BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sering
dengan perkembangan zaman Ketika umat
islam dalam kondisi yang oleh Sayyid Qutub dapat digambarkan sebagai suatu
masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad , mengabaikan
peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau mengistimbatkan hukum-hukum,
karena mereka merasa telah cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga
hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan
khurafat-khurafat. Dengan kondisi tersebut maka lahirlah para
pembaharu-pembaharu Islam seperti Syekh Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan
Muhammad Iqbal.
Islam
dalam pandangan Iqbal bersifat tidak statis, tetapi dapat disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan
ciri dinamika yang harus dilambangkan dalam Islam. Masih banyak lagi
pemikiran-pemikiran kalam para pembaharu tersebut. Untuk lebih jelasnya,
marilah kita simak isi makalah dibawah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
Ada
beberapa permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini diantaranya:
1.
Pemikiran kalam ulama modern (Abduh, Ahmad Khan dan Iqbal)
2.
Ilmu kalam masa kini: Ismail Faruqi, Hasan Hanafi, Rasyidi, dan
Harun Nasution.
C.
METODE PENULISAN
Adapun
metode penulisan makalah ini menggunakan metode kepustakaan yaitu dengan
mengumpulkan bahan-bahan yang relevan yang berhubungan dengan permasalahan yang
akan dibahas dan juga menggunakan metode internet browsing.
D.
TUJUAN PENULISAN
Adapun
tujuan pembuatan makalah ini diantaranya adalah untuk memenuhi tugas
dosen Ilmu Kalam yang dibimbing oleh
bapak Suhar, S.Ag . dan untuk menambah dan memperluas wawasan serta ilmu
pengetahuan khususnya dibidang Ilmu Kalam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN
a.
Syekh Muhammad Abduh
1.
Riwayat Singkat Muhammad Abduh
Syekh
Muhammad Abduh nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan
di desa Mahallat Nashr Kabupaten Al- Buhairah, Mesir, pada tahun 1849 M.
mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tanta belakangan tempat ini
menjadi pusat kebudayaan selain al-Azhar. Setelah 2 tahun disana, ia memutuskan
untuk kembali kedesanya dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya.
Pada saat umur 16 tahun, ia dikawinkan. Atas dorongan dan bimbingan pamannya,
Syekh Darwis, akhirnya ia menyelesaikan studinya. Kemudian ia melanjutkan studi
di Al-Azhar pada bulan Februari 1866 dan selesai pada tahun 1877 dengan gelar Alim,
Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan dirumahnya sendiri. Pada
tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu
dipegangnya sampai ia meninggal dunia.[1] Beliau wafat pada tanggal 11 juli 1905 di
Alexandria. Setelah banyak mewarisi peninggalan berharga bagi
generasi selanjutnya. Pembaharuan dalam pemikiran keislaman serta perbaikan
dibidang politik dan ekonomi.
2.
Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh[2]
a) Kedudukan
akal dan fungsi wahyu
Ada dua pendapat persoalan pokok yang menjadi fokus utama
pemikiran
Abduh, yaitu :
Abduh, yaitu :
-
Membebaskan akal pikiran dari
belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama yakni
dengan memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an.
-
Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik
yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam
tulisan-tulisan di media masa.
b) Kebebasan
manusia dan fatalisme
Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga
mempumyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam
diri manusia, namun tidak mempunyai kebebasan absolut.
c) Sifat-sifat
Tuhan
Harun Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat
bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.
d) Kehendak
mutlak Tuhan. Tuhan tidak bersifat mutlak.
e) Keadilan
Tuhan
Sifat ketidak adilan Tuhan tidak dapat diberikan kepada
Tuhan karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan alam semesta.
f) Antrofomorfisme
Tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau ruh makhluk di alam ini.
Tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau ruh makhluk di alam ini.
g) Melihat
Tuhan
Kesanggupan melihat Tuhan hanya dianugerahkan kepada
orang-orang tertentu di akhirat.
h) Perbuatan
Tuhan
Wajib bagi Tuhan untuk berbuat yang terbaik bagi manusia.
b.
Sayyid Ahmad Khan
1.
Riwayat Singkat Sayyid Ahmad Khan
Sayyid
Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan, ia berasal
dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Melalui Fatimah dan Ali.
Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II
(1754-1759). Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid. Pada tahun 1878 ia
juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di
Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk
memajukan umat Islam India.
2.
Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Sayyid
Ahmad Khan memiliki kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesir-setelah
Abduh berpisah dengan Jamaludin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal
ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal
yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai
penganut ajaran Islam yang taat dan percaya akan kebenaran wahyu, ia
berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.
Ia
mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya manusia telah
dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, diantarnya adalah daya berpikir berupa
akal, dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya.
Sejalan
dengan faham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham taklid. Sebagai
konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, Khan memandang perlu diadakannya
ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan
situai dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
Dapat
disimpulkan pemikiran-pemikiran kalam Sayyid Ahmad Khan, antara lain:
1. Kedudukan
Akal
Akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.
2. Kebebasan
Manusia
Manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan
perbuatan.
3. Sayyid
Ahmad Khan menolak adanya taklid percaya adanya hukum alam.
c.
Muhammad Iqbal
1.
Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad
Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Ia berasal dari keluarga kasta Brahmana
Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Pada tahun 1895 ia pergi ke Lahore,
salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni.
Di kota ini ia bergabung dengan perhimpunan sastrawan yang sering diundang
musyara'ah, yakni pertemuan - pertemuan di mana para penyair membacakan sajak -
sajaknya. Ini merupakan tradisi yang masih berkembang di Pakistan dan India
hingga kini. Di kota Lahore ini, sambil melanjutkan pendidikan sarjananya ia
mengajar filsafat di Government College. Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh gelar
B.A., kemudian ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada saat
itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold orientalis Inggris yang terkenal
yang mengajarkan filsafat Islam di College tersebut. Antara keduanya terjalin
kedekatan melebihi hubungan guru dan murid, sebagaimana tertuang dalam sajaknya
Bang-I Dara.
Dengan dorongan dan dukungan dari Arnold, Iqbal menjadi
terkenal sebagai salah satu pengajar yang berbakat dan penyair di Lahore.
Sajak-sajaknya banyak diminati orang. Pada tahun 1905, ia belajar di Cambridge
pada R.A. Nicholson, seorang spesialis dalam sufisme, dan seorang Neo-Hegelian,
yaitu Jhon M.E.McTaggart. Iqbal kemudian belajar di Heidilberg dan Munich. Di
Munich ia menyelesaikan doktornya pada tahun 1908 dengan disertasi, The
Development of Metaphysics in Persia.( disertasi ini kemudian diterbitkan di
London dalam bentuk buku, dan dihadiahkan Iqbal kepada gurunya, Sir Thomas
Arnold ).
Setelah mendapatkan gelar doktor, ia kembali ke London untuk
belajar di bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di
Universitas London. Selama di Eropa Iqbal tidak pernah bosan menemui para
ilmuwan untuk mengadakan berbagai perbincangan tentang persoalan-persoalan
keilmuan dan kefilsafatan. Ia juga memperbincangkan Islam dan peradabannya. Di
samping itu Iqbal memberikan ceramah dan berbagai kesempatan tentang Islam. Isi
ceramahnya tersebut dipublikasikan dalam berbagai penerbitan surat kabar.
Ternyata setelah menyaksikan langsung dan mengkaji kebudayaan Barat, ia tidak
terpesona oleh gemerlapan dan daya pikat kebudayaan tersebut. Iqbal tetap
concern pada budaya dan kepercayaannya.
Karya - karya Muhammad Iqbal : Asrar-i
Khudi (Rahasia Pribadi, 1915), Bang-i Dara (Seruan dari Perjalanan, 1924), The
Recunstruction of Relegious Thought in Islam, 1930), Payam-i Masyriq (Pesan
dari Timur, 1923) dan lain-lain.[3]
Pada
tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia
pada tahun itu pula, dan ia meninggal pada tanggal 20 April 1935.
2.
Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Dibandingkan
sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih terkenal sebagai seorang
filosof eksistensialisme. Sebagai seorang pembaharu, iqbal pun menyadari
perlunya umat Islam untuk melakukan pembaharuan agar keluar dari kemundurannya.
Katanya, kemunduran umat Islam disebabkan kebekuan umat Islam dalam pemikiran
dan ditutupnya pintu ijtihad. Hal inilah yang dianggapnya sebagai penyimpangan
dari semangta Islam, semangat dinamis dan kreatif. Lebih jauh ia menegaskan
bahwa syariat pada prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat untuk
merespon kebutuhan indiviu dan masyarakat karena Oslam selalu mendorong
terwujudnya perkembangan.
