Proses
Pemeriksaan Perkara dalam Sidang Pengadilan Agama
(Hukum
Acara Peradilan Agama)
A.
Sidang Pertama dan Pengertiannya
Sidang
pertama bagi pengadilan mempunyai arti yang sangat penting dan menentukan dalam
beberapa hal, misalnya sebagai berikut.
1.
jika
tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) sudah dipanggil dengan
patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama, ia akan
diputus verstek.
2.
Jika
penggugat atau pemohon sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak
datang menghadap pada sidang pertama, ia akan diputus dengan digugurkan
perkaranya.
3.
Sanggahan
(eksepsi) relatif hanya boleh diajukan pada sidang pertama. Kalau diajukan
sesudah itu, tidak akan diperhatikan lagi.
4.
Gugat
balik (reconventie) hanya boleh diajukan pada sidang pertama.
Oleh
karena itu, sidang pertama harus jelas, apa maksud atau artinya, supaya tidak
salah, misalnya dalam 4 hal disebutkan di atas tadi. Sidang pertama ialah
sidang yang ditunjuk/ditetapkan menurut yang tertera dalam penetapan hari
sidang (PHS) yang ditetapkan oleh ketua majelis, atau dapat juga diartikan
sidang yang akan dimulai pertama kali menurut surat panggilan yang disampaikan
kepada penggugat/tergugat.
B.
Jalannya Sidang Pertama
1)
Tugas
Panitera
Sesaat Sebelum Sidang
Panitera sidang, pada hari, tanggal dan jam sidang yang telah ditentukan,
mempersiapkan dan men-chek segala sesuatunya untuk sidang. Setelah siap,
panitera melapor kepada ketua majelis, lalu panitera sidang siap menunggu
diruang sidangpada tempat duduk yang disediakan baginya dan telah siap memakai
baju panitera sidang. Selanjutnya majelis hakim memasuki ruang sidang melalui
pintu yang khusus untuknya, dalam keadaan sudah berpakaian toga hakim. Begitu
majelis hakim memasuki ruang sidang, penitera mempersilahkan hadirin berdiri
dan setelah hakim duduk, mempersilahkan kembali hadirin untuk duduk. Tugas ini
bukan hanya untuk sidang pertama tetapi berlaku dalam segala persidangan.
2)
Ketua
Majelis Membuka Sidang
Ketua majelis membuka
sidang dan sekaligus dinyatakan terbuka untuk umum dengan ketokan palu 1 atau 3
kali. Khusus untuk peradilan agama sebagai peradilan islam, sebaliknya dibuka
dengan membaca basmalah, misal “sidang pengadilan agama ... dalam perkara ...
antara penggugat ... berlawanan dengan tergugat ... dibuka dengan sama-sama
membaca basmalah dan dinyatakan terbuka untuk umum.” UU Nomor 14 tahun 1970
pasal 17 (1) mengharuskan semua sidang pemeriksaan perkara dipengadilan,
terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Tidak
dipenuhinya ketentuan itu menyebabkan putusan batal demi hukum dan ketentuan
ini berlaku untuk semua lingkungan peradilan di indonesia. Pasal 18 dari UU
tersebut mengatakan bahwa semua putusan pengadilan sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Ketentuan ini berlaku
untuk semua putusan termasuk penetapan, sekalipun umpamanya sidang-sidang
sebelumnya dilakukan dalam sidang tertutup. Menurut UU No 14 tahun
1985, LN 1985-73 tentang mahkamah agung, tidak dipenuhinya kewajiban sidang terbuka untuk
umum ini dapat digunakan sebagai salah satu alasan memohon kasasi. Sidang
terbuka untuk umum artinya siapa saja boleh mengikuti/mendengarkan jalannya
sidang, boleh masuk ruang sidang, asal tidak mengganggu atau membuat keonaran
dalam sidang. Juga pihak-pihak, bagi keperluan perkaranya, jika dirasa perlu
boleh merekam jalannya sidang dengan tape-recorder, sehingga mereka sesewaktu
