BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling
mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu
saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan itulah lazim dikenal dengan istilah epistemologis.
Lebih
lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu
pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia
membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui
cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan
hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada
kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistemologis, akan sangat
berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Sejarah
telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan
dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasan itu mulai
melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. Hal itu terjadi, karena
Islam dalam kajian pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa aliran
besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada
tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani yang
masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan.
Selain
sebagai instrumen untuk mencari kebenaran, ketiga epistemologi tersebut juga
bisa digunakan sebagai sarana identifikasi cara berfikir seseorang. Seorang
filosof dengan corak berfikir burhani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu
dari akal atau panca indera. Dengan kedua sarana ini manusia memunculkan dua
dikotomi antara apa yang disebut rasional dan irrasional. Rasional adalah
sebuah kebenaran, sebaliknya irrasional adalah sebuah kesalahan. Selanjutnya
orang yang memiliki corak berfikir bayani akan menjawab bahwa sumber kebenaran
itu dari teks. Rasio tidak memiliki tempat dalam pembacaan mereka terhadap
kebenaran. Ketercukupan golongan ini terhadap teks memasukkan mereka pada
golongan fundamental literalis. Sedangkan orang yang memiliki corak berfikir
irfani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari wahyu, ilham, wangsit dan
sejenisnya. Pola berfikir demikian akan membangun sebuah struktur masyarakat
yang memiliki hirarki atas bawah. Untuk lebih memahami mengenai bayani, Burhani
dan Irfani penulis akan menjelaskannya dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
definisi epistemologi byani, burhani dan irfani?
2.
Bagaimana
metode berfikir bayani, burhani dan irfani?
3.
Apakah
keunggulan dan kelemahan metode berfikir bayani, burhani dan irfani?
C.
Tujuan
penulisan
1.
Mengerti
apa itu epistemologi bayani, burhani dan irfani
2.
Mengetahui
metode berpikir bayani dan burhani
3.
Memahami
keunggulan dan kelemahan metode berpikir bayani, burhani dan irfani.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Epistemologi
Secara
etimologi kata epistemologi berasal dari bahasa yunani yaitu episteme dan
logos. Episteme berarti pengetahuan sedangkan logos berarti teori, uraian, atau
alasan. Jadi epistemologi adalah sebuah teori tentang pengetahuan.
Epistemologi
secara sederhana dapat di definisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji
asal mula, stuktur, metode pengetahuan.
Oleh
karena itu, epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah:
a)
Filsafat,
sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
b)
Metode,
memliliki tujuan untuk mengantarkan manusia mencapai pengetahuan.
c)
Sistem,
bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Epistemologi
atau filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya secara
rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam
interaksinya dengan diri, interaksi dengan lingkungan sosial, dan juga
interaksinya dengam alam sekitarnya. Oleh karena itu, epistemologi juga disebut
sebagai suatu disiplin yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Evaluatif
berarti menilai. Ia menilai apakah suatu kenyakinan, sikap, pernyataan
pendapat, dan teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau
memiliki dasar yang dapat dipertanggung jawabkan secara nalar. Normatif
berarti menentukan norma atau tolak ukur. Dalam hal ini adalah tolak ukur
kenalaran bagi kebenaran pengetahuan.
Mukti
ali menyatakan dalam mempelajari dan memahami islam ada 3 cara yang jelas yakni
, naqli (bayani), aqli (rasional/burhani), dan kasfy (mistik/irfani).
Selanjutnya penulis akan menerangkan apa yang dimaksud 3 cara untuk memahami
islam tersebut.[1]
B.
Bayani
a)
Definisi
bayani
Secara
etimologi, bayani mempunyai arti penjelasan, keterangan, ketetapan, data,
keterangan.[2]
Adapun
secara terminologi al-bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu
atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada
kondisi jelas.
Sedangkan
dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan
sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks
sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab.
Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
b)
Metode
berfikir bayani.
Bayani
adalah metode pemikiran khas arab yang didasarkan atas otoritas teks (النص), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan nya tanpa
perlu pemikiran, secara langsung maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan
mentah sehingga memerlukan tafsir dan penalaran. Sumber pengetahuan bayani
adalah al-qur’an dan hadis. Karena itulah, epistemologi bayani menaruh
perhatian besar dan teliti terhadap transmisi teks dari generasi ke genarasi.
