BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah Swt., lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam.
Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang terpenting dalam syari'at Islam, sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin.
Kajian wakaf sebagai pranata sosial merujuk pada tiga corpus, yaitu:
1.    Wakaf sebagai lembaga keagamaan, yang sumber datanya meliputi: Quran, Sunnah, dan Ijtihâd;
2.    Wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara itu;
3.    Wakaf sebagai lembaga kemasyarakatan atau suatu lembaga yang hidup di masyarakat berarti mengkaji wakaf dengan tinjauan sosial yang meliputi fakta dan data yang ada dalam masyarakat.
Pada tulisan yang sederhana ini, penulis akan mencoba memaparkan wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia.

B.       Rumusan Masalah
a.    Bagaimana Wakaf Menurut Undang-Undang?
b.    Apa Saja Unsur-Unsur Wakaf Menurut Undang-undang?
c.    Apa Saja Penyebab Sengketa Wakaf dan bagaimana Penyelesaiannya menurut Hukum di Indonesia?

C.      Tujuan Penulisan
a.     Memahami Arti wakaf Menurut Undang-Undang!
b.    Mengetahui Unsur-Unsur Wakaf Menurut Undang-Undang!
c.     Mengetahui Penyebab Sengketa Wakaf dan Memahami Cara menyelesaikannya Menurut Hukum di Indonesia!
















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Wakaf dalam Undang-Undang
a)      Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat (1)
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam.
b)    Menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 1 ayat (1)
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
c)      Menurut PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 1 ayat (1)
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syari’ah.

B.       Dasar Hukum Wakaf
Dasar Hukum Wakaf Menurut Hukum Indonesia diatur dalam berbagai peraturan dalam perundang-undangan, yaitu :
a.    Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
b.    Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara Perwakafan Tanah Milik.
c.    Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Perincian Terhadap PP No. 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara Perwakafan Tanah Milik.
d.   Instruksi Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1990, Nomor 24 Tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf.
e.    Badan Pertanahan Nasional Nomor 630.1-2782 Tentang Pelaksanaan Penyertifikatan Tanah Wakaf.
f.     Instruksi Presidan Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
g.    Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
h.    Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

