BAB 1
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Tujuan dari ilmu tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya. Seseorang yang sudah mencapai perasaan atau keadaan terdekat dengan Allah maka dapat dikatakan tujuan orang tersebut berhasil dicapai. Jadi orang melakukan ibadah kepada Allah bukan untuk mencari maqam, melainkan semata-mata karena Allah, dan juga bukan untuk terhindar dari neraka dan masuk ke surga.
Orang yang sudah mencapai tingkatan orang yang mendekatkan diri kepada Allah, maka ia akan selalu merasa melihat Allah atau merasa Allah sebagai kekasihnya selalu menyertainya. Adakalanya orang tersebut mencapai tingkatan yang dinamakan ma’rifah yang merupakan salah satu tingkatan orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Dan adakalanya yang mencapai tingkatan mahabbah kepada Nya.
Orang yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah terdapat tanda-tanda yang membedakan dengan orang lain dan juga merupakan ciri khasnya, antara lain Cahaya ma’rifah tidak akan memudarkan kerendahan hati. Tidak mengukuhi secara batiniah ilmu yang bertentangan dengan hukum lahiriah. Nikmat-nikmat yang telah Allah SWT berikan tidak menyebabkan dilanggarnya larangan-larangan Allah SWT. Namun tidak semua sufi mampu untuk mencapai tingkatan ini. Karena persyaratannya sangat sulit dicapai.
Setelah orang tersebut mencapai ma’rifah maka selanjutnya orang tersebut akan merasa fana’ kemudian baqa’ dan kemudian ittihad atau menyatu. Karena ia merasa bahwa selain Allah itu tidak ada, maka ia dan Tuhannya merasa menjadi satu. Maka dari itu kami akan menguraikan mengenai ketiganya, sebab ketiganya merupakan inti sari dari ajaran tasawuf dan termasuk tasawuf falsafi.



B.  Rumusan masalah
1.    Siapa Abu Yazid Al-busthomi dan  bagaimana perjalanan hidup ?
2.    Bagaimana hidup kesufian Abu Yazid Al- Busthomi?
3.    Bagaimana fana baqo menurut konsep Abu Yazid Al- Busthomi?
4.    Apa saja pendapat ulama tentang ittihad yamg dialami Abu Yazid Al- Busthomi?
C.  Tujuan masalah
1.    Mengenali abu yazid dan mengetahui kehidupan duniawi dan rohani beliau.
2.    Memahami ajaran ajaran yang beliau bawa.
3.    Memahami fana’ baqo’ menurut konsep Abu Yazid Al-Busthomi
4.    Mencari kebenaran tentang hal-hal yang simpang siur tentang ke sufian Abu Yazid Al- Busthomi.





















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Tasawuf, Sufi dan Tujuannya
Al-Klabadzi, Al-Syukhrawardi, Al-Qusyaeri, dan beberapa ulama sufi lainnya berpendapat kata tasawuf berasal dari kata “ shuf”(صوف)  yang berarti bulu domba atau wol, walaupun dalam kenyataannya tidak setiap kaum sufi memakai pakaian wol.[1]
Berbicara tentang tasawuf tidak terlepas dari pembahasan tentang para sufi. Tujuan kaum sufi adalah mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan, sehingga mereka dapat melihat Tuhan (ma’rifat). Menurut Imam Qusyairi
عَلاَمَةُ الصُّوْفِيّ الصَّادِقِ: أَنْ يَفْتَقِرَّ بَعْدَ الغِنىَ، وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ، وَيَخْفىَ بَعْدَ الشُّهْرَةِ، وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِيْ اَلْكَاذِبِ: أَنْ يَسْتَغْنِيَ بِالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ، وَيَعِزَّ بَعْدَ الذِلِّ، وِيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ.
Ciri-ciri kepribadian dan perilaku seorang sufi dibagi menjadi dua yaitu:
1.    Seorang sufi al-Shadiq: merasa miskin setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemulyaan, dan menyamarkan dirinya setelah terkenal.
2.    Seorang sufi al-Kadzib: merasa kaya akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana sebelumnya dia tidak masyhur.
Landasan filsafat tasawuf adalah Tuhan bersifat ada tapi tak tampak secara zhohir (immateri) dan Mahasuci. Maka unsur dari manusia yang dapat bertemu dengan Tuhan adalah unsur immateri manusia, yaitu ruh, dan ruh ini harus suci. Karena yang dapat mendekati Yang Mahasuci adalah yang suci pula. Ruh manusia, yang masuk ke tubuh manusia yang bernafsu, bisa dibuat kotor oleh hawa nafsu. Oleh karena itu, ruh harus disucikan dahulu dari kotoran-kotoran yang melekat pada dirinya.[2]
Pembersihan itu dilakukan dengan melaksanakan ibadah shalat, puasa dan haji, membaca al Qur’an dan banyak mengingat Tuhan dengan berdzikir. Maka dari itu, seorang sufi banyak melakukan shalat, puasa dan haji. Shalatnya tidak cukup hanya shalat lima waktu, tetapi dilengkapi dengan shalat sunnah dan lain-lain. Mereka banyak membaca al Qur’an, bahkan ada yang mengkhatamkannya dalam waktu sehari. Lidah mereka senantiasa berdzikir mengingat Tuhan.
Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan (thariqah) yang tidak mudah[3], dan berisi stasiun-stasiun (maqamat). Menurut abu bakar atjeh ada lima perkara yang nerupakan pokok ajaran semua tarekat, yaitu:
a.    Mempelajari ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan pelaksanaan semua perintah agama;
b.    Mendampingi guru-guru dan teman-teman setarekat untuk mempelajari cara melakukan ibadah dengan sebaik-baiknya;
c.    Meninggalkan rukhshah dann ta,wil untuk menjaga dan memelihara kesempurnaan amal;
d.   Menjaga dan mempergunakan waktu serta mengisinya dengan wirid dan doa guna mempertebal kusyu dann khudur;
e.    Mengekang diri jangan sampai menuruti hawa nafsu dan menjaga diri supaya tidak terjerumus ke dalam kesesatan.[4]
Namun para sufi masih juga belum puas. Mereka ingin lebih dekat lagi. Mereka berusaha melupakan diri dan memusatkan kesadaran pada diri Tuhan. Mereka pun sampai ke tingkat fana’, hancur kesadaran tentang dirinya dan tinggal kesadarannya tentang diri Tuhan. Yang terakhir ini disebut baqa’. Dengan hancurnya kesadaran para sufi tentang dirinya dan tinggal kesadaran mereka tentang diri Tuhan, mereka akhirnya sampai pada tingkat bersatu dengan Tuhan. Di sini pada sufi sampai pada tujuan akhirnya.
Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang sejarah Abu Yazid al Bustami dan konsep-konsepnya tentang tasawuf sampai ittihadnya beliau  dengan Tuhan.




