HUKUM
ACARA PERADILAN AGAMA
A.
Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama
Beberapa
hal yang perlu di mengerti lebih dahulu, sehubungan dengan “Hukum Acara
Peradilan Agama”, ialah tentang “Hukum Acara”, dan “Peradilan Agama”.
a.
Hukum
Acara
Istilah Hukum Acara, sering juga
disebut dengan istilah Hukum Proses atau Hukum Formal. Proses berarti suatu
rangkaian perbuatan, yaitu mulai dari memasukan permohonan atau gugatan sampai
selesai diputus dan dilaksanakan.
Tujuan dari proses ialah untuk
melaksanakan penentuan bagaimana hukumnya suatu kasus dan bagaimana hubungan
hukum antara dua pihak yang berperkara itu sebenarnya dan seharusnya, agar
segala apa yang ditetapkan oleh pengadilan dapat direalisir dengan secara paksa
dan karenanya dapat terwujud secara pasti.
Kemudian dalam hal Hukum Acara
diistilahkan dengan hukum formal, maka pengertian ditekankan pada masalah
bentuk atau cara, yang maksudnya hukum
yang mengutamakan pada kebenaran bentuk atau cara. Itulah sebabnya beracara di
muka Pengadilan tidak cukup hanya tahu dengan hukum tetapi lebih dari itu harus
tahu terhadap bentuk atau caranya yang spesifik itu, sebab ia terikat pada
bentuk-bentuk atau cara-cara tertentu yang sudah diatur. Keterikatan kepada
bentuk atau cara ini, berlaku bagi para hakim dan dengannya pula perbuatan
semena-mena dapat diantisipasi sedini mungkin.
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa Hukum Acara atau Formal itu sebenarnya hanya untuk mengabdi
atau untuk mewujudkan atau mempertahankan Hukum Material.
Mengutamakan kebenaran formal disini
tidaklah berarti bahwa hukum acara perdata sekarang ini mengenyampingkan
kebenaran material sebab menurut para Ahli Hukum dan Mahkamah Agung, kini sudah
tidak lagi untuk berpendapat demikian. Hukum Acara perdata kini ini pun sudah
harus mencari kebenaran material seperti juga prinsip Hukum Acara Pidana.[1]
b.
Peradilan
Agama
Peradilan Agama adalah salah satu
dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang
berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang islam di
Indonesia.[2]
Sebagaimana diketahui bahwa
Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan islam di Indonesia jadi
ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan negara dan syariat islam
sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Acara Peradilan Agama diusulkan sebagai
berikut:
Segala peraturan baik yang bersumber
dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat islam yang
mengatur bagaimana cara bertindak ke muka Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan
perkaranya, untuk mewujudkan hukum material islam yang menjadi kekuasaan
peradilan Agama.[3]
Untuk menghindari kekeliruan
pengertian antara Peradilan Agama dengan Peradilan Islam, perlu adanya
kejelasan kearah pengertian tersebut.
Peradilan Agama adalah peradilan
islam limitatif, yang telah dimutatis mutandiskan dengan keadaan di Indonesia.
Adapun mengenai istilah Peradilan Islam tanpa
dikaitkan dengan kata-kata indonesia maka yang di maksud adalah peradilan yang
mengadili jenis-jenis perkara perdata menurut islam secara universal. Oleh
karena itu, peradilannya mempunyai prinsip kesamaan sebab hukum islam itu tetap
satu dan berlaku atau dapat diberlakukan dimanapun, bukan hanya untuk suatu
bangsa atau suatu negara tertentu saja.[4]
Peradilan Agama sebagai perwujudan
Peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat dari beberapa sudut pandang:
1.
Secara
filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk menegakan hukum dan
keadilan. Hukum yang ditegakan adalah hukum Allah yang telah disistematisasi
oleh manusia.
2.
Secara
yuridis hukum islam (di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,
shadaqah) berlaku di Peradilan Agama.
3.
Secara
Historis Peradilan Agama merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam yang
berkesinambungan sejak masa Rasulullah Saw.
4.
Secara
Sosiologis Peradilan Agama didukung dan dikembangkan oleh dan di dalam
masyarakat islam.[5]
Unsur-unsur Peradilan Agama meliputi: kekuasaan Negara yang
merdeka, penyelenggara kekuasaan negara yaitu pengadilan, perkara yang menjadi
wewenang Pengadilan, orang-orang yang berperkara, hukum yang dijadikan rujukan
dalam berperkara, prosedur dalam menerima memeriksa mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara, penegakan hukum dan keadilan, sebagai tujuan.[6]
Undang-undang aturan Hukum Acara Peradilan Agama disebutkan pada
bab IV undang-undang Peradilan Agama. Diantaranya bahwa Hukum Acara yang
berlaku di Pengadilan Agama Adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama.[7]
B.
Sumber Hukium Acara Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, yang
wewenangnya memeriksa memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang: 1) Perkawinan; 2)
kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan bedasarkan hukum islam; 3) wakaf
dan shadaqah.
Untuk melaksanakan tugasnya tersebut, Peradilan Agama mempergunakan
Acara yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga Acara
dalam hukum tidak tertulis(Maksudnya hukum formal islam yang belum diwujudkan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia).
