BAB 1
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga sah menuju kehidupan bahagia dunia dan akhirat, dibawah ridha Allah SWT Di dalam agama Islam dalam hal memilih jodoh hendaklah mereka memilih karena 4 perkara yaitu; hartanya, kecantikannya, keturunannya , agamanya. Namun apabila semuanya tidak dapat terpenuhi maka pilihlah karena agamanya. Akan tetapi dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah bolehkah seorang (wanita / pria ) yang beragama Islam menikah dengan seorang (wanita / pria) yang berbeda agama, walaupun dalam Islam memberikan peluang kebolehan seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab.
Sedangkan hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 dan 44 jelas melarang perkawinan orang yang beragama Islam dengan orang yang bukan agama Islam sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Hukum bukan hanya sebagai refleksi dari penjelmaan kehidupan bermasyarakat saja, yang semata-mata hanya tunduk pada perilaku yang ada dalam masyarakat itu, tetapi juga ditundukkan pada sang pencipta manusia yang merupakan sumber kehidupan dan sumber dari segala sumber hukum. Oleh karenanya kepatuhan manusia tidak hanya pada manusia lainnya, tetapi juga tunduk pada penciptanya. Untuk itu, hukum yang baik di samping harus memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga mempertahankan dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum yang mengikat.
Tugas manusia sebagai Khalifah adalah menegakkan ajaran agamanya disatu sisi dan mengatur kehidupan dunia disisi lain yang semuanya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan pada gilirannya untuk mencapai kesejahteraan, kebagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Perkawinan atau pernikahan adalah sesuatu yang sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengamanatkan bahwa pernikahan harus atau wajib dilaksanakan sesuai ketentuan hukum agama dan kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kementerian Agama merupakan satu-satunya instansi pemerintah yang diberi amanat berdasarkan undang-undang untuk melakukan pengawasan dan pencatatan dalam memberikan pelayanan nikah dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam yang dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan di seluruh Indonesia. Oleh karena itu buku nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan bagi mereka yang beragama Islam merupakan dokumen yang mempunyai status kekuatan hukum yang sama dengan akta perkawinan yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang beragama selain agama Islam. Untuk itu tidak ada alasan bagi sebagian negara yang mengharuskan warganegaranya yang kawin dengan warganegara Indonesia untuk melaksanakan pendaftaran ulang perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil.
Maka dari itulah kami mencoba melakukan tinjauan dan ulasan masalah Perkawinan perkawinan Antar Pemeluk Agama dan Campuran di tinjau dari Hukum Perdata Islam di Indonesia.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Pandangan Hukum Islam Tentang Pernikahan Antar Agama ?
2.    Bagaimana Pendapat Ulama Indonesia Tentang Perkawinan Antar Agama ?
3.    Bagaimana Status Perkawinan Antar Agama Menurut Undang-undang ?
4.    Bagaimana Perkawinan Campuran dan Problematikanya ?

C.  Tujuan Penulisan
1.    Memahami Pernikahan Antar Agama Dari Sudut Pandang Hukum Islam!
2.    Mengetahui Fatwa Ulama Indonesia Tentang Perkawinan Antar Agama!
3.    Mengetahui Status Perkawinan Antar Agama Menurut Undang-undang!
4.    Memahami Perkawinan Campuran dan Solusi Masalahnya!