dapat menyimak sidang bagi kepentingan pembelaan perkaranya. Sidang tertutup
dimungkinkan kalau ada ketentuan khusus atau ada alasan khusus yang diajukan
oleh pihak atau pihak-pihak yang menurut majelis dikabulkan. Contoh bolehnya
sidang tertutup karena ada ketentuan khusus, pasal 17 ayat (3) UU Nomor 14
tahun 1970 menyebut, sidang permusyawaratan majelis hakim bersifat rahasia, dan
selalu dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum. Pasal 33 PP Nomor 9 tahun
1975 menyebut, pemeriksaan perkara gugatan cerai selalu dilakukan dalam sidang
tertutup untuk umum. Pasal 68 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989 menyebut,
pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup. Contoh
sidang tertutup atas permintaan pihak atau pihak-pihak yang dikabulkan oleh
majelis hakim, seperti karena perkaranya tersebut sangat berkaitan langsung
dengan nama baik, harkat dan martabat atau kesusilaan dan kehormatan pihak atau
pihak-pihak. Pertimbangan hakim majelis mengabulkan sidang tertutup harus
dengan penetapan sela, tetapi cukup dicantumkan dalam berita acara sidang saja,
tidak perlu dengan penetapan tersendiri, sebab penetapan sela di situ tidak
mempengaruhi kepada putusan akhir (eind vonnis) Sidang tertutup untuk umum
maksudnya ialah bahwa selain daripada yang berkepentingan langsung atau nyang
diizinkan oleh majelis hakim, harus meninggalkan ruang sidang. Tentu saja
diluar harus diawasi oleh petugas pengadilan agar tidak ada yang menguping,
termasuk mik dan speaker (pengeras suara) supaya disingkirkan. Sesudah sidang
dinyatakan terbuka untuk umum oleh ketua majelis, ketua majelis mengizinkan
pihak-pihak untuk memasuki ruang sidang. Atas izin ini, panitera sidang atau
petugas lain yang ditunjuk, memanggil pihak-pihak untuk masuk dan duduk pada
kursi yang disediakan untuknya. Sebagaimana sudah disebutkan bahwa menurut etik
sidang yang baik, penggugat duduk disebelah kiri dari tergugat. Selanjutnya,
ketua majelis akan mulai menanyakan identitas pihak-pihak.
3)
Ketua
Majelis Menanyakan Identitas Pihak-pihak
Pertanyaan pertama ketua
majelis adalah nama penggugat dan nama tergugat, untuk mengatur tempat
duduknya. Lalu dilanjutkan dengan menanyakan identitas pihak-pihak, dimulai
dari penggugat, seterusnya tergugat, yang meliputi nama, bin/binti,
alias/julukan/gelar (kalau ada), umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal
terakhir. Menanyakan identitas pihak-pihak di sini sangatlah formal, artinya
sekalipun mungkin saja sudah tahu/kenal dengan membaca surat gugatan
sebelumnya, namun menanyakan kembali di depan sidang ini adalah perlu (mutlak).
Perlu dikemukakan dua hal disini:
a.
menanyakan
identitas pihak-pihak, saksi-saksi atau lain-lain yang bersifat kebijaksanaan
umum dalam persidangan selalu oleh ketua majelis, sebab ketua majelislah yang
bertanggung jawab akan arahanya pemeriksaan/sidang.
b.
hakim
yang baik dan manusiawi, apalagi sebagai hakim agama, hendaklah selalu berusaha
menggugah hati para pihak sehingga mereka tidak merasa gentar yang akhirnya
terbukalah tabir persoalan yang sebenarnya. Setelah selesai masalah identitas,
hakim menanyakan kepada para pihak, apakah tidak ada hubungan keluarga atau
hubungan semenda dengan para hakim dan panitera yang sedang menyidangkan
perkara. Kalau dijawab ada, sidang akan memperbincangkan sejenak, apakah ada kewajiban
hakim untuk mengundurkan diri sehubungan dengan adanya hubungan itu.
Selanjutnya hakim akan menganjurkan damai antar pihak yang berperkara.