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, maka Hukum
Acara Peradilan Agama sudah kongkrit, yaitu: “Hukum Acara yang berlaku di
Pengadilan Agama Adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-undang Peradilan Agama”.[8]
Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang
besumber (garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu:
1.
Yang
terdapat dalam UU Nomor 7 tahun 1989.
2.
Yang
berlaku di lingkungan Peradilan Umum.
Peraturan perundang-undangan menjadi inti Hukum Acara Perdata
Peradilan Umum, antara lain:
1.
HIR
(Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglement Indonesia
yang di Baharui)
2.
Rgb
(Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglement untuk daerah
Seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura.
3.
Rsv
(Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu
berlaku untuk Raad van Justitie.
4.
BW
(Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Eropa
5.
Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1989, tentang peradilan umum
Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama
berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, adalah:
1.
UU
Nomor 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
2.
UU
Nomor 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung
3.
UU
Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975, tentang perkawinan dan
pelaksanaannya
Jika demikian halnya, maka Peradilan Agama dalam Hukum Acara
minimal harus memperhatikan UU Nomor 7 tahun 1989, ditambah dengan 8 macam
peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan. Selain itu, Peradilan Agama
masih harus memperhatikan hukum proses menurut Islam. Kesemuanya inilah yang
dinamakan sumber Hukum Acara Peradilan Agama.[9]
C.
Kesulitan Beracara di Muka Peradilan Agama
Beracara
di Muka Peradilan Agama tidaklah semudah seperti diperkirakan oleh sementara
orang bahkan lebih sulit dari ber-Acara di muka Peradilan Umum. Untuk ber-Acara
di muka Peradilan Agama orang harus memahami secara benar dan baik Hukum Acara
yang termuat dalam UU nomor 7 1989 sebagai Ketentuan Khusus. Selanjutnya orang
harus memahami dan mengerti pula terhadap aturan-aturan Hukum Acara Perdata
yang digunakan di muka Peradilan Umum sebagai Ketentuan Umumnya, padahal
mempelajari Hukum Acara Peradilan umum saja sudah merupakan suatu hal yang
tidak mudah. Selain dari itu orang juga harus memahami bagaimana cara
mewujudkan hukum material Islam melalui hukum proses islam.[10]
D.
Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Peradilan Agama
a.
Tujuan
Hukum Acara Peradilan Agama
Sebagaimana telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni
menyangkut perkara-perkara: (a) Perkawinan; (b) Waris; (c) Wasiat; (d) Hibah;
(e) Wakaf; (f) Zakat; (g) Infaq; (h) Shadaqah; (i) Ekonomi Syari'ah.
Selain kewenangan tersebut, pasal
52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan bahwa “Pengadilan agama
memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun
Hijriyah”. Penjelasan lengkap pasal 52A ini berbunyi: “Selama ini pengadilan
agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap
kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap
memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka
Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu)
Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau
nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat. Di
samping itu, dalam penjelasan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 diberikan pula
kewenangan kepada PA untuk Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Islam.
b.
Fungsi
Hukum Acara Peradilan Agama
Hukum
Acara Peradilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.
Fungsi
Mengadili (judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang
menjadi kewenangan pengadilan agama di wilayah hukum masing-masing ; (vide:
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang Nomor 3 Tahun
2006).
2.
Fungsi
Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku
Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya (vide: Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006), serta
terhadap pelaksanaan administrasi umum. (vide: Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman).
3.
Fungsi
Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada
jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yudisial, administrasi peradilan
maupun administrasi umum. (vide: Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
4.
Fungsi
Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi kepaniteraan bagi
perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi, perkara banding, kasasi
dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan
pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama
(Bidang Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang Umum).
5.
Fungsi
Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum
Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya, apabila diminta sebagaimana
diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
6.
Fungsi
lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset dan penelitian serta lain
sebagainya, seperti diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI. Nomor:
KMA/004/SK/II/1991.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad
Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Rajawali Pers 2002) ed:1, cet:
2.
Bisri, Cik
Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, (rajawali pers 2003), ed: rev, cet:
4
Hasyim,
Darmansyah, Hukum Acara peradilan Agama, (Lambung Mangkurat University
Press 1993)
Rasyid, Roihan.
A, Hukum Acara peradilan Agama, (PT RajaGrafindo Persada 2007) ed: 3.
http://www.pa.batang.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118&Itemid=117
[1] H. Darmansyah
Hasyim, Hukum Acara peradilan Agama, (Lambung Mangkurat University
Press), hlm: 2.
[2] H. Roihan A.
Rasyid, Hukum Acara peradilan Agama, (PT RajaGrafindo Persada), hlm: 6.
[3] Ibid, hlm:
10.
[4] H. Darmansyah
Hasyim, Hukum Acara peradilan Agama, (Lambung Mangkurat University
Press), hlm: 3-4.
[5] Cik Hasan
Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (rajawali pers), hlm: 24-25.
[6] Ibid,
hlm: 26.
[7] H. Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, rajawali pers, hlm: 273.
[8] H. Darmansyah
Hasyim, Hukum Acara Peradilan Agama, (Lambung Mangkurat University
Press), hlm: 4.
[9] H. Roihan A.
Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (PT RajaGrafindo Persada), hlm:
20-21.
[10] Ibid,
hlm: 23.
[11]Website resmi
Pengadilan Agama Batang
0 Comments:
Posting Komentar