BAB II
PEMBAHASAN

PERNIKAHAN ANTAR AGAMA

A.      Pandangan Hukum Islam Tentang Pernikahan Antar Agama
Menikah adalah salah satu cara untuk melestarikan kelangsungan hidup manusia. Al-qur’an dan Al-hadis menganjurkan agar orang yang mampu untuk segera menikah. Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika pernikahan itu terjadi diantara dua orang yang berbeda keyakinan, atau yang disebut dengan nikah beda agama. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat ulama yang akan dikemukakan dalam masalah ini disertai dengan hujjah masing-masing.
Adapun ayat yang menjadi landasan dalam masalah nikah beda agama adalah surat al-baqarah 221.
 “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221)
Ayat tersebut menjelaskan dua hukum masalah, yaitu:
1.    Hukum Menikahi Wanita Ahli Kitab.
Dalam hal ini, ada dua pendapat ulama yaitu,
a)                   Pendapat pertama, pendapat jumhur ulama menyatakan bahwa diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab. Mereka berhujjah bahwa ayat al-baqarah 221 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan larangan menikahi al-musyrikat adalah larangan menikahi wanita majusi, dan penyembah berhala, paganisme. Adapun menikahi wanita ahli kitab diperbolehkan karena surat al-maidah ayat 5 mengkhususkan nash al-baqarah ayat 221, yaitu firman Allah.
 “Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Maidah:5)
1)         Lebih lanjut, diantara hujjah jumhur ulama adalah bahwa kata al-muyrikat tidak mencakup kata ahli kitab. Sebagaimana firman Allah “Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik” (QS. Al-Baqarah: 105)
2)         “Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik”. (QS. Al-Bayyinah: 1)
Begitu juga, riwayat para ulama salaf yang membolehkan menikahi wanita ahli kitab. Seperti yang dikatakan Imam Qatadah, yang dimaksud dengan al-musyrikat yaitu wanita yang tidak memiliki kitab. Begitu juga ketika Ibrahim bin Adham ditanya Hamad tentang hukum menikahi wanita yahudi dan nasrani, ia membolehkannya. Alasannya, yang dimaksud dengan al-musyrikat itu adalah wanita majusi dan penyembah berhala.[1]
Tambahnya, ayat al-Baqarah tidak menghapus (nasikh) ayat al-Maidah, karena al-Baqarah merupakan surat pertama yang diturunkan di Madinah, sedang al-maidah merupakan surat yang terakhir turun, dan kaidah umum dikatakan, ayat terakhir menghapus yang terdahulu bukan sebaliknya.[2]
Meskipun jumhur ulama membolehkan menikahi wanita ahli kitab, tetapi hukumnya adalah makruh. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab, bahwa ketika Thalhah bin Ubaidillah menikahi wanita yahudi, juga Hudzaifah bin al-Yaman menikahi wanita nasrani, Umar bin al-khattab yang mengetahui hal tersebut menjadi sangat marah, bahkan ingin memukul mereka berdua. Hingga keduanya berkata,: “Janganlah marah wahai Amirul Mukminin, kami akan menceraikan mereka.” Umar menjawab, : “Jikalau dihalalkan thalaqnya, pastinya dihalalkan pula nikahnya, tapi aku ingin meminimalisir bahaya (shagrah qam’ah)”. Hadis gharib jiddan, dalam riwayat lain, “Karena aku takut kalian mempraktekkan pelacuran dengan mereka”. Isnad shahih (al-Thabari : 4/366)[3]
Dijelaskan oleh Abu Ja’far Ibnu Jarir Al-Thabari seperti yang dikutip Ibnu Katsir, Umar membenci hal tersebut agar orang-orang muslim tidak menyepelekan wanita muslimah. Meskipun demikian terdapat riwayat lain yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab juga pernah mengatakan,: “Laki-laki muslim menikahi wanita nasrani, tetapi laki-laki nasrani tidak menikahi wanita muslimah”.[4]
Riwayat diatas menerangkan bahwa Umar bin khattab tidak menyukai menikah beda agama. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Imam Bukhari bahwa Ibnu Umar mengatakan, : “aku tidak melihat syirik yang lebih besar dari seorang wanita yang mengatakan tuhanku adalah isa”.[5] Riwayat ini juga menjadi hujjah bagi pendapat yang mengharamkan nikah beda agama.
Menurut Wahbah Zuhaily, perbedaan antara wanita ahli kitab dengan wanita musyrikah sangat jelas, yaitu wanita musyrikah tidak beriman dengan agama sama sekali, adapun wanita ahli kitab ada kesamaannya dengan seorang muslim yaitu mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, halal dan haram, melakukan kebaikan dan kemuliaan, serta menjauhi hal yang buruk dan hina.[6]
Tambahnya, adapun Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab tetapi tidak membolehkan wanita muslimah menikahi orang kafir ahli kitab juga jelas, karena hal tersebut tidak membahayakan keimanan seorang suami yang muslim. Sebaliknya,  seorang laki-laki biasanya mempunyai kekuasaan di atas wanita, karenanya kalau seorang laki-laki ahli kitab menikahi wanita muslimah dan bisa mempengaruhinya dalam keyakinan, hingga ia meninggalkan agama islam maka ini bisa membahayakan aqidah wanita muslimah. Dan inilah pendapat jumhur, yaitu makruh hukumnya seorang muslim menikahi wanita ahli kitab.[7]
Disamping itu, diharamkan menikahi wanita kafir harbi. Dan juga telah sepakat para ulama dari empat madzhab dan lainnya bahwa haram menikahi wanita majusi. Dan juga para ulama ber’ijma’ bahwa haram bagi seorang wanita muslimah menikahi laki-laki kafir, karena bisa merendahkan agama Islam.[8]
b)                  Pendapat kedua, haram menikahi wanita ahli kitab. Hal ini sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, dalam memahami kedua ayat tersebut (al-baqarah 221 dan al-maidah 5), Ibnu Abbas mengatakan,: “Rasulullah saw telah melarang menikahi seluruh wanita kecuali yang beriman dan berhijrah, dan mengharamkan wanita dari agama manapun kecuali Islam, sebagaimana firman Allah,: “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya”. (Qs. Al-Maidah: 5)
Lebih jelas lagi, alasan tidak bolehnya bagi seorang muslim menikahi wanita ahli kitab dijelaskan oleh Imam Fakhruddin al-razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib al-Tafsir al-Kabir, yang menganggap bahwa ahli kitab termasuk orang musyrik. Menurutnya, sebab kebanyakan ulama berpendapat bahwa lafazh musyrik dalam ayat tersebut mencakup juga orang kafir dari golongan ahli kitab.
Ada banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut:
a.               Dalam surat Al-taubah ayat 30-31 menjelaskan bahwa orang yang mengatakan Uzair anak Allah dan Isa al-Masih anak Allah berarti ia musyrik.
b.              Surat An-nisa ayat 48 menjelaskan Allah mnegampuni segala dosa kecuali syirik, seandainya dosa orang yahudi dan nasrani bukan merupakan dosa syirik pastinya Allah akan mengampuni, tetapi seperti diketahui bahwa dosa mereka merupakan dosa syirik yang tidak diampuni.[9]
c.               Surat Al-maidah ayat 73 menjelaskan bahwa Trinitas merupakan kesyirikan dan kufur akbar.
d.              Bahwa Rasulullah saw ketika mengutus utusan untuk berdakwah kepada orang-orang musyrik menyuruh agar mereka masuk ke dalam agama Islam, atau membayar fidyah. Dan orang yang membayar fidyah dan tidak masuk Islam maka ia disebut musyrik.
e.               Sebagaimana pendapat Abu Bakar al-Ashammu, setiap orang yang menolak risalah rasulullah saw maka ia adalah orang musyrik.[10]
2.    Hukum Menikahi Laki-Laki Musyrik (Non Muslim)
Para ulama sepakat bahwa ayat al-Baqarah 221, “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. ”Menjelaskan bahwa haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim (musyrik), yaitu setiap orang kafir yang tidak beragama dengan agama islam baik penyembah berhala, majusi, yahudi, dan kristen (nasrani) serta orang murtad. Demikian karena agama Islam itu tinggi dan mulia, al-islam ya’lu wa la yu’la ‘alaih. Juga, karena mereka mengajak kepada kekafiran yang menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki memiliki wilayah dan kekuasaan atas wanita, barangkali ia akan memaksaanya untuk meninggalkan agamanya berganti dengan agama suami, juga anak-anak biasanya mengikuti bapak mereka, jika bapaknya yahudi atau nasrani, maka mereka akan dididik dengan pendidikan keyahudian atau kenasranian, hingga mereka pun menjadi ahli neraka. [11]



