Tata
Cara Mengajukan Gugatan ke Pengadilan Agama
(Hukum
Acara Peradilan Agama)
A.
Pengertian Gugatan
Gugatan
dalam bahasa hukum islam disebut “ad-da’wa”. Kata “ad-da’wa” ini dipergunakan
pula sebagai tuntutan pidana, yakni da’wa perdata atau da’wa pidana tergantung
dengan konsep kalimat.[1]
Mardani
mengartikan gugatan dengan; suatu surat yang diajukan oleh penggugat kepada
Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya
mengandung sengketa dan merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu
pembuktian kebenaran suatu hak.[2]
Sedangkan
menurut Sudikno Mertokusumo, gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan
untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigen richting).[3]
Kesimpulannya
gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan yang
berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa
menurut tatacara tertentu oleh Pengadilan, serta kemudian diambil putusan
terhadap gugatan tersebut.[4]
B.
Pengertian Permohonan
Permohonan
adalah suatu permohonan dari seseorang atau beberapa orang Pemohon kepada Ketua
Pengadilan yang berwenang untuk menetapkan suatu hal yang tidak mengandung
sengketa.[5]
Prinsip
dalam surat permohonan adalah tidak mempunyai lawan, lain dengan surat gugatan.
Surat permohonan dalam pengertian asli, supaya dibuat sesuai dengan prinsipnya,
yaitu tidak ada lawan, itulah yang pokok. Dengan demikian identitas pihak
hanya pihak pemohon saja, bagian positanya adalah tentang situasi hukum
atau peristiwa hukum yang dijadikan dasar terhadap apa yang dimohon oleh
pemohon dalam bagian petita.[6]
a)
Dalam
perkara gugatan ada suatu sengketa, atau konflik yang harus diselesaikan dan
harus diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa
atau perselisihan, misalnya segenap ahli waris secara bersama-sama menghadap ke
pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan
almarhum. Atau permohonan untuk mengganti nama dari leonardo de caprio menjadi
muhammad salim atau perbaikan akta catatan sipil.
b)
Dalam
suatu gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pihak penggugat dan tergugat yang
merasa haknya atau hak mereka dilanggar sedangkan dalam permohonan hanya ada
satu pihak yaitu pihak pemohon.
c)
Suatu
gugatan dikenal sebagai pengadilan contentiosa atau pengadilan sungguh-sungguh,
sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilan voluntair atau pengadilan
pura-pura.
d)
Hasil
suatu gugatan adalah putusan (vonis) sedangkan hasil suatu permohonan adalah
penetapan (beschikking)
Perbedaan
ini sudah tidak relevan lagi jika dikatkan dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, sebab dalam UU tersebut dikenal adanya permohonan dan gugatan
perceraian. Permohonan perceraian dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya,
sedangkan gugatan perceraian dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya.
Dalam hal permohonan perceraian yang dilakukan oleh suami pasti ada
alasan-alasan perceraian sebagaimana disyaratkan oleh UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan dan PP No. Tahun 1975 di mana alasan-alasan tersebut bisa
jadi merupakan suatu sengketa atau konflik, dan juga ada dua pihak yaitu pihak
pemohon dan termohon.[8]
D.
Bentuk Gugatan dan Permohonan
1.
Gugatan
tertulis
Gugatan tertulis diatur dalam pasal
118 HIR dan pasal 142 ayat (1) R.Bg. dalam kedua pasal ini ditentukan bahwa
gugatan harus diajukan secara tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan
yang berwenang mengadili perkara tersebut. Surat gugatan yang ditulis itu harus
ditandatangani oleh penggugat atau para penggugat. Jika perkara itu dilimpahkan
kepada kuasa hukumnya, maka yang menandatangani surat itu adalah kuasa hukumnya
sebagaimana disebutkan dalam pasal 123 ayat (1) HIR dan pasal 147 ayat (1)
R.Bg.[9]
Surat gugatan dibuat haruslah
bertanggal, menyebutkan dengan jelas nama penggugat dan tergugat, tempat
tinggal mereka, dan kalau perlu disebutkan juga jabatan dan kedudukannya.
2.
Gugatan
lisan
Pada dasarnya gugatan harus diajukan
kepada Pengadilan secara tertulis sebagaimana yang tersebut dalam pasal 118 HIR
dan pasal 142 ayat (1) R.Bg.Tetapi dalam asal 120 HIR dan pasal 144 ayat
(1)R.Bg dikemukakan bahwa jika orang yang menggugat buta huruf, maka gugatan
dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua
Pengadilan mencatat segala hal gugatan itu dalam bentuk tertulis. Jika Ketua
Pengadilan karena sesuatu hal tidak dapat mencatat sendiri gugatan tersebut,
maka ia dapat meminta seorang hakim untuk mencatat dan menformulasikan gugatan
tersebut sehingga memudahkan Majelis Hakim untuk memeriksanya.