4)
Anjuran
Damai
Menurut HIR,
anjuran damai dari hakim sudah dilakukan (dalam sidang pertama) sebelum pembacaan
surat gugatan. Hal ini seperti kurang rasional, sebab bagaimana hakim tahu dan
bisa menganjurkan damai jika hakim sendiri belum tahu
duduk perkaranya. Begitu pula, sebelum penggugat membacakan gugatannya, apakah
tidak mungkin penggugat mengubah gugatannya. Anjuran damai sebenarnya dapat
dilakukan kapan saja sepanjang perkara belum diputus, tetapi anjuran damai pada
permulaan sidang pertama adalah bersifat “mutlak/wajib” dilakukan dan
dicantumkan dalam berita acara sidang, karena ada keharusan yang menyatakan
demikian, walaupun mungkin menurut logika, kecil sekali kemungkinannya. Pernah
juga terjadi perdamaian tetapi kebanyakan bukan terjadi dalam sidang pertama.
Kalau terjadi perdamaian maka dibuatkanlah akta perdamaian dimuka pengadilan
dan kekuatannya sama dengan putusan. Terhadap perkara yang sudah terjadi
perdamaian tidak boleh lagi diajukan perkara, kecuali tentang hal-hal baru
diluar itu. Akta perdamaian tidak berlaku banding sebab akta perdamaian bukan
keputusan pengadilan. Bila tidak terjadi perdamaian, hal itu harus dicantumkan
dalam Berita Acara Sidang, sidang akan dilanjutkan.
5)
Pembacaan
Surat Gugatan
Pembacaan surat
gugatan ini, sebagaimana sudah dikemukakan, sebaiknya dilakukan mendahului dari
anjuran damai dan pembacaan surat gugatan selalu oleh penggugat atau oleh kuasa
sahnya, kecuali kalau penggugat buta huruf atau menyerahkannya kepada panitera
sidang. Di tingkat banding dan di tingkat kasasi lain halnya, yang membacakan
segala berkas yang perlu itu, adalah panitera langsung, sebab pihak tidak hadir
lagi dimuka sidang. Selesai gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan
kalau tidak tercapai, ketua majelis melanjutkan dengan menanyakan kepada
tergugat, apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis dan kalau akan menjawab
tertulis apakah sudah siap atau memerlukan waktu berapa lama untuk itu. Bila
keadaannya seperti terakhir ini, tentu saja sidang kali itu akan ditutup, akan
dilanjutkan di kali yang lain. Jika tergugat akan menjawab lisan atau akan
menjawab tertulis tetapi sudah siap ditulisnya, sidang dilanjutkan dengan
mendengarkan jawaban tersebut. Jawaban pertama, baik lisan ataupun tertulis
dari tergugat ini disebut “replik” (cq. Replik 1), sedangkan jawaban penggugat
atas jawaban itu disebut “duplik” (cq. Duplik 1). Begitulah seterusnya,
replik-duplik, replik-duplik. Kalau replik-duplik tersebut berlangsung lisan,
pihak mau, hakim tidak keberatan, waktu mengizinkan, mungkin saja sidang
pertama itu berlangsung sampai pada tahap pembuktian bahkan mungkin saja sampai
pada tahap musyawarah majelis hakim, tetapi aneh sekali kalau langsung sampai
tahap pengucapan keputusan. Dikatakan aneh sebab putusan baru boleh diucapkan
setidak-tidaknya sudah dalam keadaan terkonsep rapi (walaupun belum diketik)
dan penulis merasa bahwa panitera Pengadilan Agama, juga hakim-hakimnya,
bukanlah komputer atau robot. Perlu diingatkan bahwa hak bicara terakhir di
depan sidang selalu pada tergugat, jadi replik-duplik belum akan berakhir
sepanjang tergugat masih ada yang akan dikemukakannya, kecuali kalau menurut
majelis, sudah ngawur alias tidak relevan. Itu berarti segala pemeriksaan dalam
semua tahap, selalu dimulai dari pihak penggugat dan diakhiri dari pihak
tergugat, tidak putar balik, apalagi terbalik.
C.
Hal-hal yang Mungkin Terjadi dalam Sidang
Terutama dalam Sidang
Pertama Sebagaimana sudah diterangkan bahwa hal-hal yang mungkin terjadi pada
sidang pertama dan justru sangat berpengaruh, cukup banyak, di antaranya akan
diterangkan di bawah ini satu persatu.
1.