C.      Rukun dan Syarat Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 6 menyatakan bahwa Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur-unsur sebagai (a). Wakif; (b). Nadzir; (c). Harta benda wakaf; (d). Ikrar wakaf; (e). Peruntukan harta benda wakaf; (f). Jangka waktu wakaf .
a.    Wakif
Wakif menurut KHI Pasal 217 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa:
1)   Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)   Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
Dalam Pasal 7 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, bahwa Waqif meliputi : a. Perseorangan; b. Organisasi; c. Badan Hukum.
Sedangkan dalam Pasal 8 UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, bahwa :
a)    Perseorangan adalah apabila memenuhi persyaratan dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, pemilik sah harta benda wakaf;
b)   Organisasi adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran saran organisasi yang bersangkutan;
c)    Badan hukum adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan;
Dalam PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 1 ayat (2) Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
b.    Nazhir
Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi nadzir asal saja ia berhak melakukan tindakan hukum. Adapun mengenai ketentuan nadzir sebagaimana tercantum pada pasal 9 UU No. 41 Tahun 2004 meliputi:  
(a) Perorangan;
(b) Organisasi; atau
(c) Badan hukum.
Menurut Pasal 10 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf: Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan:
a)    Warga negara Indonesia;
b)   Beragama Islam;
c)    Dewasa;
d)   Amanah;
e)    Mampu secara jasmani dan rohani; dan
f)    Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan :
a)    Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perorangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
b)   Organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan atau keagamaan Islam.
Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan :
a)    Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perseorangan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1);
b)   Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c)    Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
Beberapa syarat yang harus dipenuhinya untuk menjadi Nadzir yaitu terdapat pada pasal 219 KHI: Nadzir sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)    Warga Negara Indonesia,
b)   Beragama Islam,
c)    Sudah dewasa,
d)   Sehat jasmani dan rohani,
e)    Tidak berada di bawah pengampuan,
f)    Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.
c.    Harta benda wakaf
Pasal 215 (4) yang berbunyi: "Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam".
KHI pasal 217 ayat 3 menyatakan bahwa benda wakaf sebagaimana dalam 215 ayat 4 harus merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa.
Dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, bahwa harta benda wakaf terdiri dari :
a)    Benda tidak bergerak
1)   Harta atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
2)   Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri di atas sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
3)   Tanaman dan benda yang berkaitan dengan tanah;
4)   Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5)   Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b)   Benda bergerak
Benda bergerak adalah harta yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:     (1) Uang, (2) Logam mulia, (3) Surat berharga, (4) Kendaraan, (5) Hak atas kekayaan intelektual, 6) Hak sewa, dan 7) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti mushaf, buku dan kitab.
d.   Ikrar wakaf
KHI Pasal (223) menyatakan bahwa:
1)   Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
2)   Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
3)   Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
4)   Dalam melakukan Ikrar seperti dimaksudkan ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyertakan kepada Pejabat yang tersebut dalam pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut :
a)    Tanda bukti pemilikan harta benda,
b)   Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud.
c)    Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Dalam Pasal (21) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, bahwa :
1)   Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.
2)   Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 paling sedikit memuat :
a)    Nama dan identitas wakif;
b)   Nama dan identitas nadzir;
c)    Data dan keterangan harta benda wakaf;
d)   Peruntukan harta benda wakaf, dan
e)    Jangka waktu wakaf.
3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 32 menyatakan bahwa :
1)   Wakif menyatakan ikrar wakaf kepada Nadzir di hadapan PPAIW dalam Majelis Ikrar Wakaf sebagiamana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
2)   Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Mauquf alaih dan harta benda wakaf diterima oleh Nadzir untuk  kepentingan Mauquf alaih.
3)   Ikrar wakaf yang dilaksanakan oleh Wakif dan diterima oleh Nadzir dituangkan dalam AIW oleh PPAIW.
4)   AIW sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat :
a)    Nama dan identitas Wakif;
b)   Nama dan identitas Nadzir;
c)    Nama dan identitas Saksi;
d)   Data dan keterangan harta benda wakaf;
e)    Peruntukan harta benda wakaf; dan
f)    Jangka waktu wakaf.
5)   Dalam hal Wakif adalah organisasi atau badan hukum, maka nama dan identitas Wakif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a yang dicantumkan dalam akta adalah nama pengurus organisasi atau direksi badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar masing-masing.
6)   Dalam hal Nadzir adalah organisasi atau badan hukum, maka nama dan identitas Nadzir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b yang dicantumkan dalam akta adalah nama yang ditetapkan oleh pengurus organisasi atau badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar masing-masing. Setiap pernyataan/ ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh 2 orang saksi.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1979 maka Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) ditunjuk sebagai PPAIW.
e.    Peruntukan harta benda wakaf
1)   Menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 4: Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
2)   Menurut  KHI Pasal 216: Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuannya.
3)   Menurut Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf : Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Pasal 22 Undang-undang No 41 Tahun 2004, menyatakan: Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda hanya dapat diperuntukkan bagi:
a)    Sarana dan kegiatan ibadah;
b)   Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c)    Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;
d)   Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
f.     Jangka waktu wakaf
Di Indonesia, syarat permanen sempat dicantumkan dalam KHI. Pada pasal 215 dinyatakan: Bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Namun syarat itu kemudian berubah setelah keluarnya UU No. 41 Tahun 2004. Pada Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. Jadi, menurut ketentuan ini, wakaf sementara juga diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingannya.