Ini penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan benar tidak nya
transmisi teks menetukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil.[3]
Untuk
mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua cara yaitu:
A.
Berpegang
pada redaksi (lapazh teks (dengan menggunakan kaidah bahasa
Arab sebagai alat analisa. Syafi’i mengklasifikasi dan menetapkan aspek bayan
dalam wacana Al-Qur’an dan membaginya menjadi 4, yaitu:
a.
Teks
yang tidak membutuhkan ta’wil karena telah jelas dengan sendirinya.
b.
Teks
yang membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan.
c.
Teks
yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan teks tersebut dijelaskan oleh nabi.
d.
Teks
yang tidak disebut dalam Al-Qura’an namun di jelaskan oleh nabi sehingga
memiliki kekuatan seperti Al-Qur’an.[4]
B.
Menggunakan
metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.
Dalam kaidah ushul fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan
hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya
dalam teks, karena adanya kesamaan illah.
Ada beberapa
hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu:
1)
Adanya
al ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran.
Dinamakan juga Muqoyas-alaih, mahmul-alaih, musyabbah-bih.[5]
3)
Hukum
al-ashl yaitu ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl untuk di jadikan
hukum far’.
4)
Illah
yaitu menyifatkan sesuatu kepada dasar, dan diatasnya di di bina hukum nya, dan
dengan nya itu di ketahui adanya hukum pada far’[7].
Contoh
qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma
disebut far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan
ia akan diqiyaskan pada khamr. Khamr adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam
teks (nash) dan hukumnya haram[8],
alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya arak adalah haram karena
ada persamaan antara arak dan khamr yakni sama-sama memabukkan.
Karena
otoritas ada pada teks dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks,
sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika
berhadapan, nalar bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis.
c)
Pendekatan
Bayani
Pendekatan
bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun.
Bayani adalah pendekatan untuk :
1.
Memahami
atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung
dalam (atau dikendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan
untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula.
2.
Istinbat
hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.
C.
Burhani
a)
Definisi
burhani
Burhani
merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau
menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan
adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang
benar dari yang salah melalui penjelasan.
Epistemologi
burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan
berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk
mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.
b)
Metode
berfikir burhani.
Dalam
bahasa arab, Al-Burhan berarti argument (al-hujjah) yang dalam bahasa inggris demonstration
yang berarti keterangan dan penjelasan. Dalam perspektif logika, burhani adalah
aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu pengetahuan melalui metode
penyimpulan.
Istilah
burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat aristoteles ini, digunakan
oleh al jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pemikiran yang
menggunakan pemikiran tersendiri dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa
bersandar kepada otoritas pengetahuan lain. Metode burhani lebih bersandar pada
kekuatan indra, pengalaman, dan akal di dalam mencapai pengetahuan.
Epistemologi
burhani digunakan untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu dengan berdasarkan
komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks
wahyu suci. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan
empiris; alam, sosial, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil
penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di laboratorium maupun di
alam nyata baik yang bersifat sosial maupun alam.
c)
Aliran
Pemikiran Epistemologi Burhani (Rasional)
Perbedaan
yang mencolok antara aliran rasional dengan aliran konservatif adalah
menyangkut cara pandang yang digunakan oleh keduanya dalam memperbincangkan
masalah wacana pendidikan. Aliran rasional menggunakan analisis rasional-
filosofis secara signifikan, tidak sepertihalnya aliran konservatif yang
cenderung normatif oriented. Keberhasilan
usaha mentrasnformasikan ragam potensi yang ada dalam aliran rasional ini,
sangat ditentukan oleh seberapa besar optimalisasi fungsi daya-daya inderawi
dan rasio. Aliran ini meyakini bahwa daya-daya inderawi dan rasio itulah yang
bisa menjadikan seseorang mempunyai pengetahuan realitas di sekeliling dan
kemampuan mengabstraksikannya sehingga dapat menuntunnya untuk sampai pada pengetahuan/pemahaman
kebenaran (al-ma’rifat). Menurut
al-Jabiri ada beberapa tokoh yng menerapkan dasar-dasar episteme burhani
diantaranya: Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, dan Al-Razi.