Pihak-pihak
Tidak Hadir di Muka Sidang
Dalam perkara
perdata, kedudukan hakim adalah sebagai penengah di antara pihak yang
berperkara, ia perlu memeriksa (mendengarkan) dengan teliti terhadap
pihak-pihak yang berselisih itu. Itulah sebabnya pihak-pihak pada prinsipnya
harus semua hadir di muka sidang. Berdasarkan prinsip ini maka di dalam HIR
misalnya, diperkenankan memanggil kedua kali (dalam sidang pertama), sebelum ia
memutus verstek atau digugurkan.
2.
Penggugat
Tidak Hadir (Perkaranya Digugurkan)
Konsekuensinya
adalah perkara yang diajukan akan digugurkan. Penggugat yang tidak hadir ini
disebut dalam kitab Fiqh dengan istilah “almudda’y al gaib” sedangkan putusan
digugurkan disebut “al qada’u al masqut.
3.
Tergugat
Tidak Hadir (akan diputus verstek)
Jika tergugat
tidak hadir dengan sebab-sebab yang tidak dapat diketahui maka majelis hakim
memutus perkara dan memberikan putusan verstek. Dalam kitab fiqh islam memutus
dengan verstek disebut “al qada’u ‘ala al ga’ib”.
4.
Tergugat
Sebagian Hadir dan Sebagian Tidak Hadir
HIR Pasal 127
mengatur bahwa sidang wajib ditunda sampai kali yang lain. Terhadap penggugat
dan tergugat yang telah hadir diberitahukan langsung kapan sidang selanjutnya,
sedangkan terhadap tergugat yang belum hadir diperintahkan untuk dipanggil lagi
dengan surat panggilan. Pemeriksaan terhadap perkara yang tergugatnya tidak
hadir di sini berlangsung tanpa bantuan tergugat, disebut pemeriksaan
“contradictoir” atau “op tegenspraak”.
5.
Penggugat/Tergugat
Hanya Hadir di Sidang Pertama
Pada sidang
pertama tergugat mungkin hadir tetapi pada sidang-sidang
selanjutnya tidak pernah hadir lagi bahkan sampai sidang pengucapan keputusan
juga tidak hadir. Kalau pengguggat sudah pernah hadir di sidang pertama,
sekalipun sidang-sidang selanjutnya atau bahkan pada waktu pengucapan keputusan
tidak hadir maka perkaranya tidak bisa lagi digugurkan. Jadi berjalanlah
seperti biasa, hanya saja tanpa bantuan penggugat. Jika keadaan seperti itu
terjadi pada tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) maka perkaranya
tidak bisa lagi diputus verstek, melainkan dengan putusan biasa tetapi tanpa
bantuan tergugat atau termohon.
6.
Suatu
Permasalahan
Sebagaimana
sudah sering dikemukakan bahwa di lingkungan Peradilan Agama ada perkara
permohonan yang melahirkan adanya pemohon dan termohon tetapi perkara terebut
dianggap perkara peradilan yang sesungguhnya (jurisdiction contentiosa). Produk
peradilan agama terhadap perkara itu sendiri, kadangkala putusan kadangkala
penerapan. Dalam kaitannya dengan soal verstek, digugurkan, eksepsi,
reconventie, maka pemohon di situ harus dianggap penggugat dan termohon harus
dianggap tergugat, sekalipun produk pengadilan agama mungkin penetapan. Itu
sebagai konsekuensi bahwa termohon boleh turut ke dalam proses, di
mana ia berhak banding dan atau seterusnya kasasi.
7.
Proses
dengan Tiga Pihak (Intervensi dan Vrijwaring)
a.
Intervensi
Intervensi
(tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara
itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan karena
pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh
penggugat dan tergugat. Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan
putusan sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara
yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi
.
b.
Vrijwaring
Vrijwaring
adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan
tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). Vrijwaring diajukan dengan
sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan
atau tertulis. Misalnya: tergugat digugat oleh penggugat, karena barang yang
dibeli oleh penggugat mengandung cacat tersembunyi, padahal tergugat membeli
barang tersebut dari pihak ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar
pihak ketiga tersebut bertanggung jawab atas cacat itu.
8)
Gugatan
Kembali (Reconventie)
Reconventie
adalah salah-satu di antara hal-hal yang mungkin terjadi dalam jawaban pertama
tergugat.