B.  Abu Yazid dan Konsep tasawufnya
a)    Riwayat Singkat Abu Yazid Al Bustami
Abu Yazid al Bustami lahir di Bustam, bagian Timur Laut Persia pada sekitar tahun 188 H-261 H/874-974 M. Dengan nama kecil Taifur, sedangkan nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa bin adam bin Syurusan. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Ayah abu yazid termasuk tokoh masyarakat bustam. Keluarga abu yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya, tetapi ia memilih hidup sederhana [5].
Masa remaja Abu Yazid adalah saat ia mulai tertarik dengan ketasawufan. Saat inilah pemikiran atau keingintahuan akan ilmu tasawuf pada Abu Yazid muncul. Abu Yazid pernah berkata, "Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Alloh.
Kejadiannya adalah sebagai berikut: Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka akupun mengambilnya, ternyata didalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itupun kosong. Oleh karena itu, aku pergi kesungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur"."malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tangaku kaku.
"Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?" ibuku bertanya.
"Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena", jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku, "Biarkan saja pintu itu setengah terbuka"
"Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali".
(Wahai manusia ingatkah kita di Qur'an Surat Al-Baqoroh ayat: 255) Sedang Alloh tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur. Selalu terjaga. Mengapakah kita masih sering terlena??
Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan beribadat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk dihadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya,"Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu".
"Jendela? Jendela yang mana?", tanya Abu Yazid.
"Telah sekian lama engkau belajar disini dan tidak pernah melihat jendela itu?"
"Tidak", jawab Abu Yazid, "apakah peduliku dengan jendela.Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini"."Jika demikian", kata si guru," kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai"[6].
Perlu berpuluh-puluh tahun bagi Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi. Sebelum menjadi sufi, ia terlebih dulu menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi. Gurunya yang terkenal adalah Abu Ali al-Sindi dari India. Abu Yazid mendapatkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya dari dia.
Setelah menjadi seorang faqih, Abu Yazid kemudian menjadi seorang zahid selama 13 tahun. Ia mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit makan, minum dan tidur. Baginya, zahid itu adalah seoarang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah.[7]
Abu yazid adalah orang pertama yang mempopulerkan sebutan al-fana dan al-baqa dalam tasawuf. Ia adalah syekh paling tinggi maqom dan kemuliaannya, serta sangat istimewa di kalangan kaum sufi.
Abu Yazid meninggal dunia pada tahun 261 H (875 M) di Bustam. Makamnya masih ada hingga saat ini. Makamnya yang terletak di tengah kota menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Pada tahun 1313 M, didirikan di atasnya sebuah kubah yang indah oleh seorang Sultan Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustam.[8]
b)   Konsep Tasawuf Abu Yazid
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’[9]. Namun sebelum kita lebih jauh membicarakan fana’ dan baqa’. Harus diingat bahwa abu yazid juga menjalani tahapan-tahapan dalam menjalani hidup kesufian. Begitu pula bagi para pembaca hendaknya memahami terlebih dahulu apa saja amalan dan latihan batin yang harus ditempuh para sufi. Supaya tidak salah memahami konsep tasawuf abu yazid. Abu yazid menceritakan kehidupan batiniyah nya menuju kefanaan yang sempurna, kata beliau:
 “Dua belas tahun lama nya aku menjadi pandai besi bagi diri ku sendiri. Aku lemparkan diriku ke dalam tungku disiplin sampai ia menjadi merah membara dalam nyala ikhtiar yang keras. Kemudian, aku taruh diriku pada tikar penyesalan, lalu kupukul dengan martil pengutukan diri sendiri. Lima tahun lamanya aku menjadi cermin diriku sendiri, dan cermin itu senantiasa kupoles. Dengan segala macam kebaktian dan kepatuhan kepada allah.  Setelah itu, setahun lamanya aku menatapi bayanganku sendiri didalam cermin itu dan terlihatlah olehku betapa di pingganggku melilit ikat pinggang kesesatan, kesombongan dan pemujaan diri sendiri yang hanya dimiliki oleh orang-orang kafir. Hal itu adalah karena aku membanggakan kepatuhan-kepatuhanku itu. Dan memuji perbuatan-perbuatanku itu. Maka, lima tahun lamanya aku bersusah payah lagi, sampai ikat pinggangku itu terlepas dari diriku, dan (setelah itu) jadilah aku seorang muslim yang baru”.[10]
c)    Fana’, Baqa, dan Ittihad
Setelah memahami betapa beratnya latihan batin yang di jalani Abu Yazid, mulailah penulis memaparkan tahapan selanjutnya dari perjalanan kesufian beliau. Abu Yazid yang mencapai kebersihan hati melalui riyadhah bathin akhirnya mendapat buah dari jerih payahnya yaitu kedekatan yang sangat dengan Tuhannya. Hal ini ini ditandai dalam salah satu perkataan nya.
أَعْرِفُهُ حَتَّى فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku hancur kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup,”
Fana, yang dirasakan oleh Abu yazid adalah fana’ ketika melihat haqiqat dari kebesaran Tuhannya. Oleh karena hilangnya kesadaran dirinya dan makhluk lain.[11]
Dari segi bahasa, kata fana’(الفناء) berasal dari kata faniya (فني) yang berarti musnah atau lenyap. Menurut Al-Thusi, fana, adalah “ hilangnya sifat jiwa”. Harun Nasution menjelaskan tahapan-tahapan dalam sufi yang menuju ke-fana’an:
من فنى عن المخالفات بقى فى الموافقات.
Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah taqwanya.
من فنى عن الأوصاف المذمومة بقى بالاوصاف المحمودة.
Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, tinggal baginya sifat-sifat yang baik.
من فنى عن أوصافه بقى بأوصاف الحق.
Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya sifat-sifat Tuhan.[12]
Dalam usaha mencapai fana’, pembersihan diri dari sifat jelek (المذمومة) saja tidak cukup tetapi juga dengan amalan zhohir apakah itu yang wajib ataupun sunnat. Karna seperti itulah tasawuf yang sebenarnya.
Imam Juanid Al- Bagdadi   berkata:
من تفقّه بغير تصوف فقد تفسّق ومن تصوّف بغير تفقّه فقد تزندق ومن جمع بينهما فقد تحقّق.
“Siapa merasa alim pada ilmu fiqih tapi tidak paham sedikitpun ilmu tasawuf maka ia tertipu dalam kefasikan, dan siapa merasa mengerti ilmu tasawuf tapi tidak paham ilmu fiqih dan meamalkan nya maka ia terjerumus dalam jurang kefasikan, dan siapa yang mampu menggabung amalan zhohir dan amalan batin maka ia di anggap ahli haqiqat yang sebenarnya”.[13]
Bahkan fana’ juga diartikan dengan hilangnya rasa pada diri entah itu rasa enak ataupun rasa sakit. Diceritakan dari Sari Al-Saqhati, seorang tokoh sufi dari abad ke-3: “Seandainya orang yang sedang fana’ itu dipukul dengan pedang di mukanya, niscaya dia tidak akan merasakan sakitnya. Adalah seorang sufi yaitu, abu al-khair al-aqtha’ menderita sakit gangrene (luka yang tidak dapat disembuhkan karena dibarengi dengan penyakit kencing manis kronis) di kakinya, maka menurut para tabib kakinya harus di amputasi. Namun beliau tidak mengizinkan ketika kakinya hendak dipotong. Murid-muridnya yang mengetahui kekhusuwan al-aqtha ketika shalat sampai-sampai fana’ dengan keadaan tubuhnya sendiri. Agar para tabib memotong kaki al-aqtha ketika beliau sedang sholat.  Maka di lakukanlah pemotongan ketika al-aqtha sedang sholat. Tak ada sedikitpun reaksi rasa sakit yang tergambar pada gerak tubuh al-aqtha. Sampai pemotongan selesai  dan akhirnya al-aqtha selesai sholat. Terkejutnya beliau kakinya ternyata sudah dipotong”.[14]