Islam
dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam bersifat
statis. Islam, katanya mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak
perubahan dalam kehidupan social manusia. Oleh karena itu, manusia dengan
kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan
Iqbal terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis tentang
Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunkannya Al-Qur’an, menurutnya adalah
membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan
nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan dengan kemampuan
nalar manusia dan dinamika masyarakat yang selalu berubah inilah yang dalam
rumusan fiqih disebut ijtihad.
Ijtihad
disebut oleh Iqbal sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam. Oleh
karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan
serta kejumudan hukum Islam. Ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif.
a)
Hakikat Teologi
Secara
umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimana, mendasarkan pada
esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa yang
bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebas merdekaan”.
b)
Pembuktian Tuhan
Dalam pembuktian eksistensi Tuhan, Iqbal menolak argument kosmologis
maupun ontologis. Ia juga menolak argument teleologis yang
berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah
luar. Walaupun demikian, ia menerima landasan teleologis yang imanen
(tetap ada). Jadi, Iqbal telah menafsirkan Tuhan yang imanen bagi alam.
c)
Jati Diri Manusia
Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan
mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya,
seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukan jiwa sehingga fana dengan
Allah.
d)
Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa
Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat
kreatif. Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh risiko ini,
menunjukkan kepercayaan-Nya yang besar kepada manusia. Maka kewajiban manusia
adalah membenarkan adanya kepercayaan ini. Namun, pengakuan terhadap
kemandirian (manusia) itu melibatkan pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan
yang timbul dari keterbatasan kemandirian itu.
e)
Surga dan Neraka
Surga dan neraka, adalah keadaan, bukan tempat. Neraka, menurut
rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah yang menyala-nyala dan membumbung keatas
hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah
kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan yang
menuju kepada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam Islam. Neraka,
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi
yang disediakan Tuhan. Ia adalah pengalaman korektif yang dapat memperkeras ego
sekali lagi agar lebih sensitive terhadap tiupan angin sejuk dari kemahamurahan
Allah. Surga juga bahkan bukan merupakan tempat berlibur. Kehidupan itu hanya
satu dan berkesinambungan.
B.
ILMU KALAM MASA KINI
a.
Ismail Al-Faruqi
1.
Riwayat Singkat Ismail Al-Faruqi
Ismail
Raji Al-Faruqi, lahir pada tanggal 1 Januari 1921 di Jaffa Palestina. Pada
tahun 1941, Al-Faruqi mengambil kuliah filsafat di American University, Beirut.
Setelah tamat dan meraih gelar Bachelor of Arts, ia kemudian bekerja sebagai
pegawai negeri sipil pada pemerintahan Inggris- yang memegang mandate atas
Palestina ketika itu-selama empat tahun. Karena kepemimpinannya menonjol, pada
usia 24 tahun, ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.
Pada
tahun 1949, Faruqi hijrah ke AS untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar
master filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian, gelar master filsafat
kembali ia raih dari Universitas Harvard.
Kesempatan
untuk menjadi kaya semakin terbuka baginya. Akan tetapi, hasrat dan bakat
bisnis itu ditepisnya. Faruqi memilih kembali ke Universitas Indiana, dan pada
tahun 1952 meraih Ph. D filsafat dengan disertasi berjudul On Justifiying
the God: Metaphysics and Epistemology of Value.
Merasa
kurang pengetahuannya mengenai Islam, walaupun sudah bergelar doctor, Faruqi
lalu pergi ke Mesir. Selama tiga tahun, ia menyelesaikan pascasarjana di
Universitas Al-Azhar. Selama 2 tahun (1959-1961) ia mengajar dan juga
mempelajari etika Yahudi dan Kristen di Universitas McGill, Canada.
Pada
tahun 1964, Faruqi kembali ke AS. Pertama-tama yang dia kerjakan adalah menjadi
guru besar tamu pada Universitas Chicago dan Associate Profesor bidang agama
pada Univesrsitas Syracuse. Lalu pada tahun 1968, hingga wafatnya, ia
menjabat guru besar agama pada Universitas Temple. Bersamaan itu juga ia
menjabat sebagai professor studi keislaman pada Central Institute of Islamic
Research, Karachi.
Faruqi
tergolong pengajar yang humoris dan memiliki banyak cara untuk muridnya tidak
merasa jenuh. Kuliah-kuliahnya mengenai Islam menjadikan iman dan sejarah Islam
sebagai sesuatu yang hidup dikelas.