D.      Potensi Sengketa di bidang Perwakafan dan Penyelesaiannya
Sengketa adalah kata lain dari konflik. Ada ahli yang menyamakan pengertian antara sengketa dengan konflik ada pula yang membedakannya. Bagi yang menyamakannya sengketa atau konflik diartikan dengan suatu interaksi yang bersifat antagonistis (berlawanan, berseberangan, bertentangan), atau hubungan antara dua pihak atau lebih[1] yang memiliki/merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Bagi yang membedakannya, maka yang dimaksud dengan konflik adalah keadaan dimana para pihak menyadari/mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas, sedangkan sengketa adalah dimana konflik tersebut dinyatakan dimuka umum atau melibatkan pihak ketiga. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu agar interaksi ini berjalan dengan baik, maka dibutuhkan pengaturan baik dalam peraturan perundang undangan maupunn bentuk pengaturan lainnya. Segala ketentuan dalam aturan itu pada dasarnya haruslah di taati oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Semua harus dapat dilaksanakan dengan sukarelan atau i'tikad baik, namun dalam kenyataannya hal tersebut seringkali dilanggar, sehingga pada akhirnya berpotensi memunculkan sengketa di antara para pihak. Pada dasarnya setiap sengketa yang muncul termasuk sengketa perwakafan terdapat tiga aspek, yakni:
a.    Aspek yuridis, yakni adanya perbedaan antara das sein dan das sollen, atau perbedaan antara kenyataan yang terjadi dengan norma yang seharusnya dijalankan. Sehingga sessuatu yang terjadi itu sebenarnya merupakan hal yang secara normatif seharusnya tidak boleh terjadi atau tidak boleh dilakukan.
b.    Aspek sosiologis, yakni adanya suatu fakta yang membuat suatu pihak merasa dirugikan oleh pihak lawan yang membuat/melakukan fakta/kejadian itu, dan tidak mau secara suka rela mengganti kerugian atau menyelesaikan dengan damai dan masing-masing pihak tidak mau mengalah atau mengalah salah satunya.
c.    Aspek psikologis, yakni bahwa pada hakikatnya sengketa itu terjadi antara sesama manusia dalam kapasitas apapun. Rasa emosional manusia inilah yang memunculkan adanya sengketa[2]. Oleh karena setiap sengketa mempunyai 3 (tiga aspek, maka setiap sengketa memiliki 3 (tiga) sifat yang melekat padanya, yang melambangkan unsur-unsur tersebut, yaitu:
1)   Sifat formal, yakni sifat sengketa yang melekat pada nilai atau norma hukum yang mengaturnya, mungkin karena nilai norma hukumnya kurang jelas, terdapat beberapa aturan yang berbeda beda atau saling berlawanan, adanya keragu raguan atau ketidakpastian hukum, atau belum adanya aturan dan lain sebagainya.
2)   Sifat substansial, yakni sifat sengketa yang melekat pada objek sengketa atau benda yang disengketakan, mungkin bendanya berbeda atau berlainan dan sebagainya.
3)   Sifat emosional, yakni sifat sengketa yang melekat pada manusianya, mungkin karena perasaan (yang meliputi etika dan estitika), pemikirannya (anggapan, penilaian, pandangan, penguraian, analisis, cara berpikir dan keyakinannya) keinginan atau kepentingan yang berbeda atau berlawanan Demikian pula dengan kegiatan perwakafan yang ada di tengah kehidupan masyarakat Islam di Indonesia, Selama ini potensi munculnya sengketa dalam bidang perwakafan antara lain adalah:
Pertama yang berkaitan dengan wakif, ikrar, nazhir serta saksi. Biasanya menyangkut sah tidaknya perbuatan mewakafkan. Dalam hal ini sengketa yang muncul dipicu oleh antara lain adanya pengingkaran  terhadap ikrar wakaf, adanya keinginan untuk menarik kembali harta yang telah diwakafkan. Hal ini di dorong antara lain oleh makin langkanya tanah/makin tingginya harga (harta benda wakaf), menipisnya kesadaran beragama, adanya kesan wakif menelantarkan ahli waris, adanya sikap serakah ahli waris atau adanya ketidaktahuan ahli waris wakif terhadap wakaf yang dilakukan si wakif.
Kedua, yang berkaitan dengan bayyinah (alat bukti administrasi harta benda wakaf) seperti akta ikrar wakaf, akta pengganti akta ikrar wakaf, alat bukti kepemilikan harta benda wakaf atau hal-hal lain yang berhubungan dengan pencatatan dan pendaftaran perwakafan. Keberadaan dokumen (sertifikat) dan saksi menjadi persoalan terpenting yang tidak bisa diabaikan, mengingat kultur sosial yang mengatasnamakan ibadah (tabarru‟) semuanya serba lisan. Sengketa yang muncul kemudian diharapkan tidak muncul dapat mengajukan dokumen dan saksi sebagai alat bukti untuk  menyelesaikan sengketa, meskipun proses penyelesaiannya mungkin tidak sederhana.
Ketiga, yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf, seperti penyimpangan penggunaan harta wakaf oleh nazhir dan lain-lain.[3]
Apalagi dengan diundangkan Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang memperluas jenis harta benda wakaf tidak hanya benda tidak bergerak seperti tanah sebagaimana peraturan perundangan sebelumnya tetapi juga berupa benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga dan lain-lain.[4] Hal ini makin menambah potensi munculnya sengketa bidang perwakafan ini.
Pada prinsipnya pihak pihak yang bersengketa menghendaki penyelesaian dengan cara cepat, tepat, adil dan murah. Hal ini telah menjadi asas umum dalam penyelesaian sengketa. Demikian pula dengan sengketa wakaf. Dalam pasal 62 Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa :
1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk
mencapai musyawarah mufakat.
2) Apabila penyelesian sengketa sebagaimana di maksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
Penyelesaian sengketa wakaf ditempuh dengan beberapa tahapan yang dilakukan secara stratifikatif. Dari isi pasal 62 ayat (2) tersebut diketahui bahwa cara penyelesaian pertama yang direkomendasikan oleh peraturan perundangan ini adalah musyawarah. Hal ini dilakukan dengan mempertemukan pihak pihak yang bersengketa untuk mencari jalan keluar terbaik dalam rangka menghentikan sengketa dimaksud. Pada umumnya, pihak-pihak yang bersengketa lebih suka menyelesaikan sendiri secara musyawarah dengan pihak yang bersangkutan tanpa melibatkan pihak ketiga. Hal ini dapat bergantung pada i‟tikad baik (goodwill) dari kedua belah pihak serta tingkat kerumitan sengketa itu sendiri.[5]