9)
Pencabutan
Gugatan
Pencabutan
gugatan, baik penggugat sendirian atau bersama-sama, boleh saja dilakukan, asal
dengan cara tertentu. Kalau penggugat terdiri dari beberapa orang, ada yang
mencabut dan ada yang tidak maka pencabutan hanya berlaku bagi yang mencabut
saja, sedangkan perkara tetap jalan. Jika pencabutan terjadi bukan atas
perdamaian antara penggugat dan tergugat melainkan atas kehendak penggugat
sendiri maka perkara itu masih boleh diajukan ke pengadilan di kali yang lain
(kalau ia mau) dengan prosedur perkara baru. Dengan dicabutnya permohonan
banding dan atau kasasi maka perkara banding atau kasasi tersebut tidak boleh
lagi dimohonkan kembali banding atau kasasi sekalipun tenggang waktu banding atau
kasasi belum berakhir.
10)
Perubahan
Gugatan
Perubahan
gugatan, termasuk penambahan atau pengurangan tidak diatur dalam HIR atau RBg.
Oleh karena itu, menurut Prof.Subekti,S.H. (mantan ketua Mahkamah Agung),
cukuplah kita berpendapat bahwa perubahan, termasuk penambahan dan pengurangan gugatan
diperkenankan, asal perubahan tersebut tidak merugikan kepentingan kedua belah
pihak.
Arti kata lain dari Perubahan gugatan ialah :
a.
Perubahan
atau penambahan gugatan, sepanjang bukan mengemukakan hal/tuntutan baru yang
sama sekali lain daripada yang semula, pada prinsipnya diperkenankan, dengan
syarat dengan persetujuan majelis hakim. Jika tergugat sudah menjawab, juga
ditambah dengan persetujuan tergugat.
b.
Perubahan
atau penambahan gugatan yang sama sekali lain daripada yang semula, yang
merupakan hal/tuntutan baru sama sekali, tidak diperkenankan.
c.
Majelis
hakim dalam mempertimbangkan boleh atau tidaknya adalah melihat kasus demi
kasus.
11)
Pihak
Meninggal Dunia
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 5 tahun 1968
tertanggal 11 November 1968, ada diberikan petunjuk bahwa perkara kasasi yang
diajukan oleh ahli waris dalam hal pihak meninggal dunia, harus ada surat
keterangan keahli-warisan dari kepala desa/lurah yang mewilayahi pihak yang
meniggal dunia tersebut. Menurut Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A. SEMA
tersebut tidak berlaku bagi pihak yang beragama islam. Tidak sah surat
keterangan keahli-warisan yang dikeluarkan oleh lurah/kepala desa dengan alasan
sebagai berikut.
a.
Menetapkan
sah atau tidak sahnya ahli waris bagi mereka yang beragama islam hanya sah jika
diberikan oleh Pengadilan Agama, lebih-lebih setelah berlakunya UU No. 7 tahun
1989.
b.
Lurah/kepala
desa, tidak semuanya beragama islam, yang tentunya tidak tahu siapa ahli waris
dan bukan ahli waris menurut islam. Dan menurutnya, kalau pihak yang dalam
proses berperkara itu beragama islam dan meninggal dunia, perkaranya dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya yang sah melalui penetapan pengadilan agama.
D.
Majelis Hakim
1.
Hakim
Majelis Sekurang-kurangnya Tiga Orang.
2.
Pergantian
Hakim Majelis.
3.
Larangan
Hakim Menyidangkan Perkara dan Hak Ingkar.
4.
Sidang
Keliling dan Berkamar.
5.
Susunan
Tempat Duduk Hakim.
6.
Toga
Hakim dan Baju Panitera
E.
Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara
Pada sidang
pertama ini, ada hal-hal penting yang mungkin terjadi dan sangat berpengaruh
terhadap proses perkara, seperti eksepsi, reconventie, intervensi dan
sebagainya, bahkan mungkin juga tergugat/termohon tidak hadir tanpa alasan.
1.
Tahap
Jawab-Berjawab (Replik-Duplik) Hal yang perlu diingat disini:
a.
Tergugat/termohon
selalu mempunyai hak bicara terakhir;
b.
