BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum
Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat
yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk
mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu
mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum,
keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Salah
satu institusi atau pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi
adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti
bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah Swt., lembaga
perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam.
Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak
dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan
eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si
miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit
masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam.
Wakaf
telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak
zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di
negara Indonesia. Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang
terpenting dalam syari'at Islam, sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan
ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin.
Kajian
wakaf sebagai pranata sosial merujuk pada tiga corpus, yaitu:
1.
Wakaf
sebagai lembaga keagamaan, yang sumber datanya meliputi: Quran, Sunnah, dan
Ijtihâd;
2.
Wakaf
sebagai lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara itu;
3.
Wakaf
sebagai lembaga kemasyarakatan atau suatu lembaga yang hidup di masyarakat berarti
mengkaji wakaf dengan tinjauan sosial yang meliputi fakta dan data yang ada
dalam masyarakat.
Pada
tulisan yang sederhana ini, penulis akan mencoba memaparkan wakaf sebagai
lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
Wakaf Menurut Undang-Undang?
b.
Apa
Saja Unsur-Unsur Wakaf Menurut Undang-undang?
c.
Apa
Saja Penyebab Sengketa Wakaf dan bagaimana Penyelesaiannya menurut Hukum di
Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
a.
Memahami
Arti wakaf Menurut Undang-Undang!
b.
Mengetahui
Unsur-Unsur Wakaf Menurut Undang-Undang!
c.
Mengetahui
Penyebab Sengketa Wakaf dan Memahami Cara menyelesaikannya Menurut Hukum di
Indonesia!
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wakaf dalam Undang-Undang
a)
Menurut
Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat (1)
Wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam.
b)
Menurut
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 1 ayat (1)
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
c)
Menurut
PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf
Pasal 1 ayat (1)
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
Syari’ah.
B.
Dasar Hukum Wakaf
Dasar
Hukum Wakaf Menurut Hukum Indonesia diatur dalam berbagai peraturan dalam
perundang-undangan, yaitu :
a.
Undang-Undang
Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
b.
Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara Perwakafan Tanah Milik.
c.
Peraturan
Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Perincian Terhadap PP No. 28 Tahun
1977 tentang Tata Cara Perwakafan Tanah Milik.
d.
Instruksi
Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1990, Nomor 24 Tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf.
e.
Badan
Pertanahan Nasional Nomor 630.1-2782 Tentang Pelaksanaan Penyertifikatan Tanah
Wakaf.
f.
Instruksi
Presidan Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
g.
Undang-Undang
Nomor. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
h.
Peraturan
Pemerintah RI No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.
C.
Rukun dan Syarat Wakaf
Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 6 menyatakan bahwa Wakaf dilaksanakan
dengan memenuhi unsur-unsur sebagai (a). Wakif; (b). Nadzir; (c). Harta benda wakaf;
(d). Ikrar wakaf; (e). Peruntukan harta benda wakaf; (f). Jangka waktu wakaf .
a.
Wakif
Wakif
menurut KHI Pasal 217 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa:
1)
Badan-badan
hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya
serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2)
Dalam
hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah
pengurusnya yang sah menurut hukum.
Dalam Pasal 7 UU No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, bahwa Waqif meliputi : a. Perseorangan; b. Organisasi; c. Badan
Hukum.
Sedangkan
dalam Pasal 8 UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, bahwa :
a)
Perseorangan
adalah apabila memenuhi persyaratan dewasa, berakal sehat, tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum, pemilik sah harta benda wakaf;
b)
Organisasi
adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf
milik organisasi sesuai dengan anggaran saran organisasi yang bersangkutan;
c)
Badan
hukum adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda
wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang
bersangkutan;
Dalam PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004
tentang wakaf Pasal 1 ayat (2) Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda
miliknya.
b.
Nazhir
Pada dasarnya siapa saja dapat
menjadi nadzir asal saja ia berhak melakukan tindakan hukum. Adapun mengenai
ketentuan nadzir sebagaimana tercantum pada pasal 9 UU No. 41 Tahun 2004
meliputi:
(a)
Perorangan;
(b)
Organisasi;
atau
(c)
Badan
hukum.