Musyawarah diartikan dengan berunding, berembuk, yakni pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama.[6] Apabila masing-masing pihak punya tekad yang sungguh sungguh untuk menyelesaikan sengketa, maka ia akan terselesaikan dengan mudah, Karena kesungguhan pihak pihak sangat menentukan berhasil tidaknya penyelesaian sengketa. Musyawarah akan menghasilkan keadilan yang sesungguhnya (substansial justist) yang dapat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa, bukan sekadar keadilan formal (formal justist) saja.[7]
Namun jika sengketa itu tidak berhasil diselesaikan sendiri oleh para pihak sendiri, maka dibutuhkan adanya pihak ketiga untuk membantu menyelesaikannya. Atau dengan cara mediasi. Menurut penjelasan pasal 62 ayat (2) bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dengan demikian penyelesaian dengan mediasi memerlukan proses perundingan para pihak yang dibantu oleh mediator. Adapun mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak melalui perundingan dengan bantuan pihak lain atau pihak ketiga yang netral (mediator) guna mencari dan menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati bersama oleh para pihak. Mediator tidak mempunyai kewenangan memutus atau memaksakan suatu bentuk penyelesaian sengketa. Keputusan selama perundingan berlangsung ada di tangan para pihak yang terlibat sengketa tersebut. Fungsi mediator adalah sebagai penengah dan ia haruslah netral. Karena jika mediator bersikap netral, maka akan lahir ikatan berdasarkan kepercayaan. Selain itu mediator juga bertujuan menolong dua belah pihak untuk mencapai kesepakatan dengan tetap netral dan menjamin kerahasiaan, para pihak tidak merasa kehilangan, walaupun harus mengurangi hal yang menguntungkan mereka untuk mencapai kesepakatan.[8] Proses mediasi melibatkan pihak ketiga baik perorangan maupun dalam bentuk lembaga independen yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai “mediator”. Sebagai pihak yang netral, independen dan tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak (baik langsung maupun melalui lembaga mediasi), mediator ini berkewajiban untuk melaksanakan tugas dannfungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak. Walau demikian ada satu pola yang umum dan dapat diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Sebagai suatu pihak di luar perkara yang tidak memiliki kewengan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan informasi yang diperoleh, baru kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan dari masing masing pihak yang bersengketa, untuk selanjutnya menyusun proposal penyelesaian, yang kemudian dikomunikasikan kepada para pihak secara langsung. Mediator harus mampu menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi di antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win win solution).
Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa wakaf, maka sengketa tersebut dapat di bawa kepada badan arbitrase syari‟ah. Ini merupakan cara penyelesaian ketiga. Adapun pengertian arbitrase menurut Undang Undang Nomer 30 tahun 1999 adalah:”cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan perjanjian tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Penyelesaian dengan arbitrase ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain dijamin kerahasiaan para pihak, karena tidak ada publikasi, Cepat dan hemat, para pihak bisa memilih, tempat, waktu, hukum yang digunakan dan prosedur sederhana dan putusannya final and binding. Sebagai sebuah pranata penyelesaian sengketa, arbitrase ini didahului adanya perjanjian atau kesepakatan dari para pihak baik yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa maupun dalam bentuk perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Objek perjanjian arbitrase (sengketa) yang bisa diselesaikan melalui arbitrase (domain of arbitration) adalah:
Pertama sengketa perdata bidang perdagangan yang terdiri dari perniagaan, perbankan, keuangan, investasi, industri dan Hak atas kekayaan Intelektual.
Kedua, Sengketa mengenai hak (yang menurut hukum dan perundang-undangan) dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, termasuk di dalamnya sengketa wakaf.
Lembaga arbitrase yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa wakaf ini menurut penjelasan pasal 62 ayat (2) adalah arbitrase syariah. Dan di Indonesia sudah terbentuk Basyarnas (Badan Arbitase Syari’ah Nasional) yang merupakan perangkat dari organisasi Majelis Ulama Indonesia. Kewenangan dari  Basyarnas ini adalah menyelesaikan sengketa dalam masalah muamalah/perdata yang menyangkut bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain lain.29
Bilamana arbitrase syari’ah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sngketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan. Pengadilan dalam hal ini adalah merupakan tumpuan harapan terakhir pihak pihak yang terlibat sengketa wakaf. Sebagai lembaga sosial pengadilan bertugas melayani masyarakat di bidang hukum dan keadilan serta memberikan bantuan sesuai dengan apa yang mereka perlukan dalam batas-batas yang dibenarkan dan dianjurkan oleh hukum.
Di samping melaksanakan tugas pokoknya untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara/ sengketa yang diajukan kepadanya, termasuk sengketa wakaf.31Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini berdasarkan penjelasan pasal 62 ayat (2) Undang Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf adalah Pengadilan Agama.
Sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa wakaf pengadilan agama dituntut untuk dapat menyelesaikan dengan seadil adilnya dengan didasarkan kepada hukum yang berlaku.










BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Dari beberapa pengertian wakaf di atas, kiranya dapat ditarik cakupan bahwa wakaf meliputi:
a.    Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang.
b.    Harta benda tersebut bersifat kekal dzatnya atau tidak habis apabila dipakai.
c.    Harta tersebut dilepaskan kepemilikannya oleh pemiliknya, kemudian harta tersebut tidak bisa dihibahkan, diwariskan, ataupun diperjual belikan.
d.   Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam.
2.    Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur-unsur sebagai
a.    Wakif;
b.    Nadzir;
c.    Harta benda wakaf;
d.   Ikrar wakaf;
e.    Peruntukan harta benda wakaf;
f.     Jangka waktu wakaf .
3.    Pada dasarnya setiap sengketa yang muncul termasuk sengketa perwakafan terdapat tiga aspek, yakni:
a.    Aspek yuridis, yakni adanya perbedaan antara das sein dan das sollen, atau perbedaan antara kenyataan yang terjadi dengan norma yang seharusnya dijalankan.
b.    Aspek sosiologis, yakni adanya suatu fakta yang membuat suatu pihak merasa dirugikan oleh pihak lawan yang membuat/melakukan fakta/kejadian itu.
c.    Aspek psikologis, yakni bahwa pada hakikatnya sengketa itu terjadi antara sesama manusia dalam kapasitas apapun. Rasa emosional manusia inilah yang memunculkan adanya sengketa.
4.    Selama ini potensi munculnya sengketa dalam bidang perwakafan antara lain adalah:
Pertama yang berkaitan dengan wakif, ikrar, nazhir serta saksi. Biasanya menyangkut sah tidaknya perbuatan mewakafkan.
Kedua, yang berkaitan dengan bayyinah (alat bukti administrasi harta benda wakaf) seperti akta ikrar wakaf, akta pengganti akta ikrar wakaf, alat bukti kepemilikan harta benda wakaf atau hal-hal lain yang berhubungan dengan pencatatan dan pendaftaran perwakafan.
Ketiga, yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf, seperti penyimpangan penggunaan harta wakaf oleh nazhir dan lain-lain.
Apalagi dengan diundangkan Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang memperluas jenis harta benda wakaf. Hal ini makin menambah potensi munculnya sengketa bidang perwakafan ini.
5.    Dalam pasal 62 Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa :
a.    Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai musyawarah mufakat.
b.    Apabila penyelesian sengketa sebagaimana di maksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.