B.       Fatwa Ulama Indonesia Tentang Pernikahan Antar Agama
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah jauh-jauh hari mengeluarkan fatwa. Berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) II pada 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26 Mei-1 Juni 1980 M, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda agama atau kawin campur, hukumnya haram.
Hal ini, jelas MUI, berdasarkan pada firman Allah SWT sebagai berikut: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia  supaya mereka mengambil pelajaran.”(QS Al-Baqarah: 221).
Dan firman Allah: “…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yangberiman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yang diberi Al-Kitab (Ahlu Kitab) sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di akhira termasuk orang-orang merugi.” (QS Al-Maidah: 5).
Dan firman Allah: “…Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka…” (QS Al-Mumtahanah:10).
Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS At-Tahrim: 6).
Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an di atas, MUI juga mendasarkan fatwanya pada Hadits-hadits Rasulullah sebagai berikut: “Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bahagian yang lain” (HR Tabrani)
Kemudian sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i: “Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Oleh sebab itu, menurut MUI, perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah haram hukumnya. "Dan seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim."
MUI menambahkan, tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram!"
Demikian fatwa MUI yang ditandatangi oleh Ketua Umum Prof Dr Hamka dan Sekretaris Drs H Kafrawi pada 1 Juni 1980 silam. Dan hingga kini fatwa tersebut masih berlaku dan belum dicabut oleh MUI.[12]
Adapun Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah (haram).
Demikian juga, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim,".
Ulama Muhammadiyah pun menyatakan kawin beda agama juga dilarang dalam agama Nasrani. Dalam perjanjian lama, kitab ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan yang berbeda agama. “Janganlah juga engkau kawin mengawin dengan mereka; anakmu perempuan janganlah kau berikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kau ambil bagi anakmu laki-laki”.
Dan juga disebutkan dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 bahwa: "Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.[13]

C.      Perkawinan Antar Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :
1.    Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2.    UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3.    UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4.    PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5.    Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda.
a.     Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f.
b.    Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
c.     Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.

D.      Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Antar Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.

E.       Mafsadah Nikah Antar Agama
Nikah beda agama memiliki mafsadah atau mudharat yang lebih besar daripada manfaatnya, terlebih hal ini berkaitan dengan akidah dan syariah seorang muslim. Adapun penjelasannya sebagaiman berikut:
a.    Akidah
1.    Orang Kafir Mengajak Kepada Kekafiran
Menurut Wahbah al-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir, sebab diharamkannya pernikahan antara muslim dengan musyrik ataupun muslimah dengan kafir baik termasuk golongan ahli kitab atau tidak, karena mereka orang-orang musyrik baik laki-laki ataupun perempuan mengajak kepada kekafiran, dan melakukan amalan yang dapat membawa ke neraka. Demikian karena, mereka tidak memiliki agama yang benar yang dapat membimbing mereka, juga tidak memiliki pedoman kitab langit yang menunjukkan mereka ke jalan yang benar, disamping perbedaan tabiat antara hati muslim yang penuh cahaya dan iman dan hati kafir yang gelap dan sesat.
Lanjutnya, karena dengan berkumpul dan berbesan dengan mereka menghendaki adanya saling memberi masukan, nasihat, cinta, kasih sayang, dan pertukaran pemikiran-pemikiran yang sesat, serta kebiasaan dalam hal perilaku dan adat mereka yang tidak syar’i. Terlebih dalam mendidik anak dan keturunan nantinya sesuai dengan nafsu dan kesesatan mereka. Intinya, ‘illah sebab diharamkannya menikahi wanita musyrikah karena bisa mengajak ke neraka.
2.    Menghindari nikah beda agama supaya bisa menjaga keimanan yang dapat menyelamatkan dari api neraka.
Demikian karena Allah memerintahkan agar menjaga diri dan keluarga dari api neraka, sebab kalau salah satu pasangan dalam keluarga tidak beriman, maka akan ada anak keturunannya yang akan mengikuti orang utannya yang tidak beriman, dan ini sama saja menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Padahal sudah sangat jelas Allah memerintahkan agar menjaga keimannan diri dan keluarga dalam surat al-tahrim : 6. Begitu juga, menjaga keimanan merupakan wasiat nabi ibrahim kepada anak keturunannanya sebagaimana diabadikan di dalam surat al-baqarah.
Ibnu katsir menjelaskan tentang larangan menikah beda agama, “mereka mengajak ke dalam neraka”, bahwa hidup dan berkumpul dengan mereka memotivasi untuk mencintai dunia dan mementingkannya atas negeri akhirat.
3.    Hilangnya Sumber Kebahagiaan
Menurut Ibnu katsir, agama itu sangat penting, karena memiliki istri yang beragama itu lebih mahal. Sebab, dalam Islam, wanita shalihah adalah sebaik baik perhiasan dunia. Karenanya, memiliki istri yang beragama merupakan sumber kebahagiaan dan keberkahan hidup. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Wanita dinikahi karena empat hal: harta, keturunan, cantik dan agamanya. Maka pilihlah yang beragama, maka kamu akan beruntung”. (HR. Bukahri Muslim)
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah”. (HR. Bukahri Muslim)
Hal tersebut menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki pasangan yang tidak beragama Islam berarti ia telah kehilangan sumber kebahagiaan hidup. Karena sumber kebahagiaan sejati adalah pada keimanan pasangan.
b.    Syariah
Dilihat dari Syariah, nikah beda agama memiliki banyak mudlarat, diantaranya:
1.    Nikah Beda Agama Sama dengan Zina
Dari fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah yang beristinbath dari nash-nash al-qur’an menyatakan haramnya nikah beda agama. Ini berarti ketika terjadi pernikahan antara dua mempelai yang berbeda agama, maka akadnya tidak sah. Kalau akadnya tidak sah, ini berarti hubungan antara kedua mempelai adalah hubungan yang haram, dan apabila terjadi persetubuhan maka itu adalah zina bukan ibadah.
2.    Hilangnya Banyak Pahala Ibadah
Banyak ayat ataupun hadis yang mengajarkan agar rumah tangga diisi dengan ketaatan dan saling mengingatkan antara pasangan untuk beribadah dan bertaqwa kepada Allah. Karenanya, ketika salah satu pasangan tidak beriman, itu berarti banyak pahala yang akan hilang dan tidak teraih karena tidak bisa melakukan ibadah secara bersamaan.
c). Hukum Anak
Anak yang lahir dari pernikahan beda agama mengikuti agama orang tua yang paling benar, yaitu Islam. Terlebih dijelaskan dalam hadis bahwa anak yang baru lahir terlahir dalam fitrah yaitu Islam. Sabda Rasulullah saw, “Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
d). Hukum Waris
Suami istri yang berbeda agama, maka apabila salah satu dari keduanya meninggal maka tidak bisa saling mewarisi. Karena beda agama termasuk salah satu penghalang yang menghalangi seseorang untuk mendapat harta waris. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
 “Seorang muslim tidak mewarisi kafir dan tidak pula sebaliknya”. HR. Imam Muslim.