Dispensasi yang diberikan oleh
aturan perundang-undangan kepada orang yang buta hurufuntuk menggugat secara
lisan langsung kepada pengadilan mempunyai tujuan untuk melindungi dan membantu
orang yang buta huruf itu dalam rangka menuntut hak-haknya, agar terhindar dari
kesalahan-kesalahan dalam membuat gugatan, yang dapat terjadi apabila dilakukan
oleh orang lain.
Dalam praktek gugatan secara lisan
ini jarang yang ditangani secara langsung oleh ketua pengadilan tetapi ketua
pengadilan menugaskan seorang hakim untuk mencatat gugatan itu dan di
formulasikan dalam bentuk tertulis. Gugatan secara lisan yang telah
diformulasikan itu ditanda tangani oleh ketua pengadilan atau hakim yang
memformulasikan gugatan itu, penggugat tidak perlu menandatangani atau
membubuhkan cap jempolnya pada surat gugat tersebut dan juga tidak perlu diberi
materai.[10]
Tata
cara mengajukan gugatan secara lisan:
1.
Tuntutan
disampaikan secara lisan pada ketua pengadilan yang berwenang.
2.
Ketua
pengadilan atau hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan mencatat segala
kejadian dan peristiwa sekitar tuntutan yang diminta oleh penggugat, kemudian
diformulasikan dalam sebuah surat gugat yang mudah dipahami apabila para pihak
membacanya.
3.
Gugatan
yang telah diformulasikan dalam sebuah surat gugatan itu dibacakan kepada
penggugat, apakah segala hal yang menjadi persengketaan dan tuntutan yang
dikehendakinya telah sesuai dengan kehendak penggugat.
4.
Apabila
sudah sesuai dengan kehendak penggugat, maka surat gugat yang telah
diformulaikan itu di tanda tangani oleh ketua/ hakim yang di tunjuk oleh ketua
untuk menyusun formulasi gugatan itu. Jika gugatan atau permohonan diajukan
secara lisan, maka panitera atas nama Ketua Pengadilan Agama membuat catatan
yang diterangkan oleh penggugat atau pemohon kepadanya, yang disebut dengan
“catatan gugat atau catatan permohonan”.
E.
Isi Gugatan dan permohonan
Isi
gugatan adalah sebagai berikut:
a.
Identitas
para pihak dan kedudukannya dalam perkara.
Meliputi nama, tempat tinggal, dan
pekerjaan. Dalam praktek sering juga dicantumkan agama, umur, status
(kawin/belum kawin, janda/duda).[11]
b.
Posita
(position)
Posita gugat adalah fakta-fakta atau
hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak. Ia merupakan dalil-dalil
kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan dari
tuntutan. Posita terdiri dari dua bagian, yakni bagian yang menguraikan tentang
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang
hukum. Bagian ini menguraikan tentang adanya hak atau hubungan hukum yang
menjadi dasar yuridis dari tuntutan.
c.
Petitum
Petitum atau disebut juga tuntutan
yaitu apa yang diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh
hakim. Petitum disebut juga dengan tuntutan hukum yang diminta penggugat untuk
dijatuhkan pengadilan kepada tergugat. Yang kedudukannya sebagai syarat formil,
sehingga gugatan tanpa petitum berarti surat gugatan mengandung cacat formil.
Dalam
hukum acara perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun gugatan kepada
pengadilan, yaitu pertama, substantiering theory, yakni teori yang menyatakan
bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar
gugatan, juga harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului
peristiwa hukum dam menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
Bagi
penggugat di dalam gugatannya ia tidak hanya menyebutkan bahwa ia pemilik
suatu benda, tetapi juga harus menyebutkan sejarah kepemilikannya. Misalnya
kerena ia membeli,. Atau dari hasil warisan, hadiah dan sebagainya. Kedua,
individualisering theory. Teori ini menyatakan bahwa dalam membuat surat
gugatan cukup ditulis yang pokok-pokoknya saja, tanpa harus menyebutkan
kejadian-kejadian tersebut. Sejarah terjadinya kepemilikan atas benda itu tidak
perlu dimasukan dalam gugatan, karena hal itu dapat dikemukakan dalam
persidangan dengan disertai bukti-bukti yang cukup.[12]
Dalam
praktek tuntutan dan petitum terdiri atas dua bagian yaitu tuntutan primer dan
tuntutan subside. [13]
a.