Ibnu
Rusyd membagi jalan untuk mencapai pengetahuan dalam dua bagian, indera dan
rasio. Namun, pengetahuan yang dihasilkan oleh rasio yang bisa dianggap sebagai
pengetahuan sejati, sedang pengetahuan hasil indera tidak mencapai derajat
tersebut. Sebab, pengetahuan yang diperoleh lewat indera masih bisa tertipu
oleh bayangan objek kajiannya sendiri. Pengetahuan model ini masih merupakan
persepsi individual dan sangat subjektif.
Selanjutnya,
Ibnu Rusyd membagi akal dalam dua bagian,; praktis dan teoritis. Akal praktis
ini lazim dimiliki semua orang, karena akal ini bisa diperoleh lewat pengalaman
yang didasarkan perasaan dan imajinasi. Sehingga akal ini tidak stabil, mudah
berubah, berkembang, atau menyusut berdasarkan pengalaman, imajinasi, gambaran,
dan persepsi yang diterima. Sedangkan akal teoritis berkaitan dengan proses
perolehan pengetahuan. Dalam hal ini akal mempunyai tiga tahapan kerja, (1)
abstraksi, (2) kombinasi, dan (3) penilaian.
1)
Abstraksi
adalah proses penggambaran atau pencerapan gagasan universal atas objek-objek
yang ditangkap indera.
2)
Yang
dimaksud dengan kombinasi di sini bahwa akal mengkombinasikan dua atau lebih
dari abstraksi-abstraksi indera sehingga menjadi konsep.
3)
Kemudian
penilaian diberikan ketika konsep-konsep yang dihasilkan
harus dihadapkan pada proposisi-proposisi benar atau salah.
Namun,
dengan pengunggulan rasio seperti yang Ibn Rusyd lakukan disinyalir telah
memunculkan sisi kelemahan berupa pertumpuan pada penalaran rasional murni dalam
mengkaji realitas materiil-kealaman sehingga kurang bertumpu pada pengamatan
dan eksperimentasi dalam menghasilkan “teori-teori” umum fenomena
materiil-kealaman. Sebab, di sini akal (rasio) dianggap mempunyai kemampuan
alamiah bawaan dalam menetapkan benar-salahnya fenomena empiris. Kemampuan ini
tidak berpangkal dari indera, tetapi ia muncul dari akal itu sendiri. Oleh
karena itu, tidak mengherankan bila konstruksi pemikiran/pengetahuan lebih didasarkan
pada model penalaran deduktif-rasional dari pada model penalaran
induktif-empiris.
Kemudian
ibnu khaldun juga termasuk dalam ilmuan muslim yang mengimani episteme burhani
dalam hal ini seperti apa yang ada dalam Al-Muqodimah buku karangan Ibnu
Khaldun, menurut Al-Jabiri menjelaskan bahwasanya Ibnu Khaldun juga menggunakan
Episteme Burhani yaitu melalui pendekatan Deduktif, langkah awal ibnu khaldun
menyingkap sejumlah tabir para pendahulu, kemudian ia menganalisis satu
peristiwa ke peristiwa berikutnya dalam setiap babnya dengan tidak lupa menarik
kesimpulan dan pelajaran dari setiap kasus dan peristiwa itu, dengan demikian
jelaslah bahwasanya Ibn Khaldun berusaha menjadikan sejarah sebagai ilmu
Burhani, yaitu Sejarah ilmiah yang berintikan penelitian, penyelidikan, dan
analisis, yang mendalam akan sebab sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu
dengan pasti dan real ( nyata ) dapat di buktikan secara empiris.[9]
Selanjutnya
yang juga berpendapat epistemologi burhani adalah yang paling mendekati
kebenaran adalah imam Al-Razi . Beliau adalah seorang rasionalis murni, hal itu
tampak dalam pendahuluan karyanya, al-thibb al-ruhani, ia menulis: ”Tuhan,
segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat
memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita.