Kesimpulannya tingkatan tertinggi tasawuf terbagi dua, yaitu:
1)   شهود الكثرة في الوحدة)) artinya: penyaksian yang banyak pada yang satu (fana’)
2)   شهود الوحدة في الكثرة)) artinya: penyaksian yang satu pada yang banyak (baqo,)[15].
Setelah membicarakan tingkatan fana’. Penulis mulai membicarakan tingkatan selanjutnya, yaitu al-baqo’. Baqo, berasal dari kata (بقي) yang artinya tetap/kekal. Dalam segi istilah para sufi, baqo’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada allah[16].
Dalam menerangkan baqa’, al Qusyairi menyatakan: “Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tercela, ia sedang fana’ dari syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah;... Barangsiapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, ia sedang fana’ dari keinginannya, berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya....”[17]
Tingkatan baqo’ ini terlebih tinggi kedudukannya dari tingkatan fana’ karna tingkatan fana’ itu tingkatan yang merasa hancurnya diri di bawah keesaan allah (احدية الله) sedangkan baqo’ itu yaitu, merasa tetap dan kekal zat tuhan pada tiap-tiap sekalian mahkluk (واحدية الله).[18]
Tingkatan baqo’ juga bisa di sebut tingkatan tajalli atau zhuhur. Dan dapat di uraikan menjadi empat kalimat, yaitu:
1.    (ما رايت شيئا الا ورايت الله معه) artinya: apapun yang terlihat secara zohir, haqiqatnya allah besertanya.
2.    (ما رايت شيئا الا ورايت الله فيه) artinya: apapun yang terlihat secara zohir, haqiqatnya allah ada padanya.
3.    (ما رايت شيئا الا ورايت الله قبله) artinya: apapun yang terlihat secara zohir, haqiqatnya allah sebelumnya.
4.    (ما رايت شيئا الا ورايت الله بعده) artinya: apapun yang terlihat secara zohir, haqiqatnya allah sesudahnya[19].
Demikianlah tingkatan fana’ dan baqo’. Kemudian daripada itu penulis akan memaparkan tingkatan selanjutnya, yaitu ittihad. Ittihad secara bahasa berasal dari kata (اتّحد-يتّحد) yang artinya (dua benda) menjadi satu, yang dalam istilah para sufi yaitu saat seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan[20].
Ada beberapa pendapat ulama tentang ittihad, mulai dari menolak dan ada pula yang membela para sufi yang berfaham ittihad. Berikut penulis paparkan pendapat-pendapat ulama tersebut.
Ø  قَالَ السُّبْكِيُّ: وَكَذَا الصُّوفِيَّةُ يَنْقَسِمُونَ إلَى هَذَيْنِ الْقِسْمَيْنِ، وَأَطَالَ فِي ذَلِكَ. ثُمَّ قَالَ فِي آخِرِ كَلَامِهِ: وَمَنْ كَانَ مِنْ هَؤُلَاءِ الصُّوفِيَّةِ الْمُتَأَخِّرِينَ كَابْنِ عَرَبِيٍّ وَابْنِ سَبْعِينَ وَالْقُطْبِ الْقُونَوِيِّ وَالْعَفِيفِ التِّلْمِسَانِيِّ، فَهَؤُلَاءِ ضُلَّالٌ جُهَّالٌ خَارِجُونَ عَنْ طَرِيقِ الْإِسْلَامِ فَضْلًا عَنْ الْعُلَمَاءِ.
As-Subki berkata: begitu juga kalangan shufi terbagi dalam dua golongan ini, dijelaskannya panjang-lebar, lalu diakhir ucapannya berkata: golongan ulama shufi mutaakhirin seperti Ibnu Arabi, Ibnu Sab'in, al-Qawnawi, dan al-Tilmisani, mereka tersesat, jahil, keluar dari jalur islam apalagi jalur ulama.
Ø  وَقَالَ ابْنُ الْمُقْرِي فِي رَوْضِهِ: إنَّ الشَّكَّ فِي كُفْرِ طَائِفَةِ ابْنِ عَرَبِيٍّ كُفْرٌ.
Ibnu Muqri berkata: keraguan atas kekafiran golongan seperti Ibnu Arabi akan dihukumi kufur.
Ø  قَالَ شَيْخُنَا: وَهُمْ الَّذِينَ ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ عِنْدَ غَيْرِهِمْ الِاتِّحَادُ. قَالَ: وَالْحَقُّ أَنَّهُمْ مُسْلِمُونَ أَخْيَارٌ وَكَلَامُهُمْ جَارٍ عَلَى اصْطِلَاحِهِمْ كَسَائِرِ الصُّوفِيَّةِ وَهُوَ حَقِيقَةٌ عِنْدَهُمْ فِي مُرَادِهِمْ.
Zakariya al-Anshari berkomentar: golongan seperti Ibnu Arabi maksudnya golongan yang ucapan-ucapannya bagi orang lain tampak sebagai ucapan hulul. Pendapat yang benar atas masalah ini bahwa mereka tetap sebagai muslim terkemuka, ucapan-ucapan hulul tersebut diberlakukan dalam konteks istilah mereka para ulama shufiyah serta menjadi kalam haqiqi bagi mereka[21].
Dalam kitabnya, al Hawi li al-fatawa, jalaluddin as-suyuthi berkata, ketauhilah bahwa dalam ungkapan kaum sufi terdapat lafalh ittihad, sebagai isyarat untuk menunjukan hakikat tauhid. Jadi ittihad bagi mereka sebenarnya adalah kesungguhan dalam tauhid. Dan tauhid adalah mengetahui yang Satu dan Esa. Kemudian hal itu menjadi samar bagi orang yang tidak memahami isyarat mereka, sehingga dia membawa lafal tersebut kepada arti yang buka sebenarnya. Akhirnya, dia terjebak dala kesalahan dan binasa dengan semua itu.[22]