Perkawinan Antar Kewarganegaraan/Bangsa

A.      Perkawinan Antar Kewarganegaraan/Bangsa di Dalam Undang-undang
Perkawinan beda Kewarganegaraan/Bangsa menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974 juga di sebut perkawinan campuran. Oleh sebab itu pada makalah ini penulis akan memakai kata-kata perkawinan campuran agar sesuai dengan Undang-undang.
a. Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah hasil Badan Legislatif Negara Republik Indonesia dalam menciptakan Hukum Nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia.
Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah:
1.    Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
2.    Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.
3.    Perkawinan karena salah satu pihak berkewar ganegaraan Indonesia.
 Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya perkawinanya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila hukum agama yang bersangkutan membolehkan, maka perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh pegawai pencatat nikah di KUA Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.
Dengan demikian ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah zaman kolonial tentang perkawinan campuran tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Bagi orang-orang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. (pasal 58).
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini. ( pasal 59 ).
Perkawinan campuran yang diatur dalam undang-undang ini adalah perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan yaitu antara orang Indonesia dengan orang asing. Hal tersebut penting diatur, mengingat eksistensi bangsa dan negara Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari kontekspergaulan transnasional dan atau intemasional.
Pengaruh dari gejala regionalisasi, internasionalisasi atau globalisasi di pelbagai bidang kehidupan manusia, mengakibatkan hubungan antar manusia semakin luas dan tidak terbatas, akhirnya ada yang saling jatuh cinta dan melangsungkan perkawinan antar kewarganegaraan.
Perkawinan Campuran yang berbeda kewarganegaraan ini semakin meningkat jumlahnya, meskipun di dalam kenyataannya banyak yang menghadapi problem/permasalahan.

B.       Tata Cara Perkawinan Campuran
Bagi Warga Negara Asing yang akan melakukan perkawinan campuran di Indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)   Fotokopi paspor yang sah
2)   Surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon
3)   Surat Status dari catatan sipil negara pemohon
4)   Pasfoto uuran 2x3 sebanyak 3 lembar
5)   Kepastian kehadirin wali atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA Wanita.
6)   Membayar biaya pencatatan.
Bagi pihak WNI harus memenuhi mekanisme pelayanan pernikahan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan.
1)   Calon pengantin datang ke kantor kepala desa/ kelurahan untuk mendapatkan :
a)    Surat Keterangan untuk nikah (N.1)
b)   Surat Keterangan asal usul (N.2)
c)    Surat Persetujuan mempelai (N.3),
d)   Surat Keterangan tentang orang tua (N.4),
e)    Surat pemberitahuan kehendak nikah (N.7)
2)   Calon Pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan :
a)    Imunisasi Tetanus Toxsoid 1 bagi calon pengantin wanita,
b)   Kartu imunisasi,
c)    Imunisasi Tetanus Toxoid II,
Setelah proses pada poin (1) dan (2) selesai, calon pengantin datang ke KUA kecamatan, untuk :
1.    Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis (menurut model N.7), apabila calon pengantin berhalangan pemberitahuan nikah dapat dilakukan oleh wali atau wakilnya;
2.    Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebagai berikut:
a)    Pernikahan yang dilaksanakan di balai nikah/ kantor KUA.
b)   Pernikahan yang dilaksanakan di luar balai nikah/ Kantor KUA. di tambah biaya bedolan sesuai ketentuan yang ditetapkan Kepala Kanwil/Kantor Departemen Agama masing-masing daerah.
3.    Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan oleh penghulu, yaitu:
a)    Surat keterangan untuk nikah menurut N.1.
b)   Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa/ pejabat setingkat menurut model N2.
c)    Persetujuan kedua calon mempelai menurut model N3,
d)   Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/ pejabat setingkat menurut model N4,
e)    Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun menurut model N5.
f)    Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud angka 5 di atas diperlukan izin dari pengadilan.
g)   Pas foto masing-masing 3x2 sebanyak 3 lembar.
h)   Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun.
i)     Jika calon mempelai anggota TNI/ polri diperlukan surat izin dari atasanya atau kesatuannya.
j)     Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang.
k)   Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/ cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-undang nomor 7 tahun 1989.
l)     Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/ istri dibuat oleh kepala desa/ lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasar pengisian model N6 bagi janda/ duda yang akan menikah.
m) Surat ganti nama bagi warganegara Indonesia keturunan.
4.    Penghulu sebagai PPN memasang pengumuman kehendak nikah (menurut model NC) selama 10 hari sejak saat pendaftaran.
5.    Catin wajib mengikuti kursus calon pengantin selama 1 hari.
6.    Calon pengantin memperoleh sertifikat kursus calon pengantin.
7.    Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu.
8.    Penghulu segera menyerahkan buku nikah kepada pengantin setelah pelaksanaan akad nikah.
9.    Pendaftaran kehendak nikah diajukan kepada KUA kecamatan minimal 10 hari kerja sebelum pelaksanaan pernikahan.
10.     Mengisi formulir permohonan
a)    Menyerahkan buku nikah asli
b)   Menyerahkan fotokopi buku nikah yang sudah dilegalisir oleh KUA tempat nikah.
c)    Menyerahkan fotokopi KTP bagi WNI.
d)   Menyerahkan fotokopi paspor bagi WNA.
e)    Menyerahkan surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon bagi perkawinan campuran.
f)    Menyerahkan surat kuasa dan Kartu Tanda Penduduk yang mengurus, apabila pengurusan dilakukan orang lain.