Menurut Pasal 10 UU No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf: Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a
hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan:
a)
Warga
negara Indonesia;
b)
Beragama
Islam;
c)
Dewasa;
d)
Amanah;
e)
Mampu
secara jasmani dan rohani; dan
f)
Tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum.
Organisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan :
a)
Pengurus
organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perorangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1);
b)
Organisasi
yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan atau keagamaan
Islam.
Badan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan :
a)
Pengurus
badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perseorangan
sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1);
b)
Badan
hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c)
Badan
hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan kemasyarakatan,
dan/atau keagamaan Islam.
Beberapa syarat yang harus
dipenuhinya untuk menjadi Nadzir yaitu terdapat pada pasal 219 KHI: Nadzir sebagaimana
dimaksud dalam pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a)
Warga
Negara Indonesia,
b)
Beragama
Islam,
c)
Sudah
dewasa,
d)
Sehat
jasmani dan rohani,
e)
Tidak
berada di bawah pengampuan,
f)
Bertempat
tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.
c.
Harta
benda wakaf
Pasal 215 (4) yang berbunyi: "Benda wakaf adalah segala benda
baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak
hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam".
KHI pasal 217 ayat 3 menyatakan bahwa benda wakaf sebagaimana dalam
215 ayat 4 harus merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan,
sitaan, dan sengketa.
Dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, bahwa
harta benda wakaf terdiri dari :
a)
Benda
tidak bergerak
1)
Harta
atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku
baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
2)
Bangunan
atau bagian bangunan yang terdiri di atas sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
3)
Tanaman
dan benda yang berkaitan dengan tanah;
4)
Hak
milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
5)
Benda
tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b)
Benda
bergerak
Benda
bergerak adalah harta yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: (1) Uang, (2) Logam mulia, (3) Surat
berharga, (4) Kendaraan, (5) Hak atas kekayaan intelektual, 6) Hak sewa, dan 7)
Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku seperti mushaf, buku dan kitab.
d.
Ikrar
wakaf
KHI Pasal (223) menyatakan bahwa:
1)
Pihak
yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
2)
Isi
dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
3)
Pelaksanaan
Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
4)
Dalam
melakukan Ikrar seperti dimaksudkan ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan
menyertakan kepada Pejabat yang tersebut dalam pasal 215 ayat (6), surat-surat
sebagai berikut :
a)
Tanda
bukti pemilikan harta benda,
b)
Jika
benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat
keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang
menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud.
c)
Surat
atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang
bersangkutan.
Dalam Pasal (21) Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang wakaf, bahwa :
1)
Ikrar
wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.
2)
Akta
ikrar wakaf sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 paling sedikit memuat :
a)
Nama
dan identitas wakif;
b)
Nama
dan identitas nadzir;
c)
Data
dan keterangan harta benda wakaf;
d)
Peruntukan
harta benda wakaf, dan
e)
Jangka
waktu wakaf.
3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam PP No. 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 32 menyatakan bahwa :
1)
Wakif
menyatakan ikrar wakaf kepada Nadzir di hadapan PPAIW dalam Majelis Ikrar Wakaf
sebagiamana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
2)
Ikrar
wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Mauquf alaih dan harta
benda wakaf diterima oleh Nadzir untuk kepentingan
Mauquf alaih.
3)
Ikrar
wakaf yang dilaksanakan oleh Wakif dan diterima oleh Nadzir dituangkan dalam
AIW oleh PPAIW.
4)
AIW
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat :
a)
Nama
dan identitas Wakif;
b)
Nama
dan identitas Nadzir;
c)
Nama
dan identitas Saksi;
d)
Data
dan keterangan harta benda wakaf;
e)
Peruntukan
harta benda wakaf; dan
f)
Jangka
waktu wakaf.
