereka berjasa menumbangkan pemberontakan putera al Mulahhab,
dan juga mengangkat Umar bin Kubairah yang berasal dari suku Qais.
Ketika Yazid wafat dan saudaranya
yaitu Hisyam naik tahta maka khalifah baru menilai bahwa posisi orang-orang
Qais dalam pemerintahan sudah terlalu kuat, dan hal ini, menurut Hisyam adalah
membahayakan kelangsungan pemerintahan Bani Umayyah, kemudian ia mengambil
tindakan dengan cara mengenyahkan orang-orang Qais dari kekuasaan dan balik
berpihak kepada unsur Yamani, ini dimaksudkan agar kadua unsur tersebut
berimbang.[46]
Untuk itu ia mengangkat Khalid bin Abdullah al Qasari sebagai gubernur Irak,
dan juga mengangkat saudara Khaiid yaitu Asad sebagai gubernur Khurasan. Dengan
demikian kekuatan unsur Yamani kembali berperan dan kekuatan unsur Qaisi
melemah, kemudian orang-orang dan unsur Yamani berkesempatan menumpahkan balas
dendam mereka kepada orang-orang dari unsur Qaisi.
Demikianlah
fanatisme suku yang telah mencabik-cabik Dinasti Umayyah. sehingga negara
menjadi ajang bagi tumbuhnya beragam fitnah dan kerusuhan dan kemudian
keruntuhan dinasti ini teriadi.
3.
Terlena
Dalam Kemewahan
Pola hidup sebagian khalifah Dinasti
Umayyah yang sangat mewah dan senang berfoya-foya sebagai warisan pola hidup
para penguasa Bizantium adalah faktor lain yang telah menanam andil besar bagi
keruntuhan dinasti ini. Yazid bin Muawiyyah adalah seorang khalifah dari
Dinasti Umayyah sangat terkenal sebagai pengagum berat wanita, memelihara para
penyanyi wanita, memelihara burung buas, singa padang pasir dan seorang
pecandu minuman karas.
Prilaku Yazid bin Abdul Malik juga
tidak lebih baik dari Yazid bin Muawiyyah, ia adalah pemuja wanita dan
penggemar pesta pora. Begitu pula dengan puteranya yaitu al Walid, ia seorang
khalifah yang sangat senang dengan kehidupan serba mewah dan terlena dengan
romantika asmara.[47]
4.
Fanatik
Arab
Dinasti Umayyah adalah murni daulat
Arab, sehingga ia sangat fanatik kepada bangsa Arab dan kearabannya. Mereka
memandang orang non Arab (mawali) dengan pandangan sebelah mata, sehingga
menimbulkan fitnah diantara sesama kaum Muslimin, disamping itu pula telah
membangkitkan nasionalisme di dalam Islam. Bibit daripada geraka tersebut
adalah anggapan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang paling utama dan mulia dan
bahasa Arab adalah bahasa yang paling tinggi dibanding dengan yang lain.
Tindakan diskriminatif tersebut telah
membangkitkan kebencian kaum Mawali kepada Bani Umayyah, akhirnya sebagai kaum
tertindas mereka selalu mencari waktu yang tepat untuk melampiaskan
kebenciannya. Mereka menggabungkan diri dengan al Mukhtar dan kaum khawarij
untuk bersekutu dan ditambah dengan propagandis kaum abassi untuk memberontak
dan menggulingkan Dinasti Umayyah.[48]
Sekutu tersebut melakukan gerakan
oposisi terhadap Dinasti Umayyah dengan pimpinan Muhammad bin Ali dan kemudian
dilanjutkan kedua puteranya yaitu ibrahim dan Abu Abbas yang didukung oleh
masyasakat pendukung Ali di Khurasan. Di bawah pimpinan panglimanya yang
tangkas, yaitu Abu Muslim al Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah
demi wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dan bahkan dalam partempuran di Zab Hulu
sebelah Mosul. Marwan II, khalifah terakhir Dinasti Umayyah dapat dikalahkan,
Marwan II di bunuh di Mesir pada bulan Agustus 750 M dan berakhirlah kekuasaan
Dinasti Umayyah di Damaskus.
Menurut Yatim Badri, secara garis
besar faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran yang berujung pada kehancuran Dinasti
Bani Umayyah adalah:
1.
Perebutan
kekuasaan antara anggota keluarga istana, pengaturan yang tidak jelas mengenai
pergantian khalifah. Sistim pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah
merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek
senioritas.
2.
Latar
belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari
konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah
(pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka
seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti dimasa
pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini
banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.
Pada
masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani
Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam,
makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah
mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu,
sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian
timur lainnya, merasa tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu
inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada
masa Bani Umayyah.
4.
Lemahnya
pemerintahan Daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah
dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban
berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan
agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat
kurang.
5.
Penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas Ibn Abd Al-Muthalib. Gerakan
ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum
Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[49]
[1]
Siti Maryam (Ed), Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern,
(Yogyakarta: SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002). h.79
[2]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB
Press, 2002), jilid 1, Cet ke-2, h. 83
[3]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj, Jahdan Ibn
Human (Yogyakarta; Kota Kembang. 1995), h.62
[4]
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
h. 103
[5]
Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,
(Jakarta: Akbar Media Sarana, 2003), h.176.
[6]
Dedi Supriyadi, loc.cit
[7]
Maidir Harun dan Firdaus, loc.cit
[8]
Dedi Supriyadi, op.cit, h. 104
[9]
Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 84
[10]
Ibid, h: 85
[11]
Ibid, h: 86
[12]
A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975)
h.151
[13]
Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 87
[14]
Ibid, h. 88
[15]
Ibid
[16]
Ibid, h. 89
[17]
Siti Maryam, op.cit, h. 88
[18]
W. Montgomary Watt, Pergolakan Pemikiran politik Islam, (Jakarta:
Bennabi Cipta, 1985) h.72
[19]
Maidir Harun dan Firdaus, loc.cit
[20]
Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h 95
[21]
Ibid, h. 84- 58.
[22]
Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing
(Bandung Sumur Bandung.tt) h.85
[23]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta,
UI Press, 1978), jilid 1, h.61
[24]
Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h.83
[25]
Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 90
[26]
Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 91
[27]
W. Montgomary Watt, Pergolakan Pemikiran politik Islam, (Jakarta:
Bennabi Cipta, 1985) h.67
[28]
Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 92
[29]
Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h.94
[30]
Ibid, h. 95
[31]
Ibid
[32]
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani,
2012), cet ke-5, h. 64-65
[33]
Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 98
[34]
Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 99
[35]
Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h. 66
[36]
Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 102
[37]
Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 103
[38]
Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h.63
[39]
Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 103-105
[40]
ousouf Souyb, Sejarah Umayyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),
h.236
[41]
A.Latif Osman, Ringkasan Sejarah (Jakarta: Widjaya, 1951), h.99.
[42]
Harun Nasution, op.cit, h.62
[43]
Hasan Ibrahim Hasan, op.cit h.111
[44]
Ibid, h. 112
[45]
Ibid, h. 114
[46]
Ibid.
[47]
Ibid, h. 121
[48]
Ibid, h.123
[49]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1994), h. 90-91
0 Comments:
Posting Komentar