C.      Problematika dan Solusi Perkawinan Campuran
a.    Masalah Kesahan Perkawinan
   Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan masing-masing agama dan kepercayaannya ( Pasal 2 ayat 1 ).
 Oleh karena itu mengenai perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia harus dilakukan berdasarkan hukum perkawinan Indonesia jadi kesahan perkawinan tersebut harus berdasarkan hukum agama dan harus dicatat apabila kedua belah pihak, calon suami-isteri ini menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah, namun apabila berbeda agama, maka akan timbul masalah hukum antar agama.
 Masalahnya tidak akan menjadi rumit apabila jalan keluarnya dengan kerelaan salah satu pihak untuk meleburkan diri/mengikuti kepada agama pihak, yang lainnya tetapi kesulitan ini muncul apabila kedua belah pihak tetap ingin rnempertahankan keyakinannya. Terlebih lagi karena Kantor Catatan Sipil berdasarkan Keppres No.12 Tahun 1983, tidak lagi berfungsi untuk menikahkan.
 Namun di dalam kenyataannya sering terjadi untuk mudahnya pasangan tersebut kawin berdasarkan agama salah satu pihak, dan kemudian setelah perkawinannya disahkan mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing. Di Indonesia perkawinan antar agama masih merupakan suatu problem yang masih perlu dicarikan jalan keluarnya dengan sebaik-baiknya. Mengenai kesahan perkawinan campuran ini memang belum ada Pengaturan khusus, sehingga di dalam prakteknya sering terjadi dan untuk memudahkan pasangan tersebut kawin berdasarkan agama salah satu pihak, namun kemudian setelah perkawinan disahkan mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing.
Disamping itu terdapat juga pasangan yang melangsungkan perkawinan di luar negeri, baru kemudian didaftarkan di Indonesia.
 Berdasarkan hal tersebut, karena masalah perkawinan campuran ini tidak mungkin dihilangkan, maka untuk adanya kepastian hukum sebaiknya dibuatkan suatu pengaturan mengenai kesahan perkawinan campuran ini.
b.    Masalah Pencatatan.
Mengenai perkawinan campuran dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pencatatan perkawinan campuran.
Dengan demikian apabila perkawinan dilangsungkan di Indonesia maka berlaku ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan 9 ketentuan Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang antara lain disebutkan :
1.    Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.    Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9. Apabila pengaturannya demikian, maka mengenai pencatatan ini akan timbul masalah kalau calon suami atau calon Isteri bersikeras tetap mempertahankan keinginannya maka akan dicatat dimana, karena masalah perkawinan campuran pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang pencatatan perkawinan campuran, baik untuk perkawinan antar keyakinannya maupun perkawinan antar kewarganegaraan. Demikian dalam hal pencatatan perkawinan apabila pasangan tersebut beragama Islam, meskipun adanya perbedaan kewarganegaraan tetap dicatatkan di KUA. Sedangkan apabila pasangan tersebut beragama non muslim meskipun berbeda kewarganegaraan tetap pencatatannya di Kantor Catatan Sipil. jadi yang perlu dipikirkan pengaturannya adalah pencatatan bagi pasangan yang berbeda agama. Untuk itu memang diperlukan pemikiran secara mendalam dari berbagai segi agar tidak merugikan salah satu pasangan.
c.    Masalah Harta Benda Perkawinan
Apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka ketentuan hukum material berkaitan dengan harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Namun harta benda perkawinan campuran ini apabila tidak dilakukan perjanjian perkawinan yang menyangkut harta perkawinan maka berkenaan dengan harta perkawinan ini akan tunduk pada pasal 35, dimana ditentukan, bahwa :
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya mengenai harta bersama ini dapat dikelola bersama-sama suami dan isteri, namun dalam setiap perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama nharus ada persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1)).
Sedangkan dalam hal harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya Pasal 36 ayat (2).
Apabila terjadi perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37), yang dimaksud hukum masing-masing pihak di dalam undang-undang Perkawinan ini adalah hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya.
 Untuk Perkawinan Campuran akan menjadi masalah Hukum Perdata internasional, karena akan terpaut 2 (dua) sistem hukum perkawinan yang yang berbeda, yang dalam penyelesaiannya dapat digunakan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR ( Regeling of de gemengde huwelijken) S. 1898 yaitu diberlakukan hukum pihak suami.
Masalah harta perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami yaitu Undang-undang No.l Tahun 1974.
 Sedangkan apabila isteri yang berkebangsaan Indonesia dan suami berkebangsaan asing maka dapat menganut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak suami.
 Namun karena GHR tersebut adalah pengaturan produk zaman Belanda, sebaiknya masalah ini diatur dalam Hukum Nasional, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
d.   Masalah Perceraian.
Di dalam suatu perkawinan diharapkan tidak akan terjadi perceraian, karena dengan terjadinya perceraian akan menimbulkan berbagai permasalahan. Namun apabila tetap terjadi perceraian, maka perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia dan pihak suami warga negara Indonesia, jelas syarat-syarat dan alasan perceraian harus berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia. yaitu dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dan khusus untuk pegawai negeri sipil berlaku pula ketentuan-ketentuan PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990. Tetapi dalam hal Perkawinan Campuran yang perkawinannya dilangsungkan di Indonesia sedangkan pihak suami adalah warga negara asing dan mereka menetap di luar negeri, maka dalam hal ini akan timbul masalah Hukum Perdata internasional lagi yaitu untuk menentukan alasan dan syarat perceraian tersebut demikian pula bagi mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri.
Putusnya perkawinan disebabkan kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Dalam hal perceraian hanya dapat dilakukan didepan pengadilan yang berwenang, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selain itu untuk melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Disini jelas apabila perkawinan campuran dilakukan di Indonesia jelas alasan maupun akibat terjadinya perceraian berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974.