5)
Dalam
hal Wakif adalah organisasi atau badan hukum, maka nama dan identitas Wakif
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a yang dicantumkan dalam akta adalah
nama pengurus organisasi atau direksi badan hukum yang bersangkutan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar masing-masing.
6)
Dalam
hal Nadzir adalah organisasi atau badan hukum, maka nama dan identitas Nadzir
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b yang dicantumkan dalam akta adalah
nama yang ditetapkan oleh pengurus organisasi atau badan hukum yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar masing-masing. Setiap
pernyataan/ ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh 2 orang saksi.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1979 maka Kepala
Kantor Urusan Agama (KUA) ditunjuk sebagai PPAIW.
e.
Peruntukan
harta benda wakaf
1)
Menurut
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 4: Wakaf bertujuan memanfaatkan harta
benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
2)
Menurut
KHI Pasal 216: Fungsi wakaf adalah
mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuannya.
3)
Menurut
Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf : Wakaf berfungsi mewujudkan potensi
dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk
mewujudkan kesejahteraan umum.
Pasal 22 Undang-undang No 41 Tahun
2004, menyatakan: Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda
hanya dapat diperuntukkan bagi:
a)
Sarana
dan kegiatan ibadah;
b)
Sarana
dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c)
Bantuan
kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;
d)
Kemajuan
kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan
perundang-undangan.
f.
Jangka
waktu wakaf
Di Indonesia, syarat permanen sempat dicantumkan dalam KHI. Pada
pasal 215 dinyatakan: Bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya
dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Namun syarat itu kemudian berubah setelah keluarnya UU No. 41 Tahun
2004. Pada Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syari’ah. Jadi, menurut ketentuan ini, wakaf sementara juga
diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingannya.
D.
Potensi Sengketa di bidang Perwakafan dan Penyelesaiannya
Sengketa
adalah kata lain dari konflik. Ada ahli yang menyamakan pengertian antara sengketa
dengan konflik ada pula yang membedakannya. Bagi yang menyamakannya sengketa
atau konflik diartikan dengan suatu interaksi yang bersifat antagonistis
(berlawanan, berseberangan, bertentangan), atau hubungan antara dua pihak atau
lebih[1] yang
memiliki/merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Bagi yang membedakannya,
maka yang dimaksud dengan konflik adalah keadaan dimana para pihak
menyadari/mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas, sedangkan sengketa adalah
dimana konflik tersebut dinyatakan dimuka umum atau melibatkan pihak ketiga. Sebagai
makhluk sosial, manusia senantiasa berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena
itu agar interaksi ini berjalan dengan baik, maka dibutuhkan pengaturan baik dalam
peraturan perundang undangan maupunn bentuk pengaturan lainnya. Segala
ketentuan dalam aturan itu pada dasarnya haruslah di taati oleh semua pihak
yang terlibat di dalamnya. Semua harus dapat dilaksanakan dengan sukarelan atau
i'tikad baik, namun dalam kenyataannya hal tersebut seringkali dilanggar,
sehingga pada akhirnya berpotensi memunculkan sengketa di antara para pihak. Pada
dasarnya setiap sengketa yang muncul termasuk sengketa perwakafan terdapat tiga
aspek, yakni:
a.
Aspek
yuridis, yakni adanya perbedaan antara das sein dan das sollen, atau perbedaan
antara kenyataan yang terjadi dengan norma yang seharusnya dijalankan. Sehingga
sessuatu yang terjadi itu sebenarnya merupakan hal yang secara normatif
seharusnya tidak boleh terjadi atau tidak boleh dilakukan.
b.
Aspek
sosiologis, yakni adanya suatu fakta yang membuat suatu pihak merasa dirugikan
oleh pihak lawan yang membuat/melakukan fakta/kejadian itu, dan tidak mau
secara suka rela mengganti kerugian atau menyelesaikan dengan damai dan
masing-masing pihak tidak mau mengalah atau mengalah salah satunya.
c.