B.       Kritik dan Saran
Penulis menyadari lemahnya pemahaman akan materi yang diberikan oleh dosen pembimbing. Tetapi hal itu tidak menyurutkan keinginan kami untuk lebih maksimal dalam mengolah dan memperkaya isi makalah kami ini. Oleh sebab itu kami meminta dengan setulus hati kepada para pembaca yang budiman agar memberikan kirtik saran yang membangun supaya dengan kritik tersebut dapat membuat kami menyadari kesalahan dan dapat memeperbaiki kesalahan itu di makalah-makalah selanjutnya.
Saran penulis agar lebih memahami isi makalah kami. Kami minta pembaca yang budiman membaca dengan seksama isi makalah kami ini. Salam dan  Hormat  dari penulis.


























DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Peranan Hukum Dalam penanggulangan Konflik Sosial, Banjarmasin, 2002)
A. Mukti Arto,Mencari Keadilan, (Kritik dan Solusi Terhadap Praktek Peradilan Perdata, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001)
Badan Pertanahan Nasional Nomor 630.1-2782 Tentang Pelaksanaan Penyertifikatan Tanah Wakaf.
Instruksi Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1990, Nomor 24 Tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf.
Instruksi Presidan Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara Perwakafan Tanah Milik.
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Perincian Terhadap PP No. 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara Perwakafan Tanah Milik.
Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Taufiq Hamami, Perwakaan Tanah (Dalam Politik Hukum Agraria Nasional), PT. Tatanusa Jakarta, 2003)
Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.




[1] Abdurrahman, Peranan Hukum Dalam penanggulangan Konflik Sosial, Banjarmasin, 2002, h. 8-9)
[2] A. Mukti Arto,Mencari Keadilan, (Kritik dan Solusi Terhadap Praktek Peradilan Perdata, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, h. 38)
[3] Taufiq Hamami, Perwakaan Tanah (Dalam Politik Hukum Agraria Nasional), PT. Tatanusa Jakarta, 2003, h. 170-171)
[4] Lihat pasal 16 Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf
[5] A. Mukti Arto, op. Cit., h. 32
[6] Ibid., h. 67
[7] Ibid., h. 70
[8] Linda R. Siregar, 1994, Settling Disputes – Conflict Resolution in Business, Families, and The Legas Sistem, San Fransisco: Westview Press, h. 27

Related Posts:

2 komentar:

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Posting Terbaru

Tayangan halaman minggu lalu

77

Cari Blog Ini

Cari


Pengikut

Translate

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's.

Ads

Ad Banner

Pages

About

recentposts

Popular Posts