Tuntutan
primer antara lain:
1.
Menghukum
tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa dalam keadaan baik dan kosong kepada
penggugat.
2.
Menyatakan
sah dan berharga sita jaminan atas tanah sengketa.
3.
Menyatakan
putusan dapat dilaksanakan lebih dulu ( iutvoebaar bij voorraad), meskipun
timbul perlawanan, banding atau kasasi.
4.
Menghukum
tergugat untuk membayar uang paksa. Pembayaran uang paksa ini hanya mungkin
terhadap perbuatan yang harus dilakukan ileh tergugat yang tidak terdiri dari
pembayaran suatu jumlah uang, dan dikenakan setiap hari selama ia tidak
memenuhi isi putusan sejak putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap.
5.
Menghukum
tergugat membayar bunga, apabila tuntutan yang diminta oleh penggugat berupa
pembayaran sejumlah uang tertentu, karena lambat memenuhi isi perjanjian dan
diperhitungkan sejak diajukan gugatan ke pengadilan.
6.
Menghukum
tergugat untuk memberikan uang nafkah setiap bulan.
7.
Menghukum
tergugat untuk membayar biaya perkara.
b.
Tuntutan
subside antara lain:
1.
Jika
majelis hakim berpendapat lain , mohon memberikan putusan lain yang adil dan
benar
2.
Agar
hakim mengadili menurut keadilan yang benar
3.
Mohon
putusan yang seadil-adilnya
F.
Kelengkapan Gugatan dan Permohonan
Sekalipun
surat gugatan atau pemohonan sudah dibuat tetapi untuk mendaftarkan di Pengadilan
Agama tentunya harus dilengkapai dengan syarat-syarat lainnya. Syarat
kelengkapan gugatan atau permohonan, ada syarat kelengkapan umum dana ada
syarat kelengkapan khusus.
a.
Syarat
kelengkapan umum
Syarat
kelengkapan umum untuk dapat diterima didaftarkannya suatu perkara dipengadilan
ialah sebagai berikut:
1.
Surat
gugatan atau surat permohonan tertulis, atau dalam hal buta huruf, catatan
gugat atau catatan permohonan.
2.
Surat
keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi penggugat atau pemohon
3.
Vorskot
biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat membawa surat keterangan miskin
dari lurah/kepala desa yang disahkan sekurang-kurangnya oleh camat.
b.
Syarat
kelengkapan khusus
Syarat
kelengkapan khusus ini tidaklah sama untuk semua kasus perkara, melainkan
tergantung kepada macam atau sifat dari perkara itu , contohnya sebagai
berikut:
1.
Perkara
perkawinan harus melampirkan kutipan akta Nikah, seperti perkara gugatan cerai,
permohonan untuk menceraikan isteri dengan cerai talak dan sebagainya.
2.
Gugatan
pewaris harus disertakan surat keterangan kematian pewaris.
G.
Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan
UU Nomor 7 tahun 1989 Pasal 54 mengatakan bahwa Hukum Acara
Peradilan Agama selain daripada yang dimuat dalam UU tersebut, mempergunakan
Hukum Acara Perdata Peradilan Umum. Pengaturan tempat mengajukan
gugatan/permohonan yang dimuat dalam UU Nomor 7 tahun 1989 hanya terbatas bagi
perkara perkawinan cerai talak dan cerai karena gugatan. Selain perkara
tersebut berpegang pada aturan tempat mengajukan gugatan/permohonan yang dimuat
dalam UU Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975, sedangkan untuk perkara lainnya
berpegang pada peradilan Umum.
Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara perkawinan
sebagai berikut:
a.
Perkara
cerai talak
1.
Seorang
suami yang beragama islam yang yang akan menceraikan isterinya mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikanikrar
talak.
2.
Permohonan
tersebut diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat
kediamanyang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3.
Dalam
hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4.
Apabila
suami isteri (pemohon dan termohon) bertempat kediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
5.
Permohonan
soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama dengan
permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
b.
Perkara
cerai gugat
1.
Gugatan
perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah
hukumnyameliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
2.
Dalam
hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraiaan diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3.
Dalam
hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
c.
Permohonan
untuk beristri lebih dari seorang diajukan oleh pemohon (suami yang
bersangkutan) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman suami
(pemohon).
d.