Aspek
psikologis, yakni bahwa pada hakikatnya sengketa itu terjadi antara sesama
manusia dalam kapasitas apapun. Rasa emosional manusia inilah yang memunculkan
adanya sengketa[2].
Oleh karena setiap sengketa mempunyai 3 (tiga aspek, maka setiap sengketa
memiliki 3 (tiga) sifat yang melekat padanya, yang melambangkan unsur-unsur
tersebut, yaitu:
1)
Sifat
formal, yakni sifat sengketa yang melekat pada nilai atau norma hukum yang mengaturnya,
mungkin karena nilai norma hukumnya kurang jelas, terdapat beberapa aturan yang
berbeda beda atau saling berlawanan, adanya keragu raguan atau ketidakpastian
hukum, atau belum adanya aturan dan lain sebagainya.
2)
Sifat
substansial, yakni sifat sengketa yang melekat pada objek sengketa atau benda yang
disengketakan, mungkin bendanya berbeda atau berlainan dan sebagainya.
3)
Sifat
emosional, yakni sifat sengketa yang melekat pada manusianya, mungkin karena perasaan
(yang meliputi etika dan estitika), pemikirannya (anggapan, penilaian, pandangan,
penguraian, analisis, cara berpikir dan keyakinannya) keinginan atau kepentingan
yang berbeda atau berlawanan Demikian pula dengan kegiatan perwakafan yang ada
di tengah kehidupan masyarakat Islam di Indonesia, Selama ini potensi munculnya
sengketa dalam bidang perwakafan antara lain adalah:
Pertama yang berkaitan
dengan wakif, ikrar, nazhir serta saksi. Biasanya menyangkut sah tidaknya
perbuatan mewakafkan. Dalam hal ini sengketa yang muncul dipicu oleh antara lain
adanya pengingkaran terhadap ikrar
wakaf, adanya keinginan untuk menarik kembali harta yang telah diwakafkan. Hal
ini di dorong antara lain oleh makin langkanya tanah/makin tingginya harga
(harta benda wakaf), menipisnya kesadaran beragama, adanya kesan wakif
menelantarkan ahli waris, adanya sikap serakah ahli waris atau adanya
ketidaktahuan ahli waris wakif terhadap wakaf yang dilakukan si wakif.
Kedua, yang
berkaitan dengan bayyinah (alat bukti administrasi harta benda wakaf) seperti
akta ikrar wakaf, akta pengganti akta ikrar wakaf, alat bukti kepemilikan harta
benda wakaf atau hal-hal lain yang berhubungan dengan pencatatan dan
pendaftaran perwakafan. Keberadaan dokumen (sertifikat) dan saksi menjadi
persoalan terpenting yang tidak bisa diabaikan, mengingat kultur sosial yang
mengatasnamakan ibadah (tabarru‟) semuanya serba lisan. Sengketa yang muncul
kemudian diharapkan tidak muncul dapat mengajukan dokumen dan saksi sebagai
alat bukti untuk menyelesaikan sengketa,
meskipun proses penyelesaiannya mungkin tidak sederhana.
Ketiga, yang
berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf, seperti penyimpangan
penggunaan harta wakaf oleh nazhir dan lain-lain.[3]
Apalagi
dengan diundangkan Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang memperluas
jenis harta benda wakaf tidak hanya benda tidak bergerak seperti tanah sebagaimana
peraturan perundangan sebelumnya tetapi juga berupa benda bergerak seperti
uang, logam mulia, surat berharga dan lain-lain.[4]
Hal ini makin menambah potensi munculnya sengketa bidang perwakafan ini.
Pada
prinsipnya pihak pihak yang bersengketa menghendaki penyelesaian dengan cara
cepat, tepat, adil dan murah. Hal ini telah menjadi asas umum dalam
penyelesaian sengketa. Demikian pula dengan sengketa wakaf. Dalam pasal 62 Undang
Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa :
1) Penyelesaian
sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk
mencapai
musyawarah mufakat.