Sayyed
Hussein Nasr, sarjana muslim yang juga mengajar diberbagai universitas di AS,
menyebutnya sebagai “Sarjana muslim pertama yang mendedikasikan sepanjang
hayatnya pada studi-studi Islam di AS dan menjadikan AS sebagai kediaman
terakhirnya.”
Keaktifan
Faruqi diberbagai kelompok studi Islam dan keterlibatannya dalam
gerakan-gerakan Islam amat menonjol. Ia adalah tokoh dibalik pembentukan MSA,
ISNA, AJISS, AMSS, IIIT, dan banyak lagi lembaga keislaman di AS.
Faruqi
juga duduk sebagai penasihat diberbagai unversitas di dunia Islam dan ikut mendesain
program studi Islam di Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Libya, Saudi
Arabia, dan Mesir. Juga di tempat-tempat terpencil Mindanao State
University, Filipina dan Universitas Islam Kum, Teheran.
Dia
menjadi dewan editorial pada sejumlah jurnal, menulis lebih dari 100 artikel
diberbagai jurnal ilmiah, disamping mengarag dua puluh lima judul buku. Adapun
The Cultural Atlas of Islam adalah salah satu karyanya yang merupakan hasil
kerjasama dengan Prof. Lamya, istrinya.
2.
Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi
Pemikiran
kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tauhid. Dalam
karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa syahadat menempati posisi sentral
dalam kehidupan manusia baik dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran
setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran,
dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir. Dalam menyoroti tentang
tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas,
yakni: pertama, menentang etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah
universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk
segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi
seluruh ummat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia.
Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiatan
hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan
tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa
dan tempat. Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretivitas manusia,
tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap
bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang
diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
Pemikiran
Al-Faruqi tentang kalam dapat ditelusuri melalui karyanya yang berjudul, Tahwid:
Its Implications for Thought and Life (Edisi Indonesianya berjudul Tauhid).
Al-Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut:
a)
Tauhid sebagai inti pengalaman agama
b)
Tauhid sebagai pandangan dunia
c)
Tauhid sebagai intisari Islam
d)
Tauhid sebagai prinsip sejarah
e)
Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
f)
Tauhid sebagai prinsip metafisika
g)
Tauhid sebagai prinsip etika
h)
Tauhid sebagai prinsip tata sosial
i)
Tauhid sebagai prinsip ummah
j)
Tauhid sebagai prinsip keluarga
k)
Tauhid sebagai prinsip tata politik
l)
Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
m)
Tauhid sebagai prinsip estetika
b.
Hasan Hanafi
1.
Riwayat Singkat Hasan Hanafi
Hanafi
dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1035 di Kairo. Ia berasal dari keluarga
musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan
tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha,
Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa di Tsanawiyah, ia aktif mengikuti
diskusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin. Oleh karena itu, sejak kecil ia telah
mengetahui pemikiran yang dikembangkan kelompok itu dan aktivitas sosialnya.
Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan
social dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama,
revolusi, dan perubahan social.
Dari
sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami)
merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri
Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini
telah menformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana
seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia.
2.
Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a)
Kritik terhadap teologi tradisional
-
Teologi tradisional tidak dapat
menjadi sebuah pandangan yang benar–benar hidup, dan memberi motivasi tindakan
dalam kehidupan konkret ummat manusia.
-
Kegagalan para teolog tradisional
disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia.
b)
Rekonstruksi teologi
-
Tujuan rekontruksi teologi Hanafi
adalah menjadikan teologi menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial yang
menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi manusia.
c.
H.M. Rasyidi
1.
Sekilas tentang H.M. Rasyidi
Dalam
konteks pertumbuhan kajian akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit
mengesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lulusan lembaga pendidikan
tinggi Islam di Mesir yang melanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh
pengalaman mengajar di Kanada. Lepas dari retorika-retorika anti baratnya,
orang tak akan luput mendapati bahwa hamper keseluruhan konstruksi akademiknya
dibangun atas dasar unsure-unsur yang ia dapatkan dari Barat. Tegasnya kaum
orientalis darpada lainnya. Ia daalah intelektual Indonesia yang paling banyak
memperoleh tidak hanya perkenalan, tetapi juga penyerapan ramuan-ramuan
intelektual dari gudang orientalisme. Dialah yang berpengaruh dalam usaha
mengirimkan para lulusan IAIN atau sarjana lainnya ke Montreal sehingga banyak
orang yang benar-benar harus berterimakasih kepadanya. Dan apa yang telah
dirintisnya itu kemudian diteruskan dalam skala yang lebih besar dan penuh
harapan oleh Munawir Sjadzali.[4]
H.
Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 - 30 Januari 2001) adalah
mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir
II.Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne,
Paris (Doktor, 1956) Guru pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren
Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor
Rabitah Alam Islami, Jakarta Karya Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution
tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi
Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan
Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy,
Bulan Bintang, 1982.[5]
2.
Pemikiran Kalam H.M. Rasyidi
Pemikiran
kalam Rasjidi dapat ditelusuri dari kritikan-kritikan yang dialamatkan kepada
Harun Nasution dan Nurcholis Madjid. Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda
dari beberapa tokoh seangkatannya. Tentang Ilmu kalam, ia membedakannya dengan
teologi. Menurutnya teologi berarti ilmu ketuhanan yang kemudian
mengandung beberapa aspek ajaran Kristen yang diluar kepercayaan sehingga
teologi kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu Kalam. Tentang akal, beliau
berpendapat bahwa akal tidak mampu mengatahui baik dan buruk, hal ini dapat dibuktikan
dengan munculnya aliran eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran
rasionalisme dalam filsafat barat. Dengan menganggap akal dapat mengetahui baik
dan buruk berarti juga meremehkan ayat-ayat al Qur’an. Pemikiran H.M Rasydi ini
sedikit banyaknya mengarah kepada pemikiran Al Maturdiyah yang banyak dianut di
Indonesia.
Secara
garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut.
a)
Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi
Tentang
perbedaan ilmu kalam dan teologi Ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi
adalah ilmu kalam Kristen Kata teologi kemudian mengandung beberapa aspek agama
Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen
tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.
b)
Tema-tema ilmu kalam
Deskripsi aliran-aliran kalam yang
sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di
Indonesia. Menonjolkan perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah akan
melemahkan iman para mahasiswa.
c)
Hakikat iman
Iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan,
tetapi dapat dilihat dalam dimensi kontekstual atau hubungan manusia dengan
manusia, yaitu hidup dalam masyarakat.
d.
Harun Nasution
1.
Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun
Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada hari Selasa 23
September 1919. Ayahnya Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui
kitab-kitab Jawi. Pendidikan formalnya dimulai di sekolah Belanda HIS
(Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun 1937,
lulus dari Moderne Islamietische Kweekschool. Ia melanjutkan pendidikan di
Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih gelar
sarjana muda di American University of Cairo.Harun Nasution menjadi pegawai
Deplu RI di Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar doktor di
Universitas McGill di Kanada pada tahun 1968. Selanjutnya, pada 1969 menjadi
rektor di IAIN Syarif Hidayatullah dan UNJ. Pada tahun 1973, menjabat sebagai
rektor IAIN Syarif Hidayatullah. Harun Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998
di Jakarta. Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang memuji aliran Muktazilah
(rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam kehidupan beragama. Dalam
ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim Indonesia berpikir secara
rasional. Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka.
Ketika ramai dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun
Nasution dikenal sebagai tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan
pembentukan wadah musyawarah antar agama, yang bertujuan untuk menghilangkan
rasa saling curiga. Beberapa buku
yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain : Akal dan Wahyu dalam
Islam (1981), Filsafat Agama (1973), Islam Rasional (1995) dan Sejarah
Pemikiran dan Gerakan (1975).
2.
Pemikiran Kalam Harun Nasution
a)
Peranan akal
Secara
garis besar pemikiran Harun Nasution mengarah kepada pemikiran Muktazillah yang
menunut kepada peranan akal dalam kehidupan manusia. Berkenaan dengan akal ini,
Harun Nasution menulis demikian “Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena
akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain
sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya
untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah
rendah pulalah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut”.[6]
Hal ini dasarkan ada kenyataan bahwa Islam memberikan kedudukan yang
tinggi terhadap peranan akal dalam kehiduapn manusia untuk perkembangan ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan keagamaan Islam.
b)
Pembaharuan teologi
Menurut
Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi mereka menuju teologi
yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori
modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik
sendiri yakni teologi Mu’tazilah.
c)
Hubungan akal dan wahyu
Salah
satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia
menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi
keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung
segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Akal
tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai
untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi
interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi
interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya
bukan akal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan
penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya
dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan sebagai berikut:
a.