Dalam kitabnya, madarij as-salikin syarh manazil as-sa’irin, ibnul qoyyim al-jauziah berkata, “tingkatan ketiga dari fana’ adalah fana’ khusus para wali dan para Imam yang dekat dengan Allah, yaitu fana’ dari kehendak selai-Nya, menempuh jalan yang diridhoi-Nya, dan tenggelam dalam keinginan Kekasihnya terhadapnya dari keinginginannya terhadap Kekasihnya, keinginannya telah menyatu dengan keinginan Kekasihnya, Yang saya maksud adalah keinginan keagamaan, bukan keinginan keduniaan. Sehingga, kedua keinginan tersebut menjadi satu.[23]
Ibnu taimiyah berkata, tentang penakwilanya terhadap perkataan kaum sufi, dalam mamu’ah ar-rasa’il ia berkata, “Sedangkan perkataan penyair dalam syairnya: Aku adalah yang aku cintai * Dan yang aku cintai adalah aku. Yang di maksud penyair adalah ittihad maknawi, seperti menyatunya dua orang yang saling mencintai. Masing-masing dari keduanya mencintai apa yang dicintai orang yang dicintainya, membenci apa yang di benci orang yang dicintanya, berkata seperti orang yang dicintainya, dan berbuat seperti yang di perbuat orang yang dicintainya. Ini merupakan persamaan dan keserupaan, bukan ittihad (kesatuan) zat dengan zat. Jadi, dia telah tenggelam dalam  cintanya pada kekasihnya, sampai dia fana’ dari melihat dirinya sendiri, seperti yang dikatakan penyair yang lain:                 aku menghilang denganmu dari diriku sendiri*sehingga aku mengira bahwa engkau adalah aku. Hal ini adalah ittihad yang boleh.[24]
Untuk memahami ittihad yang terjadi pada diri Abu Yazid penulis menyadari sangat lah sulit. Karna pemahaman ittihad ini hanya di didasari melalui perkataan beliau yang sangat sulit pula di pahami (syatahat). Maksud syatahat adalah perkataan tentang sesuatu hal yang tidak bisa diterima hukum syari’at seperti (أنا الحق)[25]. Syatahat abu yazid sendiri sangat lah banyak. Ucapan dan pengalaman sufi abu yazid banyak diriwayatkan oleh murid-muridnya. Di antara murid-muridnya adalah keponakannya sendiri, abu musa bin idham, yang dengan perantaranya ucapan-ucapan abu yazid di ketahui oleh juanid al-bagdadi dan diterjemahkan ke dalam bahasa arab dengan di sertai komentar, yang sebagian di catat oleh al-sarraj dalam a-luma.[26]
Salah satu syatahat Abu Yazid yaitu: (إني انا الله لا إله إلا أنا فاعبدوني) artinya: Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku[27]. Perkataan Abu Yazid ini tentu tidak boleh di pahami bahwa Abu Yazid mengaku sebagai tuhan. Tetapi terlebih dahulu di pahami kapan Abu Yazid mengatakannya. Abu Yazid berkata demikian di tengah perjalannya menuju tanah suci. Di sebuah kota dalam perjalanan tersebut, suatu rombongan besar telah menjadi muridnya dan ketika ia meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya. "Siapakah orang-orang ini?", Abu Yazid bertanya sambil melihat kebelakang. "Mereka ingin berjalan bersamamu", terdengar sebuah jawaban. "Ya Allah!", Abu Yazid memohon, "Janganlah Engkau tutup penglihatan hamba-hambaMu karenaku". Doa ini kemudian di jawab Allah. Dengan kata-kata tersebut diatas. Hal ini tidak di pahami oleh orang yang mengikuti abu Yazid. Mereka pun berkata. "Abu Yazid sudah gila!", seru mereka kemudian meninggalkannya[28].
Bahkan ada beberapa syatahat dari Abu Yazid yang sangat sulit di pahami kecuali oleh para sufi yang sudah mencapai ketinggian jiwa pada pengenalan akan Tuhan, seperti:
فانقطع المناجاة ، فصارت الكلمة واحدة، و صار الكل بالكل واحدا، فقال لي : يا أنت ، فقلت به : يا أنا، فقال لي : أنت الفرد، قلت : أنا الفرد، قال لي : أنت أنت ، قلت : أنا أنا، و لو كنت أنا من حيث أنا لما قلت أنا ، فلما أنا ، لم أكن أنا ، فكنت أنت أنت، قال : أنا أنا[29]
Tetapi dapat di pahami bahwa kata-kata yang keluar ketika Abu Yazid mencapai ittihad adalah bukan karna kesadaran dirinya . Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan :
فنيت فقد أنا أما بنسيانى يتكلم الذى هو لأنه
Sebenarnya Dia (Allah) berbicara melalui lidahku sedang aku sendiri dalam keadaan fana.[30]
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihād. Hamka menyebutnya sebagai kata-kata Syathahat, artinya kata-kata yang penuh khayal, yang tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum. Karena orang yang sedang berkata pada saat itu sedang mabuk (bukan mabuk karena alkohol). Mabuk oleh fana’-nya, oleh tiada sadar akan diri lagi. Sebab tenggelam dalam lautan tafakkur. Abu Yazid jugalah yang menciptakan suatu istilah dalam tasawuf yang bernama “As-sakar”, yang berarti mabuk. Dan “Al-‘Isyq”, artinya mabuk karna rindu.[31]
Untuk menghindari dari perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan, Asmaran meyitir pendapat William James dalam bukunya The Varieties of Religion Experience.