Dengan akal, kita melihat segala yang berguna bagi kita dan yang mebuat hidup
kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang
tersembunyi dari kita. Dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan
tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh. Jika akal
sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak
boleh menetukan nya, sebab ia adalah penentu, atau mengendalikannya, sebab ia
adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah, tetapi kita
harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah
dengannya; kita harus sesuai dengan perintannya.[10]
Dalam
menelaah epistemologi burhani tidak akan terlepas dari dua metodologi
sebelumnya, Yaitu epistemologi bayani dan irfani. Dari perpaduan ini muncul
nalar aduktif yakni mencoba memadukan model berfikir deduktif dan induktif
antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual terhadap nash dan hasil hasil
penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmu Islam yang lengkap (komprehensif),
luar biasa dan kevalidan nya tidak diragukan.
d)
Pendekatan
Burhani
Rasionalitas
syari’ah dibangun atas dasar maksud dan tujuan yang diberikan sang pembuat
syari’ah, dan akhirnya bermuara pada upaya membawa manusia kepada nilai-nilai
kebijakan. Bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan maqashid al-syari’ah sebanding
dengan gagasan hukum kausalitas dialam ini dalam disiplin filsafat. Rasionalitas
filsafat dibangun atas landasan keteraturan alam ini, dan juga pada landasan
prinsip kausalitas.[11]
Pandangan
yang berpegang pada maqashid alsyari’ah sebagai acuan membangun rasionalisme menjadi
karakteristik dari pemikiran islam Andalusia. Hal ini diawali oleh Ibn Hazm
yang kemudian dimatangkan oleh Ibn Rusyd, kemudian dilanjutkan as-syatibi. As-Syatibi
menyatakan membangun dimensi rasionalisme dalam disiplin syari’ah atas dasar prinsip
qath’i dengan mengacu pada metode rasionalisme atau burhani, sehingga disiplin
ushul fiqh pun didasarkan pada prinsip kulliyyah assyari’ah (ajaran-ajaran
universal dari syari’ah) dan pada prinsip maqasid syariah. Prinsip kulliyyah
assyariah berposisi sebagaimana halnya dengan posisi al-kulliyyah al-aqliyyah
(prinsip-prinsip universal) dalam filsafat. Sementara maqhasid assyariah serupa
dengan posisi al-sabab al-ga’iy (sebab akhir) yang berpungsi sebagai
unsur-unsur pembentuk penalaran rasional.
Menurut
Al-Razi, semua pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia
menjadi manusia. Akal yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya
alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik
dan buruk setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong,
dugaaan belaka dan kebohongan.
Hal
yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Rusyd (1126-1198 M) ketika secara jelas
menyatakan bahwa metode burhani (demonstrative) untuk kalangan elite
terpelajar, metode dialektika (jadal) untuk kalangan menengah dan metode
retorik (khithabi) untuk kalangan awam.
D.
Irfani
a)
Definisi
Irfani
Irfani
merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ع-
ر-ف memiliki
dua makna asli, yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan
bermakna diam dan tenang. Namun secara harfiyah al-‘irfa adalah mengetahui
sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan
lebih khusus dari pada al-‘ilm.
Secara
termenologi, irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat
penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadhah.
b)
Metode
berfikir` irfani
Pengetahuan
irfani didasarkan pada kasyf atau tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan. Karena itu pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks
dan logika tetapi dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati diharapkan
Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran,
dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian
pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui 3 tahap yaitu: Persiapan,
Penerimaan dan Pengungkapan dengan lisan atau tulisan.
1.
Tahap
pertama persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan, seseorang harus
menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh
tahapan (maqamat) yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak.
a.
Taubat.
Dalam hal ini Dzu al-Nun Al-Misri mengatakan:
توبة
العوام من الذنوب و توبة الخواص من الغفلة.
Taubat nya orang-orang awam adalah bertubat dari dosa, sedangkan taubatnya orang
khowas (mencapai ketinggian jiwa) adalah bertaubat dari lalai mengingat tuhan.[12]
b.
Wara’:
menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat.
Ibrahim bin adham mengatakan:
الورع ترك كل شبهة وترك ما لا يعنيك وهو ترك الفضلات.