Bila perkawinan campuran yang di langsungkan di Indonesia namun tinggalnya di luar negeri atau perkawinannya dilangsungkan diluar negeri dalam hal ini belum ada pengaturannya. Oleh karena itu perlu diatur atau paling tidak adanya perjanjian perkawinan antara keduanya. apabila kemungkinan putus perkawinan tersebut. Karena apabila sebelum perkawinan pihak suami dan pihak isteri telah membuat perjanjian dan dilakukan didepan institusi yang berwenang, yang berisi masalah, kalau terjadi perceraian dalam hal alasan maupun akibat perceraian yaitu tanggung jawab dan kewajiban memelihara anak dari hasil perkawinan mereka, maka sudah ada jaminan bagi anak.
e.    Status Anak.
Mengenai anak ini, cukup banyak peraturan yang mengatur tentang anak, dan dilain pihak keberadaan anak tidak terlepas dan berhubungan erat dengan hukum perkawinan, hukum keluarga, dan hukum kewarisan. Dalam hal perkawinan campuran masalah status anak ini juga menghadapi permasalahan yaitu berkaitan dengan kewarganegaraan dari anak. Selain daripada itu dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 mengenai kedudukan anak telah diatur pada Bab 9 dalam Pasal 42 sampai Pasal 44 yang antara lain menentukan :
1.    Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42).
2.    Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1).
3.    Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzinah dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut.
4.    Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Bertitik tolak dari pengaturan tersebut, jelas bahwa Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai anak hasil perkawinan antar bangsa Indonesia dengan bangsa asing karena dalam Pasal 42 tersebut hanya mengatur mengenai kedudukan anak. Selanjutnya dalam pasal 43 mengatur anak yang dilahirkan diluar perkawinan dan juga mengatur mengenai seorang suami yang dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya melahirkan anak akibat perzinahan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan hanya mengatur kedudukan anak hasil perkawinan antara warga negara Indonesia saja. Sedangkan apabila perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan, masalah kedudukan anak atau status anak ini memang dapat menimbulkan permasalahan.
Permasalahan yang timbul adalah apabila si isteri berkewarganegaraan Indonesia dan suami berkewarganegaraan asing, maka kalau mempunyai anak pihak isteri tidak mempunyai pilihan untuk memberikan kewarganegaraannya kepada anak.
Kenapa demikian, karena Indonesia menganut asas keturunan (asas ius sanguinis) yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan daripada orang yang bersangkutan (si suami).
Selain itu apabila si anak mempunyai kewarganegaraan dari bapak (asing) maka dalam proses pelaporan ke Kedutaan dan Kantor Imigrasi bukan perkara yang mudah, dan membutuhkan biaya yang cukup besar, bahkan ada negara tertentu si anak yang masih kecil harus dibawa untuk melaporkan kekedutaan. Sedangkan bilamana isteri yang berkewarganegaraan Indonesia mengikuti suami tinggal di negara suaminya, maka ketika mengajukan permohonan menjadi "Permanent resident (PR) prosesnya memakan waktu 4 tahun. Selanjutnya apabila perkawinan tidak berjalan mulus dan terjadi kekerasan yang akhirnya terjadi perceraian maka akan timbul permasalahan si anak menjadi warganegara yang mana (ikut Ayah atau ikut Ibu).
Jumlah peristiwa perkawinan campuran yang terjadi di Indonesia cenderung meningkat dan hal tersebut mengakibatkan permasalahan yang berkaitan dengan penentuan status kewarganegaraan anak dari perkawinan tersebut. Untuk memecahkan hal tersebut dapat dilakukan antara lain:[14]
1)   Konsekuensi hukum status anak hasil perkawinan kewarganegaraan Indonesia dan asing (Ius Sanguinis).
a)    Perjanjian Perkawinan tentang Kewarga negaraan anak yang disahkan oleh Notaris. Perkawinan antara seorang pria Warga Negara Amerika dengan Wanita Warga Negara Indonesia, mereka menghendaki agar anak dari perkawinan mereka mengikuti kewarganegaraan Ibunya melalui perjanjian dihadapan Notaris (tahun 1994) perlu dikukuhkan oleh pengadilan, yang menyatakan bahwa anak yang lahir dari perkawinan mereka menjadi warga negara Indonesia yaitu mengikuti kewarganegaraan ibunya.
Perjanjian ini disampaikan kepada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta tahun 1995 dan pada tahun 1995 saat mengajukan akta kelahiran anak-anaknya dan memohon agar dalam pencatatan kelahiran anak-anaknya tersebut tertulis Warga Negara Indonesia.
b)    Status anak dari perkawinan campuran yang putus karena cerai dan di bawah pengasuhan Ibunya. Perkawinan antara seorang pria WNA dengan wanita WNI dan perkawinan tersebut putus karena perceraian padahal anaknya masih dibawah umur, maka anak dari perkawinan tersebut diputus oleh Pengadilan dibawah asuhan ibunya yang WNI, padahal status anak tersebut adalah WNA. Oleh karena itu untuk melindungi anak tersebut, sebaiknya si ibu mengajukan permohonan kewarganegaraan Indonesia kepada pengadilan. Atau si anak dapat memilih sendiri kewarga negaraannya setelah berumur 18 tahun (pasal 3 UU No. 62 Tahun 1959).
c)    Anak dari perkawinan campuran yang dilaporkan oleh Ibunya sebagai anak luar kawin. Hal tersebut dilakukan oleh sang Ibu agar anak hasil perkawinan campuran tersebut menjadi Warga Negara Indonesia, dan untuk menghindari anak menjadi WNA.
2)   Anak WNI yang lahir di luar negeri (ius soli).
a)    Status anak dari perkawinan campuran yang menganut asas kewarganegaraan yang berbeda. Perkawinan antara seorang pria WNA dengan wanita yang WNI, dimana negara asal, pria tersebut menganut asas kewarganegaraan ius soli. Anak dari perkawinan tersebut yang lahir di Indonesia sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia mempunyai kewarganegaraan ayahnya, sedangkan hukum yang berlaku di negara ayahnya anak tersebut berkewarganegaraan Indonesia sehingga anak tersebut statusnya bipatrida.
b)    Anak dari perkawinan campuran yang tinggal di luar negeri.  Perkawinan campuran antara pria WNI dengan wanita yang WNA dan tinggal diluar negeri yang menganut asas kewarganegaraan ius soli. Anak dari perkawinan tersebut menurut hukum di Indonesia kewarga negaraannya mengikuti ayahnya yaitu WNI, namun karena lahir dan diluar negeri yang menganut asas kewarganegaraan ius soli, maka anak tersebut menjadi WNA.