2)
Apabila penyelesian sengketa sebagaimana di maksud pada ayat (1) tidak
berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau
pengadilan.
Penyelesaian
sengketa wakaf ditempuh dengan beberapa tahapan yang dilakukan secara stratifikatif.
Dari isi pasal 62 ayat (2) tersebut diketahui bahwa cara penyelesaian pertama
yang direkomendasikan oleh peraturan perundangan ini adalah musyawarah. Hal ini
dilakukan dengan mempertemukan pihak pihak yang bersengketa untuk mencari jalan
keluar terbaik dalam rangka menghentikan sengketa dimaksud. Pada umumnya,
pihak-pihak yang bersengketa lebih suka menyelesaikan sendiri secara musyawarah
dengan pihak yang bersangkutan tanpa melibatkan pihak ketiga. Hal ini dapat
bergantung pada i‟tikad baik (goodwill) dari kedua belah pihak serta tingkat
kerumitan sengketa itu sendiri.[5]
Musyawarah
diartikan dengan berunding, berembuk, yakni pembahasan bersama dengan maksud
mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama.[6]
Apabila masing-masing pihak punya tekad yang sungguh sungguh untuk menyelesaikan
sengketa, maka ia akan terselesaikan dengan mudah, Karena kesungguhan pihak
pihak sangat menentukan berhasil tidaknya penyelesaian sengketa. Musyawarah
akan menghasilkan keadilan yang sesungguhnya (substansial justist) yang dapat dirasakan
oleh para pihak yang bersengketa, bukan sekadar keadilan formal (formal
justist) saja.[7]
Namun
jika sengketa itu tidak berhasil diselesaikan sendiri oleh para pihak sendiri,
maka dibutuhkan adanya pihak ketiga untuk membantu menyelesaikannya. Atau
dengan cara mediasi. Menurut penjelasan pasal 62 ayat (2) bahwa yang dimaksud
dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga
(mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dengan demikian
penyelesaian dengan mediasi memerlukan proses perundingan para pihak yang
dibantu oleh mediator. Adapun mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak
memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
sengketa.
Mediasi
adalah upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak melalui perundingan
dengan bantuan pihak lain atau pihak ketiga yang netral (mediator) guna mencari
dan menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati bersama oleh
para pihak. Mediator tidak mempunyai kewenangan memutus atau memaksakan suatu
bentuk penyelesaian sengketa. Keputusan selama perundingan berlangsung ada di
tangan para pihak yang terlibat sengketa tersebut. Fungsi mediator adalah
sebagai penengah dan ia haruslah netral. Karena jika mediator bersikap netral,
maka akan lahir ikatan berdasarkan kepercayaan. Selain itu mediator juga
bertujuan menolong dua belah pihak untuk mencapai kesepakatan dengan tetap netral
dan menjamin kerahasiaan, para pihak tidak merasa kehilangan, walaupun harus mengurangi
hal yang menguntungkan mereka untuk mencapai kesepakatan.[8]
Proses mediasi melibatkan pihak ketiga baik perorangan maupun dalam bentuk
lembaga independen yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi
sebagai “mediator”. Sebagai pihak yang netral, independen dan tidak memihak
yang ditunjuk oleh para pihak (baik langsung maupun melalui lembaga mediasi),
mediator ini berkewajiban untuk melaksanakan tugas dannfungsinya berdasarkan
pada kehendak dan kemauan para pihak. Walau demikian ada satu pola yang umum
dan dapat diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian
sengketa para pihak. Sebagai suatu pihak di luar perkara yang tidak memiliki
kewengan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan
para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang
dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan informasi yang diperoleh, baru kemudian
mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan dari masing masing
pihak yang bersengketa, untuk selanjutnya menyusun proposal penyelesaian, yang
kemudian dikomunikasikan kepada para pihak secara langsung. Mediator harus
mampu menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi
di antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling
menguntungkan (win win solution).