“Wara’ adalah meninggalkan setiap yang
berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan
berbagai macam kesenangan.[13]
Yahya ibn ma’az mengatakan:
الورع عل وجهين ورع في الظاهر وهو أن لا يتحرك إلا لله
تعالى وورع في الباطن وهو أن لا يدخل قلبك سواه تعالى.
“Wara’ itu 2 tingkat, wara’ segi lahir
yaitu hendaklah kamuu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah pada allah, dan
wara’ batin yakni agar tidak masuk dalam hatimu terkecuali allah ta’ala.[14]
c.
Zuhud:
tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia.
Abu sulaiman al-darani mengatakan:
الزهد ترك ما يشغل عن الله تعالى
“Zuhud adalah
meninggalkan segala yang melalaikan hati dari allah.[15]
d.
Faqir:
mengosongkan seluruh pikiran dan harapan masa depan dan tidak menghendaki
apapun kecuali Tuhan.
Imam
al-nuri mengatakan:
نعت
الفقير السكون عند العدم والإثار عند الوجود.
“Sifat faqir itu diam saja ketika tidak memiliki apa-apa, dan
tidak membutuhakan ( terikat) ketika punya apa-apa”.[16]
e.
Sabar
menerima bencana dengan prilaku sopan dan rela.
Ibnu
atho’illah mengatakan:
الصبر:
الوقوف مع البلاء بحسن الأداب
“Sabar adalah menerima
segala bencna dengan laku sopan atau rela”.[17]
f.
Tawakkal
percaya atas segala sesuatu yang ditentukan Allah.
Imam hamdun mengatakan:
التوكل هو الإعطصام بالله تعالى
Sahlu bin Abdullah mengatakan:
أول مقام في التوكل أن يكون العبد بين يدى الله عز وجل كاالميت بين الغاسل
يقبه كيف شاء لا يكون حركة ولا تدبير.
“Permulaan maqam tawwakal itu adalah seorang hamba di hadapan
allah yang maha kuasa laksana mayat didepan orang orang yang memandikan, di
bolak balik sekehandaknya tanpa bergerak dan ikhtiyar” .[19]
g.
Ridha
hilangnya rasa ketidak senangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira
dan sukacita.
Imam ruwaim mengatakan:
الرضا:
أن لو جعل الله جهنم على يمينه ما سأل أن يجعل على يساره.
“Ridla itu, seandainya allah menjadikan
neraka jahannam di kanannya, tidak akan meimnta untuk dipindah kekirinya”.[20]
Imam an-nuri menambahkan:
الرضا: السرور القلب بمر القضاء
Ridla itu kegirangan (bahagia) hati
menanggapi kepedihan ketentuan tuhan.[21]
2. Tahap kedua penerimaan (أحوال
الصوفية) . Jika telah mencapai
tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan
langsung dari Tuhan secara iluminatif menurut tahap ini mencakup “ma’rifah”,
“mahabbah”, “fana”, “baqa”, dan kemudian “kasyaf” . Pada tahap ini seseorang
akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak. Sehingga dengan
kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai
obyek yang diketahui.
3.
Tahap
ketiga pengungkapan شطحات ) (. Yakni pengalaman mistik di interpretasikan dan diungkapkan kepada
orang lain lewat ucapan atau tulisan. Tahap
ini adalah pengalaman rohani yang hanya bisa di rasakan oleh orang yang
mencapai tingkatan tertinggi pada pengalaman kejiwaan nya menuju tuhan.
Tokoh sufi yang
berhasil mencapai tingkatan ini diantara nya:
a.
Ibnu
arobi dengan kosep wahdatul wujud nya.
Dalam fushus al-hikam, Ibnu Arabi menjelaskan syathahat nya:
فالحق خلق بهذ الوجه فاعتبروا * وليس خلقا بذاك الوجه
فاذكروا
من يدر ما قلت لهم تخدل بصيرته * وليس يدريه إلا من له
بصر
جمع وفرق فإن العين واحد* وهي الكثيرة لا تبقى ولا تدر[22]
b.
Abu
yazid al-busthomi dengan konsep ittihad nya.
Diantara syathahat
yang di katakan abu yazid ketika ektase nya (في
الحال) .
أنا
لا أنا أنا انا, لأنى أنا هو أنا, أنا هو أنا أنا[23]
c.