f.     Masalah Warisan.
Kita mengetahui bahwa mengenai warisan, di Indonesia sampai saat ini masih bersifat plural, disamping berlakunya Hukum waris adat yang beraneka ragam sistemnya dan juga berlaku waris yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta hukum waris Islam.
Jadi mengenai Perkawinan Campuran masalah warisan juga belum ada pengaturan tersendiri sehingga sangat memungkinkan terjadinya permasalahan. Masalah warisan ini, karena di. Indonesia belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional, maka dalam warisan tetap mengacu kepada hukum adat, hukum Islam dan KUH Perdata. Oleh karena itu warisan yang berkaitan dengan perkawinan campuran, memang diserahkan kepada suami isteri yang bersangkutan.



















BAB III
PENUTUP

A.      SIMPULAN
Menikah adalah salah satu cara untuk melestarikan kelangsungan hidup manusia. Al-qur’an dan Al-hadis menganjurkan agar orang yang mampu untuk segera menikah. Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika pernikahan itu terjadi diantara dua orang yang berbeda keyakinan, atau yang disebut dengan nikah beda agama.
Pendapat jumhur ulama menyatakan bahwa diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab. Mereka berhujjah bahwa ayat al-baqarah 221 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan larangan menikahi al-musyrikat adalah larangan menikahi wanita majusi, dan penyembah berhala, paganisme.
Para ulama sepakat bahwa ayat al-Baqarah 221, “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. ”Menjelaskan bahwa haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim (musyrik), yaitu setiap orang kafir yang tidak beragama dengan agama islam baik penyembah berhala, majusi, yahudi, dan kristen (nasrani) serta orang murtad. Demikian karena agama Islam itu tinggi dan mulia, al-islam ya’lu wa la yu’la ‘alaih. Juga, karena mereka mengajak kepada kekafiran yang menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam neraka.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah jauh-jauh hari mengeluarkan fatwa. Berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) II pada 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26 Mei-1 Juni 1980 M, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda agama atau kawin campur, hukumnya haram.
Adapun Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah (haram).
Demikian juga, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim,".
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda.
a.                        Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f.
b.                       Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
c.                        Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Nikah beda agama memiliki mafsadah atau mudharat yang lebih besar daripada manfaatnya, terlebih hal ini berkaitan dengan akidah dan syariah seorang muslim.
Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah hasil Badan Legislatif Negara Republik Indonesia dalam menciptakan Hukum Nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia.
Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah:
1.    Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
2.    Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.
3.    Perkawinan karena salah satu pihak berkewar ganegaraan Indonesia.
 Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya perkawinanya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila hukum agama yang bersangkutan membolehkan, maka perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh pegawai pencatat nikah di KUA Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.
   Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan masing-masing agama dan kepercayaannya ( Pasal 2 ayat 1 ).
 Oleh karena itu mengenai perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia harus dilakukan berdasarkan hukum perkawinan Indonesia jadi kesahan perkawinan tersebut harus berdasarkan hukum agama dan harus dicatat apabila kedua belah pihak, calon suami-isteri ini menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah, namun apabila berbeda agama, maka akan timbul masalah hukum antar agama.
 Masalahnya tidak akan menjadi rumit apabila jalan keluarnya dengan kerelaan salah satu pihak untuk meleburkan diri/mengikuti kepada agama pihak, yang lainnya tetapi kesulitan ini muncul apabila kedua belah pihak tetap ingin rnempertahankan keyakinannya. Terlebih lagi karena Kantor Catatan Sipil berdasarkan Keppres No.12 Tahun 1983, tidak lagi berfungsi untuk menikahkan.
 Namun di dalam kenyataannya sering terjadi untuk mudahnya pasangan tersebut kawin berdasarkan agama salah satu pihak, dan kemudian setelah perkawinannya disahkan mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing. Di Indonesia perkawinan antar agama masih merupakan suatu problem yang masih perlu dicarikan jalan keluarnya dengan sebaik-baiknya. Mengenai kesahan perkawinan campuran ini memang belum ada Pengaturan khusus, sehingga di dalam prakteknya sering terjadi dan untuk memudahkan pasangan tersebut kawin berdasarkan agama salah satu pihak, namun kemudian setelah perkawinan disahkan mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing.
Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan masing-masing agama dan kepercayaannya ( Pasal 2 ayat 1 ).
 Oleh karena itu mengenai perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia harus dilakukan berdasarkan hukum perkawinan Indonesia jadi kesahan perkawinan tersebut harus berdasarkan hukum agama dan harus dicatat apabila kedua belah pihak, calon suami-isteri ini menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah, namun apabila berbeda agama, maka akan timbul masalah hukum antar agama.
Apabila terjadi perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37), yang dimaksud hukum masing-masing pihak di dalam undang-undang Perkawinan ini adalah hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya.
 Untuk Perkawinan Campuran akan menjadi masalah Hukum Perdata internasional, karena akan terpaut 2 (dua) sistem hukum perkawinan yang yang berbeda, yang dalam penyelesaiannya dapat digunakan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR ( Regeling of de gemengde huwelijken) S. 1898 yaitu diberlakukan hukum pihak suami.
Masalah harta perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami yaitu Undang-undang No.l Tahun 1974.
 Sedangkan apabila isteri yang berkebangsaan Indonesia dan suami berkebangsaan asing maka dapat menganut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak suami.
Permasalahan yang timbul adalah apabila si isteri berkewarganegaraan Indonesia dan suami berkewarganegaraan asing, maka kalau mempunyai anak pihak isteri tidak mempunyai pilihan untuk memberikan kewarganegaraannya kepada anak.
Kenapa demikian, karena Indonesia menganut asas keturunan (asas ius sanguinis) yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan daripada orang yang bersangkutan (si suami).
Selain itu apabila si anak mempunyai kewarganegaraan dari bapak (asing) maka dalam proses pelaporan ke Kedutaan dan Kantor Imigrasi bukan perkara yang mudah, dan membutuhkan biaya yang cukup besar, bahkan ada negara tertentu si anak yang masih kecil harus dibawa untuk melaporkan kekedutaan. Sedangkan bilamana isteri yang berkewarganegaraan Indonesia mengikuti suami tinggal di negara suaminya, maka ketika mengajukan permohonan menjadi "Permanent resident (PR) prosesnya memakan waktu 4 tahun. Selanjutnya apabila perkawinan tidak berjalan mulus dan terjadi kekerasan yang akhirnya terjadi perceraian maka akan timbul permasalahan si anak menjadi warganegara yang mana (ikut Ayah atau ikut Ibu).
Mengenai Perkawinan Campuran masalah warisan juga belum ada pengaturan tersendiri sehingga sangat memungkinkan terjadinya permasalahan. Masalah warisan ini, karena di. Indonesia belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional, maka dalam warisan tetap mengacu kepada hukum adat, hukum Islam dan KUH Perdata. Oleh karena itu warisan yang berkaitan dengan perkawinan campuran, memang diserahkan kepada suami isteri yang bersangkutan.