James menyebutkan ada empat karakter khas pengalaman mistis :
1.    Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan; tidak ada uraian manapun yang memadai untuk bisa mengisahkannya dalam kata-kata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus dialami secara langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang lain.
2.    Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang yang mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dan pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa dirasakan.
3.    Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi; batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah jam, atau paling lama satu atau dua jam.
4.    Kefasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi.[32]

Selanjutnya penulis akan memberikan sedikit komentar tentang ajaran yang di bawa abu yazid al-busthomi. Menurut hemat penulis abu yazid tidak mengajarkan paham ittihad seperti yang di pahami selama ini. Hal ini didasari penelitian dengan membaca kitab-kitab dan buku-buku yang berhubungan dengan pejalanan sufi abu yazid. Sama sekali tidak ditemukan kalimat-kalimat yang menunjukan bahwa abu yazid mengajarkan faham ittihad. Sedangkan yang di pahami selama ini abu yazid sebagai pelopor ajaran ittihad adalah tidak berdasar. Penulis memahami ittihad adalah bukan ilmu yang bisa di pelajari karna ittihad ini tingkatan dimana aqal dan indrawi bahkan jiwa tidak akan sangggup menerimanya.
Ittihad menurut pemahaman penulis adalah satu tingkatan yang tidak ada seorang pun bisa mencapainya kecuali para nabi dan para wali. Apabila sampai seseorang berkat karunia Allah pada tingkatan ini. Niscaya jadilah ia kholifah allah pada bumi seperti nabi adam. Dan akan mengetahui ia semua yang zhohir atau tersembunyi dengan ilmu yang di berikan oleh allah. Seperti perkataan arif billah, (من عرف الله لا يخفى عليه شئ) artinya: siapa dapat mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan niscaya tidak terlindung sesuatu apapun. Dan akan menganugerahi Allah akan ilmu laduni yang diilhamkan oleh Allah ke hati hambanya dengan tiada pengajaran dari guru. Maka orang yang mempunyai ilmu itu dinamakan alim yang sebenarnya. Dan dinamakan pula alim robbani, yaitu orang yang mengambil ia akan ilmu daripada tuhannya kapanpun waktunya dengan tanpa mehapal dan belajar. Dan inilah yang di isyaratkan allah dalam firmannya: ([33]وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا) artinya kami ajarkan akan dia ilmu dari kami yakni tanpa washitoh belajar[34].
Sedangkan yang di ajarkan Abu Yazid adalah thoriqoh untuk mencapainya. Hal ini didasari dari beberapa bab didalam kitab majmuah al-sufiah Di dalam nya abu yazid bercerita perjalanannya menuju pengenalan tuhan. Tidak ada sdikitpun menyinggung ittihad. Ittihad hanya ada pada syatahat-syatahat beliau.dan syatahat tidak mungkin dipahami sebagai pengajaran karrna pada saat itu Abu Yazid sedang dalam keadaan tidak sadar.
Abdurrahman Siddiq Safat menambahkan, manakala tajalli Allah akan zat nya tidak dengan perantara sifat kepada seseorang hamba, menjadi fana’ lah dengan dirinya sendiri dan fana’ pula pada sekalian mahluk, maka tiada dapat ia menceritakan tajalli itu kepada seseorang jua pun, karna tiada ia mendapat dengan pengajaran gurunya, tetapi hanya menunjukan jalan dan tempatnya, karna itu adalah perkara pengalaman yang tidak bisa diceritakan (أمر ذوقي) maka siapa tidak merasakan nya maka ia tidak akan mengerti.
Seperti perkataan ahli sufi: (من لم يذق لم يدر) artinya: siapa belum pernah mengalami maka ia tidak akan mengerti[35].