Husein
bin manshur al-hallaj dengan konsep hulul nya.
Diantara syatahat yang di katakan oleh al- hallaj yaitu yang tertuang
pada syair nya.
أنا سر الحق ماالحق أنا*بل أنا حق ففرق بيننا[24]
c)
Pendekatan
burhani
IrfanI mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode
ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau
gnosis. Ketika irfani diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan
mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; al-naql dan al-tawzif; dan
upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak
makna. Jadi pendekatan irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam
kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan
makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah
al-qalbiyyah dari Al-Qur'an. Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang
bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan
intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj
iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak
menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah
E.
Keunggulan dan Kelemahan Metode Berfikir Bayani, Burhani dan
Irfani.
Pada
prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai
kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan
epistemologis yang ada (Bayani, Burhani dan Irfani), dalam
perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir Bayani yang sangat
tekstual dan corak berpikir Irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua
kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio secara
optimal. Namun dari ketiga epistemologi tersebut (Bayani, Burhani dan Irfani)
memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Keunggulan
dan kelemahan masing-masing epistemologi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Keunggulan
dan Kelemahan Epistemologi Bayani
a.
Keunggulan
bayani terletak pada kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber
utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan.
Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka
peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks
yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan
memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
b.
Kelemahan
mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang
berbeda milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada
pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah
teks belum tentu diterima oleh golongan lain. Dalam epistemologi bayani
sebenarnya ada penggunaan rasio, akan tetapi relatif sedikit dan sangat
tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas
epistemologi ini telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena
ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi
bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal
menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara
sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
2. Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi
Burhani
a.
Sistem
berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan
logika dengan beberapa premis merupakan keunggulan epistemologi burhani.
Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar
dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani
ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi
melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.
b.
Namun
kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak
sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam
pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks
daripada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak
sedikit. Menurut suhrawardi, kekurangan
epistemologi burhani adalah, bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa
dicapai oleh rasio.
3. Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi
Irfani
a.
Di
antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari
intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran dari
pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan
kalangan sufi menyatakan bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya
menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasi-manifestasinya, namun manusia
dapat berhubungan secara langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan
hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan
hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari
segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.
b.
Namun
kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat
dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri
yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia
berdasar pada pengalaman individu manusia. Kritik lainnya adalah sifatnya yang
irasional, dan anti kritik terhadap penalaran. Metode yang digunakan adalah
logika paradoksal, segala-galanya bisa dicipta tanpa melalui sebab-sebab yang
mendahuluinya. Akibatnya, pemikiran para sufi kehilangan dimensi kritis dan
bersifat magis yang menyebabkan kemunduran pola pikir umat islam.
Setiap
epistemologi, termasuk di dalamnya Irfani, memiliki kelebihan dan kelemahan.
Tidak ada di antara ketiga epistemologi keilmuan islam tersebut yang sempurna.
Eksistensi ketiganya justru saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu,
hal yang bijak bukanlah menafikan eksistensi peran masing-masing, tetapi
bagaimana masing-masing epistemologi tersebut menjalankan perannya yang tepat
dan saling melengkapi satu sama lain.
F.
Penggabungan Epistemologi Bayani, Burhani, Irfani
Dalam
interaksinya tiga epistemologi tersebut dalam peradaban islam mengalami tiga
fase interaktif.
1)
Fase
pertama dengan ditandai masing-masing epistemologi mencari eksistensi dan memberikan
pengaruh secara independen terhadap peradaban islam yang berakhir dengan
benturan epistemologi pada abad ke-5 H.
2)
Fase
kedua rekonsiliasi antar epistemologi. Rekonsiliasi pertama terjadi antara
bayani dan irfani di tangan Al-Harist
Al-Muhasibi, kemudian antara bayani dan burhani di tangan Al-Kindi, dan antara
burhani dan irfani ditangan Ikhwan Al-Shofa dan filsuf isma’ili.
Menurut Al jabiri pada fase ini islam
tidak mengalami perkembangan yang sifgnifikan.