Izin
kawin sebagai pengganti izin dari orang tua/wali/keluarga bagi calon mempelai
(laki-laki) atau perempuan) yang belum berusia 21 tahun dan tidak telah pernah
kawin sebelumnya, diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman
calon mempelai tersebut.
e.
Bagi
calon mempelai wanita yang mau kawin mendahului dari umur 16 tahun atau bagi
calon mempelai pria yang mau kawin mendahului dari umur 19 tahun, maka untuk
mendapatkan dispensiasi kawin, ia mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama
yang ditunjuk oleh orang tua masing-masing.
f.
Pencegahan
perkawinan terhadap rencana perkawinan karena tidak memenuhi syarat-syarat
perkawinan atau karena alasan hukum lainnya, diajukan permohonannya ke
Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan.
g.
Calon
mempelai yang ditolak untuk melangsungkan perkawinannya oleh Pegawai Pencatat
Nikah karena menurut Pegawai Pencatat Nikah tidak boleh, diajukan oleh si calon
ke Pengadilan Agama yang mewilayahi Pegawai Pencatat Nikah tersebut.
h.
Gugatan
Pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi dimana
perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atau ke Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat kediaman salah seorang dari suami isteri tersebut.
i.
Gugatan
gabungan (kumulasi obyektif), misalnya gugatan cerai yang disertai dengan
gugatan mengenai akibat dari perceraian tersebut, maka dilihatlah kepada pokok
perkaranya. Dalam hal ini, pokok perkaranya adalah gugatan cerai, untuk mana
berlakulah ketentuan seperti telah disebutkan pada butir (b) di muka.[14]
Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara selain perkara
perkawinan sama dengan tempat mengajukan gugatan/permohonan menurut Hukum Acara
Perdata Pengadilan Negeri, yaitu sebagai berikut:
1.
Asas
umumnya diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal tergugat.
2.
Kalau
tempat tinggal tergugat tidak diketahui, diajukan ke Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat nyatanya tergugat terdiam.
3.
Jika
tergugat lebih dari seorang, tidak tinggal dalam satu wilayah Pengadilan Agama,
diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilyahi salah satu dari tempat tinggal
tergugat menurut yang dipilih oleh penggugat.
4.
Jika
tergugat-tergugat satu sama lain sebagai perutang pertama dan penanggung,
diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggal si perutang pertama.
5.
Jika
tergugat tidak dikenal atau tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat
tinggalnya tidak dikenal, diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggal si
penggugat atau salah satu dari penggugat.
6.
Jika
gugatan mengenai benda tetap(onroeronde goederen) , diajukan ke Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat benda tetap itu.
7.
Kalau
penggugat dan tergugat telah memilih tempat berperkara dengan akta secara
tertulis, diajukan ke tempat Pengadilan Agama yang telah dipilih.[15]
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Darmansyah, Hukum Acara peradilan Agama, (Lambung
Mangkurat University Press 1993).
Makarao, Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta:
Rineka Cipta, 2009.
Manan, Abdul, Penetapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan al- hikmah, 2000.
Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, Bukittinggi: STAIN
Prees, 2010.
Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.
Sutanto, Retnowulan, Hukum Acara Perdata, Bandung: cv Mandar
Maju, 2009.
Rasyid, Roihan. A, Hukum Acara peradilan Agama, (PT
RajaGrafindo Persada 2007) ed: 3.
[1] Noviardi, Hukum
Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010), hal 28
[2] Mardani, hukum
acara perdata peradilan agama&mahkamah syariah, (jakarta: sinar
grafika, 2010), hlm: 80
[3] Aris Bintania,
Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012),
hal 4
[4] Darwan Prinst,
Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2002), hal 2
[5] Ibid,
hal 3
[6] Noviardi, Hukum
Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010), hal 34
[7] Taufik
Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata,(jakarta: Rineka Cipta, 2009),
hal, 16
[8] Ibid,
hal, 17
[9] Noviardi, Hukum
Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010), hal 34
[10] Darwan Prinst,
Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti,2002), hal47
[11] Taufik
Makarao,Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004),
hal 30
[12] Noviardi, Hukum
Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010), hal 32
[13] Loc Cit,
hal 30-31
[14] Darmansyah
hasyim, Hukum Acara Peradilan Agama, Banjarmasin: lambung mangkurat University press), hlm:
18-20
[15] H. Roihan A.
Rasyid, Hukum Acara peradilan Agama, (PT RajaGrafindo Persada), hlm:
54-55.
0 Comments:
Posting Komentar