Pemikiran kalam ulama modern ini muncul karena pada masa itu umat
islam digambarkan sebagai masyarakat yang beku , kaku, menutup rpat-rapat pintu
ijtihad dan mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah. Karena
mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup
dalam masa kebekuan akal (jumud) serta berdasarkan khurafat-khurafat. Adapun
pemikiran kalam ulama modern disini diantaranya:
1.
Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Begitu besarnya peranan
yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad
Abduh member kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada Mu’tazilah.
Sedangkan wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan
dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
2.
Sayyid Ahmad Khan
Sayyid
Ahmad Khan juga mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh terutama
tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalampandangannya. Meskipun
demikian sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan percaya akan kebenaran
wahyu, ia berpendapat bahwa akal bukanlah segalnya dan kekuatan akal pun terbatas.
Ia menentang keras terhadap faham taklid. Sebagai konsekuensinya, ia memandang
perlu diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan
ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa
mengalami perubahan.
3.
Muhammad Iqbal
Ijtihad dalam perspektif Iqbal disebut sebagai prinsip gerak dalam
struktur Islam. Menurutnya, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan
membuang kekakuan serta kejumudan hukum Islam. Ijtihad harus dialihkan menjadi
ijtihad kolektif. Dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan
mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
b.
Ilmu kalam masa kini
1.
Ismail Al-Faruqi
Pemikiran
Al-Faruqi tentang kalam melalui karyanya yang berjudul : Its Implications
for Thought and Life (Edisi Indonesianya berjudul Tauhid yang mengupas
hakikat tauhid secara mendalam. Diantaranya yaitu: tauhid sebagai inti
pengalaman agama, tauhid seabagai pandangan dunia, tauhid sebagai intisari
Islam dan lain sebagainya.
2.
Hasan Hanafi
-
Kritik terhadap teologi tradisional yaitu Dalam gagasannya tentang
rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi
perangkat konseptual system kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan
konteks-politik yang terjadi.
-
Hanafi juga menwarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori
ilmu dalam teologi Islam yaitu: analisis bahasa dan analisis realitas.
3.
H.M. Rasyidi
-
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian
ilmu kalam dan teologi. Menurutnya teologi dalam Kristen tidak sama dengan
tauhid atau ilmu kalam. Dia juga mengkritik salah satu tema-tema ilmu kalam
Harun Nasution. Dia berpendapat bahwa menonjolkan perbedaan pendapat anatara
Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan
melemahkan iman para mahasiswa. Karena pemikiran kalam Harun Nasution terlalu
mengagung-agungkan akal sehingga menganggap remeh ayat-ayat Al-Qur’an.
-
Menurutnya iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan
Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia
dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat.
4.
Harun Nasution.
-
Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian “Akal
melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan
untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal
manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain.
Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupannya
menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut”.
-
Hubungan akal dan wahyu: Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung
segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dari
keempat pemikiran sebagaimana disebutkan diatas setidaknya dapat kita pahami
bahwa masing masing tokoh memang tidak dapat terlepaskan dari pemikiran kalam
dimasa lalu. HM. Rasyidi misalnya pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran
Ahlusunnah wal Jamaah atau al Maturidiytah yang dibangun oleh al Imam Asy’ari
dan al Maturdi. Demikian juga dengan Harun Nasution dan Hasan Hanafi yang
pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Muktazilah dan Qadariyah yang
lebih menekankan peranan akal dalam menghadapi realita takdir atau nasib dalam
kehidupan di dunia ini.
B.
SARAN
Demikian
pembahasan makalah yang penulis uraikan. Saran dan kritik yang membangun sangat
penulis harapkan demi terciptanya pengetahuan-pengetahuan baru khususnya
mengenai ilmu kalam. Sekian dan terimakasih.
WALLAHU
A’LAM……
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon
Anwar, dan Drs Abdul Rozak, 2003, Ilmu Kalam, Bandung:Pustaka
Setia.
Nurcholis Madjid, 1997, Kaki
Langit Peradaban Islam, Paramadina:Jakarta.
KH.
Sirajudin Abbas, 1978, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, Jakarta:Pustaka
Tarbiyah.
Harun
Nasution, 1983, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI
Press:Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Nasution
http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Raji_Al-Faruqi#Masa_muda
http://id.wikipedia.org/wiki/HM Rasjidi.
mohon izin di cpy sebagai tambahan di materi tugas final saya
BalasHapus