B.  Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.














DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Al-‘Asqalani, Abu Al-Fadl Ahmad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Hajar W. 852H, Bulugh Al-Maram Min Adillah Al-Ahkam, (Riyadl: Dar Al-Falaq, 1424 H, Cet, 7). H. 1/291
Al-Damasyqi, Abu Al-Fida’ Ismail Bin Umar Bin Katsir Al-Qursyi (700-774H), Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Dar Thayyibah Li Al-Nastr Wa Al-Tauzi’,Cet. 2, 1999 M. H. 1/582-583
Al-Damasyqi, Taqiyyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini Al-Syafi’i, Kifayah Al-Akhyar Fi Hilli Ghayah Al-Ikhtishar,
Al-Razi, al-imam al-alim fakhruddin Muhammad bin Umar al-Tamimi al-Syafi’i, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000)
Al-Sajistani, Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Arabi
Al-Shabuni, Ali, Tafsir Ayat Al-Ahkam
Al-Zuhaily, Wahbah Bin Mushthafa, Al-Tafsir Al-Munir Fi Al-Aqidah Wa Al-Syari’ah Wa Al-Manhaj, Damaskus: Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir, Cet. 2. 1418.
Sabiq, Sayyid , Fiqh Al-Sunnah,
Shahih Al-Bukhari
Shahih Muslim
amus Al-Munawir
KBBI OFFLINE
Departemen Agama RI, Tafsir al-Quran, Jakarta, 2004
Kitab UU Hukum Perdata BW
UU Dasar Negara RI No. 1945
UU Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, 1991
BPHN - Pengkajian Hukum tentang Perkawinan Campuran, Tahun 1992/1993
BPHN - Penelitian Hukum tentang Permasalahan Hukum dalam Praktek
Perkawinan Antar Agama dalam hal Harta Perkawinan, Warisan, dan Status Anak tahun 1993/1994.
BPHN - Aspek-aspek Hukum Perkawinan Antar Agama dan Perkawinan
Campuran Tahun 1993.
Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Status Anak Hasil Perkawinan Antar WNI dan WNA Tahun 2004.
Majdi, Analisis Fatwa Hukum Munakahat, 2006.




[1] Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkam, h. 1/124-125
[2] Ibid.,h. 125
[3] Abu Al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qursyi al-Damasyqi (700-774H), Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Dar Thayyibah Li Al-Nastr Wa Al-Tauzi’,Cet. 2, 1999 M. H. 1/582-583
[4] Ibid., h. 1/583
[5] Shahih al-bukhari, no. 5285
[6] Ibid.,2/293
[7] Ibid., h. 2/294
[8] Ibid., h. 2/295
[9] Ibid.,h.6/48
[10] Ibid.,h.6/48
[11] Ibid., h. 126
[12] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/11/05/23/lln96s-fatwa-mui-kawin-beda-agama-haram
[13] Ibid.,
[14] (menurut hasil tim analisis dan evaluasi hukum tentang status anak, hasil perkawinan campuran antar WNI dan asing)

Related Posts:

0 Comments:

Posting Komentar

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Posting Terbaru

Tayangan halaman minggu lalu

Cari Blog Ini

Cari


Pengikut

Translate

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's.

Ads

Ad Banner

Pages

About

recentposts

Popular Posts