C.  Masa Akhir Abu Yazid Al-Busthami
Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah tujuh puluh kali diterima Alloh ke hadhiratNya. Setiap kali kembali dari perjumpaan dengan Alloh itu, Abu Yazid mengenakan sebuah ikat pinggang yang lantas diputuskannya pula.
Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid memasuki tempat sholat dan mengenakan sebuah ikat pinggang. Mantel dan topinya yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik. Kemudian ia berkata kepada Alloh:
" Ya Alloh, aku tidak membanggakan disiplin diri yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku tidak membanggakan sholat yang telah kulakukan sepanjang malam. Aku tidak menyombongkan puasa yang telah kulakukan selama hidupku. Aku tidak menonjolkan telah berapa kali aku menamatkan Al Qur'an. Aku tidak akan mengatakan pengalaman-pengalaman spiritual khususku yang telah kualami, do'a- do'a yang telah kupanjatkan dan betapa akrab hubungan antara Engkau dan aku. Engkaupun mengetahui bahwa aku tidak menonjolkan segala sesuatu yang telah kulakukan itu.
Semua yang kukatakan ini bukanlah untuk membanggakan diri atau mengandalkannya. Semua ini kukatakan kepadaMu karena aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan rahmatMu sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri. Semuanya tidak berarti, anggaplah itu tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang Torkoman yang berusaha tujuh puluh tahun dengan rambut yang telah memutih di dalam kejahilan.
Dari padang pasir aku datang sambil berseru-seru,'Tangri-Tangri' Baru sekarang inilah aku dapat memutus ikat pinggang ini. Baru sekarang inilah aku dapat melangkah ke dalam lingkungan Islam. Baru sekarang inilah aku dapat menggerakkan lidahku untuk mengucapkan syahadat. Segala sesuatu yang Engkau perbuat adalah tanpa sebab. Engkau tidak menerima ummat manusia karena kepatuhan mereka dan Engkau tidak akan menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepadaMu limpahkanlah ampunanMu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena akupun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhiMu.
Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Alloh pada tahun 261 H /874 M[36].













BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Al-Klabadzi, Al-Syukhrawardi, Al-Qusyaeri, dan beberapa ulama sufi lainnya berpendapat kata tasawuf berasal dari kata “ shuf”(صوف)  yang berarti bulu domba atau wol, walaupun dalam kenyataannya tidak setiap kaum sufi memakai pakaian wol.
Berbicara tentang tasawuf tidak terlepas dari pembahasan tentang para sufi. Tujuan kaum sufi adalah mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan, sehingga mereka dapat melihat Tuhan (ma’rifat).
Abu Yazid al Bustami lahir di Bustam, bagian Timur Laut Persia pada sekitar tahun 188 H-261 H/874-974 M. Dengan nama kecil Taifur, sedangkan nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa bin adam bin Syurusan. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Ayah abu yazid termasuk tokoh masyarakat bustam. Keluarga abu yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya, tetapi ia memilih hidup sederhana  .
Masa remaja abu yazid adalah saat ia mulai tertarik dengan ketasawufan. Saat inilah pemikiran atau keingin tahuan akan ilmu tasawuf pada abu yazid muncul. Abu Yazid pernah berkata, "Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Alloh.
Abu Yazid yang mencapai kebersihan hati melalui riyadhah bathin akhirnya mendapat buah dari jerih payahnya yaitu kedekatan yang sangat dengan tuhannya. Dari segi bahasa, kata fana’(الفناء) berasal dari kata faniya (فني) yang berarti musnah atau lenyap.
Dalam usaha mencapai fana’, pembersihan diri dari sifat jelek (المذمومة) saja tidak cukup tetapi juga dengan amalan zhohir apakah itu yang wajib ataupun sunnat. Karna seperti itulah tasawuf yang sebenarnya.
Imam Juanid Al- Bagdadi   berkata:
من تفقّه بغير تصوف فقد تفسّق ومن تصوّف بغير تفقّه فقد تزندق ومن جمع بينهما فقد تحقّق.
“Siapa merasa alim pada ilmu fiqih tapi tidak paham sedikitpun ilmu tasawuf maka ia tertipu dalam kefasikan, dan siapa merasa mengerti ilmu tasawuf tapi tidak paham ilmu fiqih dan meamalkan nya maka ia terjerumus dalam jurang kefasikan, dan siapa yang mampu menggabung amalan zhohir dan amalan batin maka ia di anggap ahli haqiqat yang sebenarnya”. Bahkan fana’ juga diartikan dengan hilangnya rasa pada diri entah itu rasa enak ataupun rasa sakit.
Baqo, berasal dari kata (بقي) yang artinya tetap/kekal. Dalam segi istilah para sufi, baqo’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada allah[37].
Dalam menerangkan baqa’, al Qusyairi menyatakan: “Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tercela, ia sedang fana’ dari syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah;... Barangsiapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, ia sedang fana’ dari keinginannya, berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya....”
Ada beberapa pendapat ulama tentang ittihad, mulai dari menolak dan ada pula yang membela para sufi yang berfaham ittihad. Berikut penulis paparkan pendapat-pendapat ulama tersebut.
Ø  قَالَ السُّبْكِيُّ: وَكَذَا الصُّوفِيَّةُ يَنْقَسِمُونَ إلَى هَذَيْنِ الْقِسْمَيْنِ، وَأَطَالَ فِي ذَلِكَ. ثُمَّ قَالَ فِي آخِرِ كَلَامِهِ: وَمَنْ كَانَ مِنْ هَؤُلَاءِ الصُّوفِيَّةِ الْمُتَأَخِّرِينَ كَابْنِ عَرَبِيٍّ وَابْنِ سَبْعِينَ وَالْقُطْبِ الْقُونَوِيِّ وَالْعَفِيفِ التِّلْمِسَانِيِّ، فَهَؤُلَاءِ ضُلَّالٌ جُهَّالٌ خَارِجُونَ عَنْ طَرِيقِ الْإِسْلَامِ فَضْلًا عَنْ الْعُلَمَاءِ.
As-Subki berkata: begitu juga kalangan shufi terbagi dalam dua golongan ini, dijelaskannya panjang-lebar, lalu diakhir ucapannya berkata: golongan ulama shufi mutaakhirin seperti Ibnu Arabi, Ibnu Sab'in, al-Qawnawi, dan al-Tilmisani, mereka tersesat, jahil, keluar dari jalur islam apalagi jalur ulama.
Ø  وَقَالَ ابْنُ الْمُقْرِي فِي رَوْضِهِ: إنَّ الشَّكَّ فِي كُفْرِ طَائِفَةِ ابْنِ عَرَبِيٍّ كُفْرٌ.
Ibnu Muqri berkata: keraguan atas kekafiran golongan seperti Ibnu Arabi akan dihukumi kufur.
Ø  قَالَ شَيْخُنَا: وَهُمْ الَّذِينَ ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ عِنْدَ غَيْرِهِمْ الِاتِّحَادُ. قَالَ: وَالْحَقُّ أَنَّهُمْ مُسْلِمُونَ أَخْيَارٌ وَكَلَامُهُمْ جَارٍ عَلَى اصْطِلَاحِهِمْ كَسَائِرِ الصُّوفِيَّةِ وَهُوَ حَقِيقَةٌ عِنْدَهُمْ فِي مُرَادِهِمْ.
Zakariya al-Anshari berkomentar: golongan seperti Ibnu Arabi maksudnya golongan yang ucapan-ucapannya bagi orang lain tampak sebagai ucapan hulul. Pendapat yang benar atas masalah ini bahwa mereka tetap sebagai muslim terkemuka, ucapan-ucapan hulul tersebut diberlakukan dalam konteks istilah mereka para ulama shufiyah serta menjadi kalam haqiqi bagi mereka.
Maksud syatahat adalah perkataan tentang sesuatu hal yang tidak bisa diterima hukum syari’at seperti (أنا الحق). Syatahat abu yazid sendiri sangat lah banyak. Ucapan dan pengalaman sufi abu yazid banyak diriwayatkan oleh murid-muridnya. Di antara murid-muridnya adalah keponakannya sendiri, abu musa bin idham, yang dengan perantaranya ucapan-ucapan abu yazid di ketahui oleh juanid al-bagdadi dan diterjemahkan ke dalam bahasa arab dengan di sertai komentar, yang sebagian di catat oleh al-sarraj dalam a-luma.
Salah satu syatahat abu yazid yaitu: (إني انا الله لا إله إلا أنا فاعبدوني) artinya: Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Perkataan abu yazid ini tentu tidak boleh di pahami bahwa abu yazid mengaku sebagai tuhan. Tetapi terlebih dahulu di pahami kapan abu yazid mengatakannya. Abu yazid berkata demikian di tengah perjalannya menuju tanah suci. Di sebuah kota dalam perjalanan tersebut, suatu rombongan besar telah menjadi muridnya dan ketika ia meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya.
"Siapakah orang-orang ini?", abu yazid bertanya sambil melihat kebelakang.
"Mereka ingin berjalan bersamamu", terdengar sebuah jawaban.
"Ya Allah!", Abu Yazid memohon, "Janganlah Engkau tutup penglihatan hamba-hambaMu karenaku". Doa ini kemudian di jawab Allah. Dengan kata-kata tersebut diatas. Hal ini tidak di pahami oleh orang yang mengikuti abu Yazid. Mereka pun berkata. "Abu Yazid sudah gila!", seru mereka kemudian meninggalkannya.
Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah tujuh puluh kali diterima Alloh ke hadhiratNya. Setiap kali kembali dari perjumpaan dengan Alloh itu, Abu Yazid mengenakan sebuah ikat pinggang yang lantas diputuskannya pula.
Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid memasuki tempat sholat dan mengenakan sebuah ikat pinggang. Mantel dan topinya yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik. Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Alloh pada tahun 261 H /874 M
B.  Kritik dan Saran
Penulis menyadari lemahnya pemahaman akan materi yang diberikan oleh dosen pembimbing. Tetapi hal itu tidak menyurutkan keinginan kami untuk lebih maksimal dalam mengolah dan memperkaya isi makalah kami ini. Oleh sebab itu kami meminta dengan setulus hati kepada para pembaca yang budiman agar memberikan kirtik saran yang membangun supaya dengan kritik tersebut dapat membuat kami menyadari kesalahan dan dapat memeprbaiki kesalahan itu di makalah-makalah selanjutnya.
Saran penulis agar lebih memahami isi makalah kami. Kami minta pembaca yang budiman membaca dengan seksama isi makalah kami ini. Salam dan  Hormat  dari penulis.