Dalam
hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa wakaf, maka sengketa tersebut
dapat di bawa kepada badan arbitrase syari‟ah. Ini merupakan cara penyelesaian
ketiga. Adapun pengertian arbitrase menurut Undang Undang Nomer 30 tahun 1999
adalah:”cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
perjanjian tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Penyelesaian
dengan arbitrase ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain dijamin
kerahasiaan para pihak, karena tidak ada publikasi, Cepat dan hemat, para pihak
bisa memilih, tempat, waktu, hukum yang digunakan dan prosedur sederhana dan
putusannya final and binding. Sebagai sebuah pranata penyelesaian sengketa,
arbitrase ini didahului adanya perjanjian atau kesepakatan dari para pihak baik
yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa maupun dalam bentuk perjanjian
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Objek perjanjian
arbitrase (sengketa) yang bisa diselesaikan melalui arbitrase (domain of arbitration)
adalah:
Pertama
sengketa perdata bidang perdagangan yang terdiri dari perniagaan, perbankan, keuangan,
investasi, industri dan Hak atas kekayaan Intelektual.
Kedua,
Sengketa mengenai hak (yang menurut hukum dan perundang-undangan) dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak, termasuk di dalamnya sengketa wakaf.
Lembaga
arbitrase yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa wakaf ini menurut penjelasan
pasal 62 ayat (2) adalah arbitrase syariah. Dan di Indonesia sudah terbentuk Basyarnas
(Badan Arbitase Syari’ah Nasional) yang merupakan perangkat dari organisasi Majelis
Ulama Indonesia. Kewenangan dari Basyarnas
ini adalah menyelesaikan sengketa dalam masalah muamalah/perdata yang menyangkut
bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain lain.29
Bilamana
arbitrase syari’ah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sngketa tersebut
dapat dibawa ke pengadilan. Pengadilan dalam hal ini adalah merupakan tumpuan harapan
terakhir pihak pihak yang terlibat sengketa wakaf. Sebagai lembaga sosial
pengadilan bertugas melayani masyarakat di bidang hukum dan keadilan serta
memberikan bantuan sesuai dengan apa yang mereka perlukan dalam batas-batas yang
dibenarkan dan dianjurkan oleh hukum.
Di
samping melaksanakan tugas pokoknya untuk menerima, memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan setiap perkara/ sengketa yang diajukan kepadanya, termasuk sengketa
wakaf.31Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini berdasarkan penjelasan pasal 62 ayat
(2) Undang Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf adalah Pengadilan Agama.
Sebagai
lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa wakaf pengadilan agama dituntut
untuk dapat menyelesaikan dengan seadil adilnya dengan didasarkan kepada hukum yang
berlaku.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dari
beberapa pengertian wakaf di atas, kiranya dapat ditarik cakupan bahwa wakaf
meliputi:
a.
Harta
benda milik seseorang atau sekelompok orang.
b.
Harta
benda tersebut bersifat kekal dzatnya atau tidak habis apabila dipakai.
c.
Harta
tersebut dilepaskan kepemilikannya oleh pemiliknya, kemudian harta tersebut
tidak bisa dihibahkan, diwariskan, ataupun diperjual belikan.
d.
Manfaat
dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam.
2.
Wakaf
dilaksanakan dengan memenuhi unsur-unsur sebagai
a.
Wakif;
b.
Nadzir;
c.
Harta
benda wakaf;
d.
Ikrar
wakaf;
e.
Peruntukan
harta benda wakaf;
f.
Jangka
waktu wakaf .
3.
Pada
dasarnya setiap sengketa yang muncul termasuk sengketa perwakafan terdapat tiga
aspek, yakni:
a.
Aspek
yuridis, yakni adanya perbedaan antara das sein dan das sollen, atau perbedaan
antara kenyataan yang terjadi dengan norma yang seharusnya dijalankan.
b.
Aspek
sosiologis, yakni adanya suatu fakta yang membuat suatu pihak merasa dirugikan
oleh pihak lawan yang membuat/melakukan fakta/kejadian itu.
c.