3)
Fase
ketiga adalah ketika saat ini tiga epsitemologi digabungkan untuk mencari jalan
keluar atas semakin cepat moderenisasi dunia. Sehingga islam yang di anggap
gagap terhadap pembaruan pemikiran, ternyata juga mampu menjawab tantangan
zaman .[25]
BAB
III
A.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan.
1.
Epistemologi
secara etimologi adalah teori tentang pengetahuan . sedangkan secara
terminologi berarti cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian
pengertian, struktur, mode dan validasi pengetahuan. Epistemologi bayani adalah
suatu pendekatan dengan cara menganalisis teks. Burhani adalah aktivitas
berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan
(al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain
yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah).
Irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran
hakekat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadah.
2.
Untuk
mendapatkan sebuah pengetahuan metode berfikir bayani menempuh dua cara
yaitu pertama berpegang pada redaksi (lapazh) teks dengan menggunakan
kaidah bahasa Arab. Kedua, Menggunakan metode qiyas (analogi). Metode
berfikir burhani menggunakan silogisme dan metode irfani pengetahuan
diperoleh dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati diharapkan Tuhan akan
melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.
3.
Ketiga
metode berfikir bayani, burhani dan irfani masing-masing memiliki keunggulan
dan kelemahan. Metode bayani keunggulannya terletak pada
kebenaran teks (al-Qur’an dan al-Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam
yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Kelemahannya
adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda milik komunitas,
bangsa, atau masyarakat lainnya. Sementara sebuah teks belum tentu diterima
oleh golongan lain. Adapun keunggulan dari burhani yaitu sistem berpikir yang
konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan
beberapa premis. Namun kelemahannya adalah sering tidak sinkronnya teks dan
realitas. Adapun keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang
bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan
kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional
dan akal. Namun kelemahannya adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh
segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di
samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada
pengalaman individu manusia.
B.
Kritik
dan saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurang nya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan
krtik dan saran yang membangun kepada penulis pada khusunya juga para pembaca
budiman pada umumnya.
[1]
Nur rohma zamhari, Metode bayani dalam memahami makna.
[2]
Ahmad warson munawwir, al-munawwir, pustaka progressif, 1997.
[3]
A. Khudori soleh, model-model epistemologi islam, h. 194.
[4]
Nur rohma zamhari, Metode bayani dalam memahami makna.
[5]
Syekh abdul wahhab khallaf, علم أصول الفقه , diterjemahkan Halimuddin. S.H, rinneka
cipta 2005,. 68.
[6]
Ibid, 68.
[7]
Ibid, 73
[8]Al
ma,idah; 90. إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
[9]
M.Fahd Wakhyudin, EPISTIMOLOGI DALAM ISLAM.
[10]
Prof. Dr. Hasyimsyah Nasution. M.A, Filsafat Islam, Gaya media Pratama,
1999.
[11]
Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, diterjemahkan oleh, Ahmad
Baso, (Yogyakarta: LkiS,2000),h 163-164,166.
[12]
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Rajawali Pers, 1997, h.
51.
[13]
Ibid, h. 56.
[14]
Ibid, h. 55.
[15]
Ibid, h. 58.
[16]
Ibid, h. 62.
[17]
Ibid, h. 65.
[18]
Ibid, h. 67.
[19]
Ibid, h. 67.
[20]
Ibid, h. 70.
[21]
Ibid, h. 70.
[22]
Prof. Dr.
Rosihon anwar, M.Ag, akhlak tasawwuf, pustaka setia, h. 282
[23]Abu
Yazid Al-Busthomi, Al-Majmu’ah Al-Shufiyah Al-Kamilah, Al-Mada publishing company, Damascus, h. 47
[25]
Moh. Zaki Ma’rufi, Reformulasi pemikiran
arab-islam perpektif al jabiri, h. 40.
Mantaaabb
BalasHapusTerimakasih.. ilmu yang sangat membantu dalam pembelajaran
BalasHapusterima kasih membantu memberi informasi
BalasHapusDude tang titanium toner barcode - ITNCA
BalasHapusDude tang titanium toner titanium mens wedding bands barcode. titanium necklace TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: tube supplier TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: TAB: citizen titanium dive watch TAB: TAB: microtouch titanium trim walmart TAB: TAB