DAFTAR PUSTAKA

v  Anwar, Rosihon mukhtar solihin, ilmu tasawuf, pustaka setia.
v  Ali, Ris’an. Ma, tasawuf dan tarekat, raja grafindo persada
v  Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf  Bandung: Pustaka Setia.
v  Asmaran, Makalah: Mengkaji Ulang Ajaran Tasawuf Ittihad Abu Yazid Al Bustami.
v  Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf Solo: Ramadhani
v  Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas)
v  Jumantori, Totok, Samsul Munir Amin, kamus ilmu tasawuf, amzah.
v  Khotib, Muhammad, mugnil al-muhtaj, dar al-fikri al-ilmiyah,
v  Muhammad, Qosim, Abbas, Abu Yazid Al-Busthomi Al-Majmuah Al-Sufiyah, Al Mada Publishing Company
v  Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan.
v  Nasution, Harun, Filsafat & Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang
v  Pustaka islami, kisah-kisah islam, abu yazid sang raja para mistik.
v  Qodir, Abdul, Isa, hakekat tasawuf, terjemah khairul amru harahap dan afrizal lubis, qisthi press.
v  Ris’an rusli, tasawuf dan tarekat, raja grafindo persada.
v  Shiddiq, Abdurrahman, , risalah amal ma’rifah serta taqrir, toko buku mawaddah, banjarmasin,
v  Tamami, psikologi tasawuf, pustaka setia.
v  Thoyyib, Muhammad, miftah al-jannah, haromain.
 





[1] Rosihon anwar, mukhtar solihin, ilmu tasawuf, pustaka setia, 2000, h. 10-11.
[2] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), h. 360.
[3] Tiap-tiap tariqah mempunyai syaikh, upacara ritual, dan bentuk zikir tersendiri. (Ilmu tasawuf, rosihon anwar, mukhtar solihin, pustaka setia, 2000, h.165)
[4] Totok jumantori, samsul munir amin, kamus ilmu taawuf, amzah, 2012, h.241.
[5] Tamami HAG, psikologi tasawuf, pustaka setia, 2011, h. 121.
[6] Pustaka islami, kisah-kisah islam, abu yazid sang raja para mistik.
[7] Rosihon anwar, Akhlak Tasawuf, h. 265.
[8] Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf (Solo: Ramadhani, 1984),  h.259.
[9] Tamami HAG, psikologi tasawuf, pustaka setia, 2011, h. 123.
[10] Ris’an rusli, tasawuf dan tarekat, raja grafindo persada, 2013, h. 90.
[11] Dalam menjelaskan pengertian fana’, Al-qusyairi menulis, “ fananya seseorang dari dirinya dan dari mahluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan mahluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula mahluk lain, tetapi ia tak lagi sadar pada dirinya dan pada diri mereka. Tamami HAG, psikologi tasawuf, pustaka setia, 2011, h. 124.
[12] Harun Nasution, Filsafat & Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 80.
[13] Syekh abdurrahman shiddiq, risalah amal ma’rifah serta taqrir, toko buku mawaddah, banjarmasin, h. 17.
[14] Prof. Dr. Ris’an ali. Ma, tasawuf dan tarekat, raja grafindo persada, 2013, h. 93.
[15] Syekh abdurrahman shiddiq, op.cit, h. 59
[16] Ri’an yusri, op.cit, h. 95.
[17] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 267.
[18] Syekh abdurrahman shiddiq, op.cit, h. 59-60.
[19] Syekh abdurrahman shiddiq, op.cit, h. 60.
[20] Tamami HAG, op.cit, h. 126.
[21] Muhammad khotib al-syarbini, mugnil al-muhtaj, dar al-fikri al-ilmiyah, 2011, h. 73-74.
[22] Syaikh abdul qodir isa, hakekat tasawuf, terjemah khairul amru harahap dan afrizal lubis, qisthi press, 2011, h. 383.
[23] Ibid, h. 386.
[24] Ibid, h. 388.
[25] Muhammad thoyyib bin mas’ud al-banjari, miftah al-jannah, haromain, h. 12.
[26] Ris’an rusli, op.cit, h. 99.
[27] Tamami MAG, op.cit, h. 129.
[28] Kisah-kisah islam, E pustaka islami.
[29] Qosim Muhammad abbas, abu yazid al-busthomi al-majmuahal-sufiyah, al madapublishing company, 2004, h. 44.
[30] Harun Nasution, Filsafat & Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, h. 86.
[31] Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas), h. 104.
[32] Asmaran As, Makalah: Mengkaji Ulang Ajaran Tasawuf Ittihad Abu Yazid Al Bustami.
[33] Qs kafhi ayat 65.
[34] Abdurrahman sddiq safat, op.cit, h. 37-38.
[35] Ibid, h. 53.
[36] Kisah-kisah islami, e pustaka islami.
[37] Ri’an yusri, op.cit, h. 95.

Related Posts:

1 komentar:

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Posting Terbaru

Tayangan halaman minggu lalu

Cari Blog Ini

Cari


Pengikut

Translate

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's.

Ads

Ad Banner

Pages

About

recentposts

Popular Posts