Pertanyaan
hakim kepada pihak hendaklah terarah, hanya menanyakan yang relevant dengan
hukum. Begitu juga replik-duplik dari pihak;
c.
Semua
jawaban atau pertanyaan dari pihak ataupun dari hakim, harus melalui dan izin
dari ketua majelis;
d.
Pertanyaan
dari hakim kepada pihak, yang bersifat umum atau policy arahnya sidang, selalu
oleh hakim ketua majelis. Bilamana pihak-pihak dan hakim tahu dan mengerti
jawaban atau pertanyaan mana yang terarah dan relevant dengan hukum, tentunya
proses perkara akan cepat, singkat dan tepat.
2.
Tahap
pembuktian Hal-hal yang perlu ditekankan disini adalah:
a.
Setiap
pihak mengajukan bukti, hakim perlu menanyakan kepada pihak lawannya, apakah ia
keberatan/ tidak. Jika alat bukti saksi yang dikemukakan, hakim juga harus
member kesempatan kepada pihak lawannya kalau-kalau ada sesuatu yang ingin
ditanyakan oleh pihak lawan tersebut kepada saksi;
b.
Semua
alat bukti yang disodorkan oleh pihak, harus disampaikan kepada ketua majelis
lalu ketua majelis memperlihatkannya kepada para hakim dan pihak lawan dari
yang mengajukan bukti;
c.
Keaktifan
mencari dan menghadirkan bukti di muka sidang adalah tugas pihak itu sendiri
dan hakim hanya membantu kalau diminta tolong oleh pihak, seperti memanggil
saksi.
3.
Tahap
penyusunan konklusi Setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum musyawarah
majelis hakim, pihak-pihak boleh mengajukan konklusi (kesimpulan-kesimpulan
dari sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan). Karena konklusi ini
sifatnya membantu majelis, pada umumnya konklusi tidak diperlukan bagi
perkara-perkara yang simpel, sehingga hakim boleh meniadakannya. Kita ingat
bahwa hakim juga manusia yang kemampuan ingatnya terbatas, di samping mungkin
ada diantara sidang-sidang yang hakim anggotanya berganti dan itulah perlunya
konklusi. Pihak yang sudah biasa berperkara, biasanya selalu membuat
catatan-catatan penting setiap suatu sidang berakhir, dan itulah nanti yang
akan diajukannya sebagai konklusi terakhir.
4.
Musyawarah
majelis hakim Menurut undang-undang, musyawarah majelis hakim dilakukan secara
rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh meninggalkan
ruang sidang. Panitera sidang sendiri, kehadirannya dalam musyawarah majelis
hakim adalah atas izin majelis. Dikatakan rahasia artinya, baik dikala
musyawarah maupun sesudahnya, kapan dan dimana saja, hasil musyawarah majelis
tersebut tidak boleh dibocorkan sampai ia diucapkan dalam keputusan yang terbuka
untuk umum.
5.
Pengucapan
keputusan Pengucapan keputusan hanya boleh dilakukan setelah keputusan selesai
terkonsep rapi yang sudah ditanda tangani oleh hakim dan panitera sidang.
Selesai keputusan diucapkan, hakim ketua majelis akan menanyakan kepada pihak,
baik tergugat ataupun penggugat, apakah mereka menerima keputusan ataukah
tidak. Bagi pihak yang hadir dan menyatakan menerima keputusan maka baginya
tertutup upaya hukum banding, bagi pihak yang tidak menerima dan pikir-pikir
dahulu baginya masih terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
Ar Rasyid.
Roihan, 1998, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Al-Faruq.
Asadulloh, 2009, Hukum Acara Peradilan Islam, Yogyakarta: penerbit pustaka
yustisia
Djalil. Basiq,
2006, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Putra Grafika
Fauzan. M,
2007, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta:Kencana
Hamid. Andi
Tahir, 2006, Beberapa Hal Baru Peradilan Agama dan Bidangnya, Jakarta:
Sinar Grafika
Manan.
Abdulloh, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta: kencana
Zuhriah.
Erfaniah, 2009, Peradilan Agama Indonesia, Malang: UIN-Malang
Press
0 Comments:
Posting Komentar