Aspek
psikologis, yakni bahwa pada hakikatnya sengketa itu terjadi antara sesama
manusia dalam kapasitas apapun. Rasa emosional manusia inilah yang memunculkan
adanya sengketa.
4.
Selama
ini potensi munculnya sengketa dalam bidang perwakafan antara lain adalah:
Pertama yang berkaitan
dengan wakif, ikrar, nazhir serta saksi. Biasanya menyangkut sah tidaknya
perbuatan mewakafkan.
Kedua, yang
berkaitan dengan bayyinah (alat bukti administrasi harta benda wakaf) seperti
akta ikrar wakaf, akta pengganti akta ikrar wakaf, alat bukti kepemilikan harta
benda wakaf atau hal-hal lain yang berhubungan dengan pencatatan dan
pendaftaran perwakafan.
Ketiga, yang
berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf, seperti
penyimpangan penggunaan harta wakaf oleh nazhir dan lain-lain.
Apalagi dengan diundangkan Undang Undang
Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang memperluas jenis harta benda wakaf. Hal ini
makin menambah potensi munculnya sengketa bidang perwakafan ini.
5.
Dalam
pasal 62 Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa :
a.
Penyelesaian
sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai musyawarah mufakat.
b.
Apabila
penyelesian sengketa sebagaimana di maksud pada ayat (1) tidak berhasil,
sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
B.
Kritik dan Saran
Penulis menyadari lemahnya pemahaman akan materi yang
diberikan oleh dosen pembimbing. Tetapi hal itu tidak menyurutkan keinginan
kami untuk lebih maksimal dalam mengolah dan memperkaya isi makalah kami ini.
Oleh sebab itu kami meminta dengan setulus hati kepada para pembaca yang
budiman agar memberikan kirtik saran yang membangun supaya dengan kritik
tersebut dapat membuat kami menyadari kesalahan dan dapat memeperbaiki kesalahan itu di makalah-makalah selanjutnya.
Saran penulis agar lebih memahami isi makalah kami.
Kami minta pembaca yang budiman membaca dengan seksama isi makalah kami ini.
Salam dan Hormat dari penulis.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, Peranan Hukum Dalam
penanggulangan Konflik Sosial, Banjarmasin, 2002)
A. Mukti Arto,Mencari Keadilan,
(Kritik dan Solusi Terhadap Praktek Peradilan Perdata, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2001)
Badan Pertanahan Nasional Nomor
630.1-2782 Tentang Pelaksanaan Penyertifikatan Tanah Wakaf.
Instruksi Bersama Menteri Agama
Republik Indonesia dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1990,
Nomor 24 Tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf.
Instruksi Presidan Nomor 1 Tahun
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Tata Cara Perwakafan Tanah Milik.
Peraturan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1978 tentang Perincian Terhadap PP No. 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara
Perwakafan Tanah Milik.
Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun
2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Taufiq Hamami, Perwakaan Tanah
(Dalam Politik Hukum Agraria Nasional), PT. Tatanusa Jakarta, 2003)
Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960.
[1]
Abdurrahman, Peranan Hukum Dalam penanggulangan Konflik Sosial, Banjarmasin,
2002, h. 8-9)
[2]
A. Mukti Arto,Mencari Keadilan, (Kritik dan Solusi Terhadap Praktek Peradilan
Perdata, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, h. 38)
[3]
Taufiq Hamami, Perwakaan Tanah (Dalam Politik Hukum Agraria Nasional), PT.
Tatanusa Jakarta, 2003, h. 170-171)
[4]
Lihat pasal 16 Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf
[5]
A. Mukti Arto, op. Cit., h. 32
[6]
Ibid., h. 67
[7]
Ibid., h. 70
[8]
Linda R. Siregar, 1994, Settling Disputes – Conflict Resolution in Business,
Families, and The Legas Sistem, San Fransisco: Westview Press, h. 27
terimakasih sangat membantu. jangan lupa berkunjung di
BalasHapussina-na.blogspot.com
Sama-sama. Salam bloger
BalasHapus